Bukan Ksatria
Mengakui kekalahan memang sulit. Itulah sebab orang bijak
berkata, mampu mengakui kekalahan itu lebih hebat dari jujur. Istilahnya; jujur
adalah sikap pahlawan, tapi mengakui kekalahan lebih ksatria.
Maka, kita mau jadi apa, pahlawan atau ksatria? Apapun
itulah, yang jelas, menyikapi untuk sesuatu yang terasa merugikan memang agak
sulit. Contoh sederhana ada dalam sepak bola, baik dalam negeri maupun luar
negeri. Ketika timnya kalah, maka kalimat standar yang keluar dari pendukung
cenderung menyalahkan wasit. Tidak itu saja, pemain, manajer, hingga pemilik
klub pun kadang tak bisa menahan mulut untuk tidak menyalahkan wasit.
Ada juga di sepak bola, ketika kalah malah menyalahkan
alam; lapangan yang tak bagus, hujan, bahkan sampai panas pun jadi alasan.
Pertanyaannya, apakah yang mencari pembenaran itu bukan ksatria? Tapi, bukankah
mereka sudah jadi pahlawan dengan berkata jujur soal unsur penting yang membuat
mereka kalah. Terserahlah....
Sejatinya, catatan ini bukan soal pahlawan atau ksatria
pun bukan jujur atau mau mengakui kekalahan, ini cuma soal menang dan kalah.
Beberapa hari ke belakang kita memang terus dihadapkan dengan
peristiwa-peristiwa yang menunjukkan soal menang kalah. Terutama di dunia
politik.
Sebut saja Partai Persatuan Pembangunan. Dua kubu
bertarung, yakni kubu Romahurmuzy dan Suryadharma Ali atau Djan Faridz. PTUN
akhirnya memenangkan kubu Djan Faridz. Kubu Romahurmuzy pun terus melawan;
apakah bisa disebut tak ksatria? Tunggu, ini bukan soal pahlawan atau ksatria.
Lalu, Partai Amanat Nasional, Hatta Rajasa dikalahkan
Zulkifli Hasan. Hatat Rajasa pun mengakui kekalahan dan tetap menjaga anggota
kubunya itu; apakah bisa disebut ksatria?
Maaf, ini bukan soal pahlawan atau ksatria.
Selang beberapa jam kemudian (kalau tak mau menyebutkan
hari), Partai Golongan Karya pun dihadapkan dengan pilihan menang dan kalah
untuk dua kubu yang bertikai. Kubu Agung Laksono dimenangkan oleh Mahkamah
Partai. Pihak yang kalah, kubu Ical, belum mengakui; apakah bisa disebut tak
ksatria? Sekali lagi, ini bukan soal pahlawan atau ksatria.
Kembali ke sepak bola, mungkin itulah sebab banyak jenis
kompetisi di cabang olahraga terlaris di dunia itu. Ya, mulai dari kompetisi
penuh, setengah kompetisi, atau apapun itu. Sederhananya, agar yang kalah bisa
membalas, maka sistem gugur satu pertandingan pun diubah menjadi sistem home and away. Artinya, ada dua
kesempatan untuk meraih kemanangan. Kalau tetap kalah juga, ya, tinggal
salahkan wasit saja kan? He he he. Begitulah, ini memang bukan soal pahlawan
dan ksatria. Ini catatan. Itu saja. (*)
sumut pos, 5 maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar