Lantun ini yang berisikan tentang pandangan hidup seseorang

Sabtu, 14 September 2019

Jokowi dan Simalakama Wisata Toba


Oleh Ramadhan Batubara

Apa salah Jokowi alias Joko Widodo atau Presiden Republik Indonesia ke-7 hingga harus bolak-balik ke Tanah Toba? Harusnya tidak ada, bahkan memang sudah sepantasnya seperti itu. Lalu, kalau memang begitu, kenapa harus saya hadirkan pertanyaan tersebut?
Baiklah, ini memang tentang wilayah Toba yang bersumbu pada sebuah danau mahaluas; Danau Toba. Dan, sebagai presiden, Jokowi bukan satu dua kali mengunjunginya. Dalam durasi kepemimpinannya selama lima tahun saja, dia sudah bolak-balik ke Toba dan hal ini cukup menyita perhatian. Semakin menarik ketika dengan penuh semangat dia ingin meningkatkan potensi yang ada di Danau Toba. Maka, terbentuklah Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT). Sebuah badan yang diharap mampu mempercepat pembangunan wisata di kawasan tersebut. Nah, sampai titik ini, apa yang dilakukannya sudah cukup membanggakan, setidaknya bagi warga Toba yang memang merasa kurang diperhatikan.
Apalagi Danau Toba bukanlah kaleng-kaleng, dia adalah kepingan surga di Nusantara. Sumber daya alamnya melimpah. Adat istiadat yang hidup bersamanya pun istimewa. Sebuah anugerah yang tak bisa dibantah. Tapi, tak bisa dibantah pula kalau selama ini dia dibiarkan berkembang sendiri: tetap dikunjungi, tetap dipuja, dan tetap dibanggakan. Masalahnya, dia akan tetap seperti itu saja. Bahkan, dia bisa semakin menurun ketika khalayak tak sadar bahwa sehebat apapun sumber daya alam dan sumber manusia akan luntur dan terimbas oleh perkembangan jaman. Danau Toba bisa saja mengering. Kelestariannya akan terkikis. Masyarakatnya akan tergerus. Hingga, hari demi hari Danau Toba pun menjadi sekadar cerita pelipur lara bagi anak cucu di masa mendatang.
Jadi, ketika Jokowi seperti tak sabar untuk segera membangkitkan Danau Toba, maka saat itulah muncul semangat luar biasa. Setidaknya Danau Toba bisa kembali ke era jayanya yang menjadi tujuan wisata utama di Nusantara, sebelum Bali atau kawasan lainnya mengambil alih.
Namun, selalu ada riak di air yang tenang. Danau Toba bukanlah wahana baru yang bisa diolah sembarang suka. Dia telah ada ribuan tahun. Dia telah mengiringi napas sekian generasi manusia. Dia telah menjadi darah daging. Dia telah begitu kuat dimiliki oleh masyarakatnya. Dan, masyarakat Toba itu cukup luas, mereka tidak bisa dilihat dari kacamata administrasi atau sesuai kartu tanda penduduk saja. Toba adalah dunia, warganya ada di mana saja. Nah, jika ini tak bijak disadari, maka riaknya akan membesar.
Terkini, kasus warga Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, yang menolak gerak proyek Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Danau Toba (BPODT) dalam usaha membangun jalan dari The Nomadic Kaldera Toba Escape menuju Batusilali. Salahkah warga melakukan itu meski sang sekretaris daerah kabupaten tersebut menyatakan yang melakukan aksi bukanlah penduduk setempat? Sekali lagi, masyarakat Toba itu tidak sesederhana administrasi negara, dia juga bagian dari keutuhan adat.
Sederhananya begini, anggaplah ada sebuah pesta di sebuah desa di wilayah Toba. Seekor kerbau atau babi dipotong dalam hajatan itu. Nah, ketika potongan hewan dibagikan, apakah pembagiannya hanya untuk warga yang ber-KTP di desa itu saja? Tidak, di Toba tidak seperti itu. Untuk pembagian potongan hewan tadi, konsep dalihan na tolu menjadi yang utama. Bisa saja potongan kerbau atau babi tadi untuk warga desa di beda kecamatan atau kabupaten atau provinsi, bahkan negara lain. Adalah wajar warga di desa lain marah ketika kepala kerbau atau kepala babi tadi diberikan kepada kepala desa yang secara adat tidak berhak bukan?
Begitulah, ini adalah satu contoh kecil. Hal lebih besar juga akan bisa terjadi jika tidak bijak disikapi. Namun, bukan berarti masyarakat Toba adalah kaum kolot yang menuhankan adat. Tidak, mereka adalah kaum modern yang menjaga adat. Tidak sulit seharusnya jika tim bentukan Jokowi itu mau berdialog terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu. Misalnya, untuk ruas jalan yang ditentang warga Sigapiton tadi. Ya, tinggal cari tanah itu secara adat milik siapa lalu dialogkan maunya seperti apa. Nah, ketika yang diajak dialog adalah kaum yang benar, artinya dialah marga raja (kaum pembuka atau pemilik) atas tanah itu, maka siapa yang berani melawan? Apakah marga boru (pendatang atau penumpang) atas tanah itu bisa mengklaim? Tentu saja tidak! Tentu ini berbeda ketika yang diajak dialog adalah kaum marga boru bukan? Ya, tentu saja kaum marga raja akan meradang.
Secara pribadi saya tidak tahu tanah yang diributkan warga Sigapiton itu milik kaum adat mana, namun hal ini bisa saja terjadi di belahan Toba lain. Artinya, tim yang dibentuk Jokowi untuk mempercepat pembangunan Danau Toba wajib paham dengan dunia adat Toba bukan? Jadi,  memajukan Danau Toba itu tidak sekadar membangun jalan mulus, tidak sesederhana itu.
Klaim semua tanah di Indoensia ini adalah milik negara bisa saja dilakukan, tapi jangan lupa kalau negara ini berdiri setelah bangsa atau kaum adat ada. Pun, tidak ada salahnya jika kaum adat dilibatkan, bukankah mereka juga warga negara?
Tapi sudahlah, setidaknya saya pribadi percaya kalau niat Jokowi memajukan Danau Toba menjadi destinasi wisata berlevel internasional adalah niat yang tulus. Jika tidak, mana mungkin dia harus bolak-balik ke Toba bukan? Pun saya sadar, Jokowi pasti paham soal tantangan yang bisa menjadi aral melintang dari target tersebut. Inilah sebuah simalakama: memaksa infrastrukur bisa membuat kaum adat berteriak dan berharap pada kaum adat bisa saja memperlama proses pembangunan infrastruktur.
Itulah sebab, Jokowi membentuk Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Danau Toba (BPODT). Sebuah badan yang sejatinya bisa menuntaskan soal simalakama tadi. Sebuah badan yang paham betul seperti apa masyarakat Toba hingga bisa membuat proyek minim riak. Sebuah badan yang bisa mengkombinasikan ‘jualan’ dengan perkembangan sekaligus pelestarian adat. Jika tidak bisa seperti itu, maka Danau Toba akan kembali seperti semula. Ya, berkembang sendiri dan bisa juga hilang sendiri. 
Itu saja.

Kamis, 05 Maret 2015

catatan



Bukan Ksatria


Mengakui kekalahan memang sulit. Itulah sebab orang bijak berkata, mampu mengakui kekalahan itu lebih hebat dari jujur. Istilahnya; jujur adalah sikap pahlawan, tapi mengakui kekalahan lebih ksatria.
Maka, kita mau jadi apa, pahlawan atau ksatria? Apapun itulah, yang jelas, menyikapi untuk sesuatu yang terasa merugikan memang agak sulit. Contoh sederhana ada dalam sepak bola, baik dalam negeri maupun luar negeri. Ketika timnya kalah, maka kalimat standar yang keluar dari pendukung cenderung menyalahkan wasit. Tidak itu saja, pemain, manajer, hingga pemilik klub pun kadang tak bisa menahan mulut untuk tidak menyalahkan wasit.
Ada juga di sepak bola, ketika kalah malah menyalahkan alam; lapangan yang tak bagus, hujan, bahkan sampai panas pun jadi alasan. Pertanyaannya, apakah yang mencari pembenaran itu bukan ksatria? Tapi, bukankah mereka sudah jadi pahlawan dengan berkata jujur soal unsur penting yang membuat mereka kalah. Terserahlah....
Sejatinya, catatan ini bukan soal pahlawan atau ksatria pun bukan jujur atau mau mengakui kekalahan, ini cuma soal menang dan kalah. Beberapa hari ke belakang kita memang terus dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan soal menang kalah. Terutama di dunia politik.
Sebut saja Partai Persatuan Pembangunan. Dua kubu bertarung, yakni kubu Romahurmuzy dan Suryadharma Ali atau Djan Faridz. PTUN akhirnya memenangkan kubu Djan Faridz. Kubu Romahurmuzy pun terus melawan; apakah bisa disebut tak ksatria? Tunggu, ini bukan soal pahlawan atau ksatria.
Lalu, Partai Amanat Nasional, Hatta Rajasa dikalahkan Zulkifli Hasan. Hatat Rajasa pun mengakui kekalahan dan tetap menjaga anggota kubunya itu; apakah bisa disebut ksatria?  Maaf, ini bukan soal pahlawan atau ksatria.
Selang beberapa jam kemudian (kalau tak mau menyebutkan hari), Partai Golongan Karya pun dihadapkan dengan pilihan menang dan kalah untuk dua kubu yang bertikai. Kubu Agung Laksono dimenangkan oleh Mahkamah Partai. Pihak yang kalah, kubu Ical, belum mengakui; apakah bisa disebut tak ksatria? Sekali lagi, ini bukan soal pahlawan atau ksatria.
Kembali ke sepak bola, mungkin itulah sebab banyak jenis kompetisi di cabang olahraga terlaris di dunia itu. Ya, mulai dari kompetisi penuh, setengah kompetisi, atau apapun itu. Sederhananya, agar yang kalah bisa membalas, maka sistem gugur satu pertandingan pun diubah menjadi sistem home and away. Artinya, ada dua kesempatan untuk meraih kemanangan. Kalau tetap kalah juga, ya, tinggal salahkan wasit saja kan? He he he. Begitulah, ini memang bukan soal pahlawan dan ksatria. Ini catatan. Itu saja. (*)

sumut pos, 5 maret 2015

Senin, 02 Maret 2015

catatan



Evaluasi


Kalau mau dicermati, beberpaa waktu ke belakang hingga sekarang, cukup banyak kata dalam bahasa Indonesia yang mengalami pelebaran makna. Dan rata-rata, ini berkaitan dengan kepentingan pejabat alias pemegang kekuasaan.
Contoh, di zaman Soeharto ngetop kata 'kebijakan'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi kbbi.web.id, 'kebijakan' memiliki kada dasar 'bijak' yang berarti (1) selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir dan (2)  pandai bercakap-cakap; petah lidah. Ketika kata itu mendapat imbuhan 'ke-an' yang kemudian mewujud menjadi 'kebijakan' maka dia berarti: (1) kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan; (2) rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dl pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan.
Nah, perhatikan dalam praktiknya, 'kebijakan' melebar makna hingga jauh. Perhatikan kalimat ini: Pak, kami sudah berusaha keras dan berhasil, tinggal kebijakan Bapak saja...."
Apakah maksud kalimat di atas? Hm, ya apalagi kalau bukan imbalan. Kebijakan mendadak menjadi perwakilan dari ungkapan malu-malu meminta imbalan. Tidak percaya dengan apa yang saya katakan? Kembalilah ke zaman Orde Baru; bahkan, saya pun sering mendapati hal itu sekarang.
Ketika era terkini, muncul lagi kata yang melebar jauh hingga jauh. Yakni kata 'evaluasi'. Menurut situs yang sama, 'evaluasi' itu memiliki satu arti tunggal yakni penilaian. Artinya, masih berupa usaha memberi nilai atau penilaian dan belum menjadi sebuah keputusan. Pada praktiknya, kata 'evaluasi' kan berubah menjadi sebuah keputusan. Contohnya, "Kita akan evaluasi kinerja kepala dinas," yang diucapkan seorang kepala daerah. Setelah itu sang kepala dinas pun dimutasi tanpa jelas dijabarkan hasil evaluasi yang dimaksud. Malah, seorang kepala daerah biasanya mengatakan 'evaluasi' setelah seorang kepala dinas berkasus.
Artinya, kata ‘evaluasi’ mendadak menjadi perwakilan basa-basi dari ungkapkan untuk memecat atau mengganti seseorang.
Maka, apakah yang diungkapkan Ketua DPW PAN Sumut, Syah ‘Ondim’ Affandin soal evaluasi pada 13 DPD Pan se-Sumut berarti pergantian struktur? Jika berkaca latar belakang ‘evaluasi’ tadi, maka sudah jelas, 13 DPD yang dimaksud adalah pihak yang berseberangan dengan kubu Ondim yang mendukung Zulkifli Hasan sebagai Ketum PAN.
Terus terang saya tak bisa mengevaluasi kalimat Ondim itu. Pasalnya, saya tidak punya kebijakan seperti mereka-mereka. He he he. (*)

sumut pos 3 februari 2015

catatan



Besan


Seandainya saja Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Amien Rais menjalani hidup sesuai adat istiada Batak, maka pertarungan meraih kursi ketua umum Partai Amanat Nasional makin menarik.Bagaimana tidak, calon ketua umum partai itu adalah besan SBY dan Amien Rais.
CAlon pertama adalah Hatta Rajasa. Putrinya yang bernama Siti Rubi Aliya Rajasa menikah dengan Edhie Baskoro Yudhoyono (putra SBY) pada November 2011 silam. Sedangkan calon kedua adalah Zulkifli Hasan. Anaknya yang bernama Futri Zulya Safitri dinikahi Mumtaz Rais (putra Amien Rais) pada 8 Oktober 2011 lalu.
Itulah sebab saya katakan tadi, jika SBY dan Amien Rais memakai ada Batak dalam hidupnya, maka keduanya pasti tidak bisa macam-macam dengan Hatta dan Zulkifli. Kedua calon ketua umum ini adalah pihak pemberi istri bagi SBY dan Amien. Dalam Batak, posisi itu sangat penting kan? Istilahnya, bride giver. Dalam suku Batak disebut hula-hula. Posisi ini secara gamblang bisa diartikan sebagai 'Tuhan yang tampak' bagi pihak penerima istri. Siapa penerima istri alias anak boru bagi Hatta dan Zulkifli? Ya, siapa lagi kalau bukan SBY dan Amien.
Dalam konsep dalihan na tolu, posisi SBY dan Amien berada 'dibawah' kedua calon ketua umum tadi. Secara kasar dicontohkan, jika ada pesta di rumah Hatta dan Zulkifli, maka SBY dan Amien yang akan menjadi tukang cuci piringnya.
Maka, dalam keramaian pemilihan ketua umum PAN, pertarungan para anak boru itu akan semakin menarik bukan? Siapa yang tak kenal SBY, mantan presiden yang tentunya masih memiliki kuasa. Siapa yang tak kenal Amien Rais, mantan ketua MPR dan juga mantan ketua umum PAN dua periode yang juga tentunya punya kuasa. Pertarungan keduanya dalam menjagokan para hula-hula mereka akan menjadi tontonan yang menarik; berbagai intrik bisa saja tercipta. Apapun caranya, SBY tak akan mau Hatta kalah bukan? Apapun caranya juga, Amien pasti tak mau Zulkifli kalah kan?
Hatta dan Zulkifli pun tak harus terlalu repot. Bak buat pesta, kan sudah ada SBY dan Amien yang ‘cuci piring’. Hehehehe, menyenangkan untuk ditunggu.
Melepas kekuatan para besan, Hatta dan Zulkifli pun sejatinya tokoh yang patut diperhitungkan. Hatta yang mantan calon wakil presiden sekaligus mantan menteri coordinator era SBY adalah calon incumbent. Sedangkan Zulkifli, persis dengan besannya, dia kini menjabat sebagai ketua MPR. Maka tak berlebihan jika aksi dukung mendukung dua tokoh ini tak sekadar gara-gara kekuatan besan mereka. Keduanya sangat layak untuk memimpin PAN.
Tapi sekali lagi saya katakan, seandainya SBY dan Amien memakai konsep dalihan na tolu dalam kehidupannya, tent pertarungan itu akan semakin menarik. Sayang, keduanya bukan Batak dan SBY bukan pula PAN. (*)

sumut pos 28 februari 2015

catatan



Kursi

Katanya, dalam dunia yang memandang tahta sebagai tujuan, kursi menjadi penting. Baik itu kursi dalam arti sesungguhnya atau dalam arti kiasan, tetap saja kursi itu penting. Maka, tak berlebihan jika ada yang jual ladang dan tanah warisan untuk meraih kursi bukan?
Tapi, yang terjadi di Kongres IV PAN di Bali malah lucu. Bagaimana tidak, ketika para politikus sibuk mencari kursi, mereka malah saling lempar kursi. Tidak satu kursi, yang dilempar mencapai sepuluh kursi.
Ujung-ujungnya, Ketua DPD PAN Karo, Muhammad Rafi Ginting, malah ketiban kursi. Syukur jika kursi itu berupa jabatan mentereng, ini malah kursi benaran hingga di kepala bocor. Sedikitnya 28 jahitan baru bisa menutup luka di kepalanya itu.
Saya jadi teringat dengan bagi-bagi kursi saat di Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada 'Dian Budaya' pada sekitar 1998-an lalu. Ceritanya, pascareformasi, para senior di 'Dian Budaya' itu kan aktivis (yang betul-betul aktif) menyuarakan suksesi. Nah, setelah peristiwa 1998, mereka semua pergi menghilang (meski ada juga yang hilang karena diculik). Tinggalah saya dan seorang teman yang tersisa. Di suatu malam, saya dan kawan tadi dipaksa untuk ke kampus. Sampai di kantor 'Dian Budaya' sudah ada sedikitnya dua bundel berkas. Senior saya, M Iksan' yang merupakan Pemimpin Perusahaan 'Dian Budaya' dan Kamal sang pemimpin redaksi memberikan bundelan itu pada kami. Tanpa banyak kata, kami berdua pun harus menjadi pemimpin perusahaan dan pemimpin redaksi. Saya kebagian pemimpin redaksi. Ya, sudah, demi keberlangsungan lembaga pers itu, kami pun menyanggupinya. Padahal, kami berdua sama sekali tidak siap dan tak mau, he he he.
Maka, ketika ajaran tahun berikutnya, setelah anggota mulai bertambah, kami berdua sepakat membuat musyawarah untuk membentuk struktur baru. Di rapat yang digelar hingga pagi hari itu, kami berdua akhirnya terbebas dari struktur. Parahnya, perebutan posisi yang kami buat tak seperti kongres organisasi. Tidak ada kengototan, yang ada hanya bagi-bagi kursi. Anak-anak baru itu kami berikat posisi yang sebelumnya kami sandang. Ha ha ha… mereka syok, tapi mau bagaimana lagi, ini kan demi keberlangsungan lembaga itu. He he he he. Beruntung, kemampuan kawan-kawan baru itu jauh dari kami berdua. Mereka sangat aktif hingga mampu menerbitkan beberapa kali majalah ‘Dian Budaya’.
Kenapa saya teringat dengan pengalaman itu? Ya, karena kursi yang diberikan pada saya dan kawan-kawan kan sebenarnya bukan kursi yang benar-benar kami inginkan. Ini beda dengan dunia politik, kursi jelas menjadi tujuan. Maka, ketika Ketua DPD Karo Muhammad Rafi Ginting mendadak ketiban kursi itu kan menjadi sesuatu yang lucu; masak politikus buang-buang kursi kan? He he he…. (*)

Sumut Pos, 2 Maret 2015
 
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates