Kursi
Katanya, dalam dunia yang memandang tahta sebagai tujuan,
kursi menjadi penting. Baik itu kursi dalam arti sesungguhnya atau dalam arti
kiasan, tetap saja kursi itu penting. Maka, tak berlebihan jika ada yang jual
ladang dan tanah warisan untuk meraih kursi bukan?
Tapi, yang terjadi di Kongres IV PAN di Bali malah lucu.
Bagaimana tidak, ketika para politikus sibuk mencari kursi, mereka malah saling
lempar kursi. Tidak satu kursi, yang dilempar mencapai sepuluh kursi.
Ujung-ujungnya, Ketua DPD PAN Karo, Muhammad Rafi
Ginting, malah ketiban kursi. Syukur jika kursi itu berupa jabatan mentereng,
ini malah kursi benaran hingga di kepala bocor. Sedikitnya 28 jahitan baru bisa
menutup luka di kepalanya itu.
Saya jadi teringat dengan bagi-bagi kursi saat di Lembaga
Pers Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada 'Dian Budaya' pada
sekitar 1998-an lalu. Ceritanya, pascareformasi, para senior di 'Dian Budaya'
itu kan aktivis (yang betul-betul aktif) menyuarakan suksesi. Nah, setelah
peristiwa 1998, mereka semua pergi menghilang (meski ada juga yang hilang
karena diculik). Tinggalah saya dan seorang teman yang tersisa. Di suatu malam,
saya dan kawan tadi dipaksa untuk ke kampus. Sampai di kantor 'Dian Budaya'
sudah ada sedikitnya dua bundel berkas. Senior saya, M Iksan' yang merupakan
Pemimpin Perusahaan 'Dian Budaya' dan Kamal sang pemimpin redaksi memberikan
bundelan itu pada kami. Tanpa banyak kata, kami berdua pun harus menjadi
pemimpin perusahaan dan pemimpin redaksi. Saya kebagian pemimpin redaksi. Ya,
sudah, demi keberlangsungan lembaga pers itu, kami pun menyanggupinya. Padahal,
kami berdua sama sekali tidak siap dan tak mau, he he he.
Maka, ketika ajaran tahun berikutnya, setelah anggota
mulai bertambah, kami berdua sepakat membuat musyawarah untuk membentuk
struktur baru. Di rapat yang digelar hingga pagi hari itu, kami berdua akhirnya
terbebas dari struktur. Parahnya, perebutan posisi yang kami buat tak seperti
kongres organisasi. Tidak ada kengototan, yang ada hanya bagi-bagi kursi.
Anak-anak baru itu kami berikat posisi yang sebelumnya kami sandang. Ha ha ha…
mereka syok, tapi mau bagaimana lagi, ini kan demi keberlangsungan lembaga itu.
He he he he. Beruntung, kemampuan kawan-kawan baru itu jauh dari kami berdua.
Mereka sangat aktif hingga mampu menerbitkan beberapa kali majalah ‘Dian
Budaya’.
Kenapa saya teringat dengan pengalaman itu? Ya, karena
kursi yang diberikan pada saya dan kawan-kawan kan sebenarnya bukan kursi yang
benar-benar kami inginkan. Ini beda dengan dunia politik, kursi jelas menjadi
tujuan. Maka, ketika Ketua DPD Karo Muhammad Rafi Ginting mendadak ketiban
kursi itu kan menjadi sesuatu yang lucu; masak politikus buang-buang kursi kan?
He he he…. (*)
Sumut Pos, 2 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar