Oleh Ramadhan Batubara
Apa salah Jokowi alias Joko
Widodo atau Presiden Republik Indonesia ke-7 hingga harus bolak-balik ke Tanah
Toba? Harusnya tidak ada, bahkan memang sudah sepantasnya seperti itu. Lalu,
kalau memang begitu, kenapa harus saya hadirkan pertanyaan tersebut?
Baiklah, ini memang tentang
wilayah Toba yang bersumbu pada sebuah danau mahaluas; Danau Toba. Dan, sebagai
presiden, Jokowi bukan satu dua kali mengunjunginya. Dalam durasi
kepemimpinannya selama lima tahun saja, dia sudah bolak-balik ke Toba dan hal
ini cukup menyita perhatian. Semakin menarik ketika dengan penuh semangat dia
ingin meningkatkan potensi yang ada di Danau Toba. Maka, terbentuklah Badan
Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT). Sebuah badan yang diharap mampu mempercepat
pembangunan wisata di kawasan tersebut. Nah, sampai titik ini, apa yang
dilakukannya sudah cukup membanggakan, setidaknya bagi warga Toba yang memang
merasa kurang diperhatikan.
Apalagi Danau Toba bukanlah
kaleng-kaleng, dia adalah kepingan surga di Nusantara. Sumber daya alamnya
melimpah. Adat istiadat yang hidup bersamanya pun istimewa. Sebuah anugerah
yang tak bisa dibantah. Tapi, tak bisa dibantah pula kalau selama ini dia
dibiarkan berkembang sendiri: tetap dikunjungi, tetap dipuja, dan tetap dibanggakan.
Masalahnya, dia akan tetap seperti itu saja. Bahkan, dia bisa semakin menurun
ketika khalayak tak sadar bahwa sehebat apapun sumber daya alam dan sumber
manusia akan luntur dan terimbas oleh perkembangan jaman. Danau Toba bisa saja
mengering. Kelestariannya akan terkikis. Masyarakatnya akan tergerus. Hingga, hari
demi hari Danau Toba pun menjadi sekadar cerita pelipur lara bagi anak cucu di
masa mendatang.
Jadi, ketika Jokowi seperti
tak sabar untuk segera membangkitkan Danau Toba, maka saat itulah muncul semangat
luar biasa. Setidaknya Danau Toba bisa kembali ke era jayanya yang menjadi
tujuan wisata utama di Nusantara, sebelum Bali atau kawasan lainnya mengambil
alih.
Namun, selalu ada riak di air yang
tenang. Danau Toba bukanlah wahana baru yang bisa diolah sembarang suka. Dia
telah ada ribuan tahun. Dia telah mengiringi napas sekian generasi manusia. Dia
telah menjadi darah daging. Dia telah begitu kuat dimiliki oleh masyarakatnya. Dan,
masyarakat Toba itu cukup luas, mereka tidak bisa dilihat dari kacamata administrasi
atau sesuai kartu tanda penduduk saja. Toba adalah dunia, warganya ada di mana
saja. Nah, jika ini tak bijak disadari, maka riaknya akan membesar.
Terkini, kasus warga Desa
Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, yang menolak gerak proyek
Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Danau Toba (BPODT) dalam usaha membangun
jalan dari The Nomadic Kaldera Toba Escape menuju Batusilali. Salahkah warga
melakukan itu meski sang sekretaris daerah kabupaten tersebut menyatakan yang
melakukan aksi bukanlah penduduk setempat? Sekali lagi, masyarakat Toba itu
tidak sesederhana administrasi negara, dia juga bagian dari keutuhan adat.
Sederhananya begini, anggaplah
ada sebuah pesta di sebuah desa di wilayah Toba. Seekor kerbau atau babi dipotong
dalam hajatan itu. Nah, ketika potongan hewan dibagikan, apakah pembagiannya
hanya untuk warga yang ber-KTP di desa itu saja? Tidak, di Toba tidak seperti
itu. Untuk pembagian potongan hewan tadi, konsep dalihan na tolu menjadi yang utama. Bisa saja potongan kerbau atau
babi tadi untuk warga desa di beda kecamatan atau kabupaten atau provinsi,
bahkan negara lain. Adalah wajar warga di desa lain marah ketika kepala kerbau
atau kepala babi tadi diberikan kepada kepala desa yang secara adat tidak
berhak bukan?
Begitulah, ini adalah satu
contoh kecil. Hal lebih besar juga akan bisa terjadi jika tidak bijak disikapi.
Namun, bukan berarti masyarakat Toba adalah kaum kolot yang menuhankan adat.
Tidak, mereka adalah kaum modern yang menjaga adat. Tidak sulit seharusnya jika
tim bentukan Jokowi itu mau berdialog terlebih dahulu sebelum melakukan
sesuatu. Misalnya, untuk ruas jalan yang ditentang warga Sigapiton tadi. Ya,
tinggal cari tanah itu secara adat milik siapa lalu dialogkan maunya seperti
apa. Nah, ketika yang diajak dialog adalah kaum yang benar, artinya dialah marga raja (kaum pembuka atau pemilik) atas
tanah itu, maka siapa yang berani melawan? Apakah marga boru (pendatang atau penumpang) atas tanah itu bisa
mengklaim? Tentu saja tidak! Tentu ini berbeda ketika yang diajak dialog adalah
kaum marga boru bukan? Ya, tentu saja
kaum marga raja akan meradang.
Secara pribadi saya tidak tahu
tanah yang diributkan warga Sigapiton itu milik kaum adat mana, namun hal ini
bisa saja terjadi di belahan Toba lain. Artinya, tim yang dibentuk Jokowi untuk
mempercepat pembangunan Danau Toba wajib paham dengan dunia adat Toba bukan?
Jadi, memajukan Danau Toba itu tidak
sekadar membangun jalan mulus, tidak sesederhana itu.
Klaim semua tanah di Indoensia
ini adalah milik negara bisa saja dilakukan, tapi jangan lupa kalau negara ini
berdiri setelah bangsa atau kaum adat ada. Pun, tidak ada salahnya jika kaum
adat dilibatkan, bukankah mereka juga warga negara?
Tapi sudahlah, setidaknya saya
pribadi percaya kalau niat Jokowi memajukan Danau Toba menjadi destinasi wisata
berlevel internasional adalah niat yang tulus. Jika tidak, mana mungkin dia
harus bolak-balik ke Toba bukan? Pun saya sadar, Jokowi pasti paham soal
tantangan yang bisa menjadi aral melintang dari target tersebut. Inilah sebuah
simalakama: memaksa infrastrukur bisa membuat kaum adat berteriak dan berharap pada
kaum adat bisa saja memperlama proses pembangunan infrastruktur.
Itulah sebab, Jokowi membentuk
Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Danau Toba (BPODT). Sebuah badan yang
sejatinya bisa menuntaskan soal simalakama tadi. Sebuah badan yang paham betul
seperti apa masyarakat Toba hingga bisa membuat proyek minim riak. Sebuah badan
yang bisa mengkombinasikan ‘jualan’ dengan perkembangan sekaligus pelestarian
adat. Jika tidak bisa seperti itu, maka Danau Toba akan kembali seperti semula.
Ya, berkembang sendiri dan bisa juga hilang sendiri.
Itu saja.
0 komentar:
Posting Komentar