Lantun ini yang berisikan tentang pandangan hidup seseorang

Kamis, 05 Maret 2015

catatan



Bukan Ksatria


Mengakui kekalahan memang sulit. Itulah sebab orang bijak berkata, mampu mengakui kekalahan itu lebih hebat dari jujur. Istilahnya; jujur adalah sikap pahlawan, tapi mengakui kekalahan lebih ksatria.
Maka, kita mau jadi apa, pahlawan atau ksatria? Apapun itulah, yang jelas, menyikapi untuk sesuatu yang terasa merugikan memang agak sulit. Contoh sederhana ada dalam sepak bola, baik dalam negeri maupun luar negeri. Ketika timnya kalah, maka kalimat standar yang keluar dari pendukung cenderung menyalahkan wasit. Tidak itu saja, pemain, manajer, hingga pemilik klub pun kadang tak bisa menahan mulut untuk tidak menyalahkan wasit.
Ada juga di sepak bola, ketika kalah malah menyalahkan alam; lapangan yang tak bagus, hujan, bahkan sampai panas pun jadi alasan. Pertanyaannya, apakah yang mencari pembenaran itu bukan ksatria? Tapi, bukankah mereka sudah jadi pahlawan dengan berkata jujur soal unsur penting yang membuat mereka kalah. Terserahlah....
Sejatinya, catatan ini bukan soal pahlawan atau ksatria pun bukan jujur atau mau mengakui kekalahan, ini cuma soal menang dan kalah. Beberapa hari ke belakang kita memang terus dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan soal menang kalah. Terutama di dunia politik.
Sebut saja Partai Persatuan Pembangunan. Dua kubu bertarung, yakni kubu Romahurmuzy dan Suryadharma Ali atau Djan Faridz. PTUN akhirnya memenangkan kubu Djan Faridz. Kubu Romahurmuzy pun terus melawan; apakah bisa disebut tak ksatria? Tunggu, ini bukan soal pahlawan atau ksatria.
Lalu, Partai Amanat Nasional, Hatta Rajasa dikalahkan Zulkifli Hasan. Hatat Rajasa pun mengakui kekalahan dan tetap menjaga anggota kubunya itu; apakah bisa disebut ksatria?  Maaf, ini bukan soal pahlawan atau ksatria.
Selang beberapa jam kemudian (kalau tak mau menyebutkan hari), Partai Golongan Karya pun dihadapkan dengan pilihan menang dan kalah untuk dua kubu yang bertikai. Kubu Agung Laksono dimenangkan oleh Mahkamah Partai. Pihak yang kalah, kubu Ical, belum mengakui; apakah bisa disebut tak ksatria? Sekali lagi, ini bukan soal pahlawan atau ksatria.
Kembali ke sepak bola, mungkin itulah sebab banyak jenis kompetisi di cabang olahraga terlaris di dunia itu. Ya, mulai dari kompetisi penuh, setengah kompetisi, atau apapun itu. Sederhananya, agar yang kalah bisa membalas, maka sistem gugur satu pertandingan pun diubah menjadi sistem home and away. Artinya, ada dua kesempatan untuk meraih kemanangan. Kalau tetap kalah juga, ya, tinggal salahkan wasit saja kan? He he he. Begitulah, ini memang bukan soal pahlawan dan ksatria. Ini catatan. Itu saja. (*)

sumut pos, 5 maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates