Lantun ini yang berisikan tentang pandangan hidup seseorang

Minggu, 29 April 2012

Terapi Suara di Jalanan Sukaramai


Oleh Ramadhan Batubara

Capek. Marah. Suntuk. Dan, ujung-ujungnya, malas. Sekian rasa itu bisa dirasakan ketika Anda memasuki kawasan Sukaramai, tepatnya di perempatan Pajak Sukaramai itu.Tapi, saya tidak. Saya mendapati kenikmatan di sana. Ya, banyak musik di jalanan macet tersebut.


Sejatinya, saya sempat juga merasakan rasa yang tak menyenangkan itu. Tapi, itu dulu. Ya, tepatnya sekitar empat tahun lalu. Kebetulan saat itu saya kost di sebuah rumah di dekat Lapangan PJKA Mandala. Jadi, setiap pulang beraktivitas, apalagi saat siang, saya pasti melewati kawasan itu.

Saat pulang, biasanya saya mengambil jalur dari Jalan Halat berbelok kiri ke Jalan AR Hakim. Nah, selepas melewati pertigaan Jalan Bromo, kemacetan langsung tampak. Berulang kali saya suntuk, terjebak di antara becak motor dan angkutan kota berwarna kuning. Belum lagi pengendara mobil dan sepeda motor yang ramai membunyikan klakson. Musik jalanan yang sama sekali tak menyenangkan. Terbayanglah, jalan yang masih panjang. Jalan panjang penuh kemacetan. Ya, setelah tiba di perempatan Pajak Sukaramai, saya juga harus berbelok kanan menuju Jalan Denai. Lalu, belok kiri lagi, melintasi Jalan Mandala By Pass.

Ujung-ujungnya, setelah beberapa pekan tinggal di sana, saya selalu menghindari jalan tersebut. Saya pernah mencoba berputar dari arah Aksara sana lalu berbelok ke Jalan Mandala By Pass Tapi, sama saja, macet di Aksara juga kadang lebih ekstrem. Begitulah, setelah tiga bulan kost di sana, saya pun memilih untuk pindah.

Nah, kemarin siang saya melewati jalan itu lagi. Perempatan Pajak Sukaramai tetap sama. Pos polisi di sisinya seakan tak berpengaruh. Kemacetan tetap saja pemandangan yang tak terelakan. Tapi, entah kenapa, saya tidak merasa suntuk saat terjebak macet di sana. Saya menikmatinya. Suara klakson dan mesin kendaraan seakan menjadi musik yang indah. Apalagi, ada beberapa penjual CD yang mengeraskan suara musik. Mulai lagu India, Indonesia, dan Barat bercampur- aduk. Suara-suara itu menjadi sebuah teror rasa.  Mereka saling berebut masuk ke kuping saya yang hanya berjumlah dua. Saya tidak suntuk, tidak seperti sebelumnya.

Kalau harus saya pikir-pikir, seharusnya saya suntuk. Pasalnya, si Lena (sepeda motor saya) masih saja mengulah. Meski tidak mogok, lajunya kini semakin lambat. Nah, ketika ingin menyelip di kemacetan, Lena jadi tak lincah. Saya pun harus mengagungkan rasa sabar dan ikhlas ketika tersalip atau terdiam di pantat angkutan kota. Dan, siang kemarin, panas lagi menggila di Kota Medan. Itulah yang membuat saya bingung, kenapa saya tidak suntuk?

Tapi sudahlah, setidaknya kemarin saya senyum-senyum di sana. Ya, apa yang salah dengan suara yang berisik? Keberisikan dianggap mampu membuat orang sadar dari lamun kan? Ayolah, dalam kemacetan, apa lagi yang bisa dilakukan orang selain melamun. Jika marah, orang lain pasti akan tambah marah. Siapa yang suka macet. Dan, siapa yang suka melihat orang marah karena macet. Apalagi, macet dalam suasana yang begitu panas. Maka, melarikan diri dari macet dengan melamun adalah pilihan terbaik.

Buktinya, di samping saya, pengemudi mobil terlihat memandang jalan macet dengan pandangan kosong. Terlihat matanya menerawang jauh, seperti memikirkan sesuatu. Lelaki tanpa janggut tapi berkumis yang mengemudikan sedan tua berwarna hitam itu bahkan terlihat mengantuk. Dia membuka kaca jendela, tampaknya pendingin mobil tidak berfungsi. Tangan kirinya memegang-megang kumis. Tangan kanannya bersandar di jendela yang terbuka. Benar-benar posisi tubuh yang menunjukkan sikap tanpa semangat.

Tiba-tiba, dari sisi jalan yang lain terdengar suara klakson membahana. Lelaki pengemudi itu tersentak. Dan, dia langsung sigap memegang kemudi. Sepertinya dia tersadar kalau masih berada di jalan yang macet. Semangatnya pun kembali muncul.

Kenyataan ini membuat saya teringat dengan berita koran hari ini. Wakil Presiden Boediono mengeluhkan suara azan yang lantang. Katanya, kenapa harus keras suara panggilan salat itu, bukankah suara yang sayup-sayup lebih menyentuh. Fiuh.

Pak Wapres tampaknya harus ketemu dengan lelaki pengemudi tadi. Ya, biar tahu bagaimana pentingnya suara klakson yan membahana itu. Kalau bicara soal panggilan hati, seharusnya lelaki pengemudi tadi kan tidak boleh terlena dalam lamunan. Dia sedang di jalan macet, dia harus waspada bukan? Persis dengan umat Islam, soal panggilan hati, tanpa azan yang keras pun dia akan salat karena itu kewajiban. Tapi, bukankah mengingatkan orang untuk sadar adalah kewajiban juga? Azan adalah sebuah pengingat. Sebagai pengingat dia harus terdengar, seperti klakson tadi. Bayangkan saja jika ada larangan suara klakson di jalanan, adakah pengguna jalan tetap waspada?

Begitulah kemacetan di Kota Medan ternyata mengusik kesadaran saya. Suara-suara yang bercampur-aduk di sekitar Pajak Sukaramai kini bak hiburan bagi saya. Ya, sebuah pesta musik gratis. Semacam terapi kesadaran, bahwa keberisikan lalu lintas sejatinya adalah sebuah pengingat agar pengguna jalan mampu mengendalikan diri. Itu saja. (*)

Sumut Pos, Minggu 29 April 2012

Rabu, 25 April 2012

Wisata Syahwat

Oleh Ramadhan Batubara


Senayan murka. Dua warganya terekam dalam kamera sedang asyik geboy. Dan, ini bukan yang pertama. Berbagai pertanyaan pun mengemuka. Kenapa bisa? Siapa yang mengedarkan? Kok mau direkam? Kewibawaan dan keberanian mereka saat bicara atas nama rakyat pun langsung pudar. Soal syahwat memang bisa bikin gawat.
Menariknya, kasus politisi mesum bukan pula baru. Ada beberapa nama yang sempat tersangkut sebelumnya, sebut saja Yahya Zaini yang terlibat skandal video porno dengan penyanyi dangdut Maria Eva. Seakan tak kapok, di video yang baru ini, dua politisi dari partai ternama itu terkesan bangga menunjukkan hal-hal pribadi mereka. Pertanyaannya, benarkah kedua orang yang terekam itu benar anggota dewan? Pakar telematika yang kini juga sudah menjadi anggota dewan, Roy Suryo, sama sekali tak membantah. Kepada media, dia mengaku sudah mempelajari sejumlah kolase foto adegan yang diambil dari source asli video porno tersebut. Menurut Roy, tidak ada rekayasa atau editing apa pun terhadap sosok perempuan yang terlihat dalam kolase foto itu. Sedangkan sosok prianya dia mengaku tidak bisa mengidentifikasi karena tidak terlihat.
Nah, karena hal semacam itu terus berulang, apakah kejadian itu patut disayangkan atau malah dibanggakan?
Pasalnya, bagi beberapa kalangan tersebarnya video itu adalah sebuah berkah. Bak wisata syahwat yang murah. Ayolah, kapan lagi bisa menonton orang ternama beradegan mesum. Dan, menontonnya pun cukup melalui ponsel atau di internet.
Soal rekam-merekam ini memang lucu. Cukup sulit dicari latar belakang perekaman. Pasalnya, kedua politisi itu bukan suami istri. Nah, namanya selingkuh, berarti harus ditutup-tutupi bukan? Dengan kata lain, jangan sampai meninggalkan jejak. Seorang kawan saya saja harus naik angkutan kota jika ingin selingkuh. Ya, dia takut mobilnya terlihat di tempat selingkuhnya itu. Padahal, dia bukan anggota dewan.
Nah, kok bisa ada anggota dewan yang mau merekam perselingkuhan? Tentu, semua pasti ada sebab. Bisa saja perekaman itu demi niat tertentu untuk di masa mendatang. Misalnya, untuk pemerasan atau apalah. Tapi, bisa saja perekaman itu sama sekali tanpa niat jelek. Bisa saja keduanya begitu bangga untuk tampil di kamera. Maklumlah, mungkin mereka keturunan Dewa Narcissus – sang asal kata narsis itu.
Keberadaan ponsel yang dilengkapi kamera atau kamera yang harganya sudah begitu terjangkau memang cukup beralasan untuk menjadikan orang bertambah narsis. Perhatikanlah di beberapa jejaring sosial, begitu banyak yang jual tampang. Ada pula yang selalu mengganti foto profilnya setiap dia pindah tempat. Luar biasa bukan?
Nah, dua politisi tadi bagaimana? Apakah perbuatan mereka buah dari kenarsisan atau kesialan?
Terserahlah, yang jelas, video mereka cukup memuaskan para pelancong syahwat. Video mesum orang Indonesia kabarnya paling diminati oleh orang Indonesia. Istilahnya, kalau nonton film karya anak bangsa, soul-nya dapat. Selain itu, fisik yang ditonton tidak jauh beda dengan yang menonton, jadi kalau dikhayalkan bisa langsung pas. Begitulah, atas nama syahwat, nikmati saja. (*)

Sumut Pos, Rabu 25 April 2012

Minggu, 22 April 2012

Tak Ada Bunga Melati di Pajak Melati

Oleh Ramadhan Batubara

Kali ini soal nama. Ada banyak nama tempat di Indonesia ini yang tidak sesuai dengan namanya. Di Medan, nama Pajak Melati menggugah penasaran saya. Maka, kemarin saya datangi tempat itu.

Pukul setengah tiga sore. Saya pacu Lena membelah jalanan kota. Saya sangat percaya diri dengan kondisi si Lena. Pasalnya, sepeda motor keluaran tahun 2004 itu sehari sebelumnya telah saya servis.

Dari Jalan Panglima Denai (tempat tinggal saya) hingga Jalan Brigjen Katamso perjalanan sangat lancar. Begitu juga ketika berbelok ke Jalan Avrost.  Bahkan, saya sempat membeli lima potong tahu yang ramai dijual di seputaran jembatan yang ada di Jalan itu.

Tapi, begitu melewati pos penjagaan dan berbelok ke kiri menuju Jalan SMA 2, si Lena tiba-tiba merajuk. Dia mogok. Sial. Saya cek bensin masih penuh. Saya lihat busi, tak bermasalah. Ampun, mendorong pun jadi langkah terakhir.

Sekira 500 meter dari SMA 2, ada bengkel. Saya mampir di sana dan berharap Lena dapat disembuhkan. Pajak Melati tujuan saya masih jauh. Ah...tukang bengkelnya kurang menjanjikan. Dia tak mendengar keluhan saya, dia malah sibuk membongkar Lena hingga bugil. Mau jam berapa lagi tiba di Pajak Melati!

Dua puluh ribu ongkos obati si Lena. Fiuh. Kata sang tukang bengkel, tenggorokan Lena agak sakit, jadi kurang lancar dia minum bensin. Sudahlah.

Berangkat. Tiba di Pajak Melati  pukul lima. Sudah mulai sedikit pengunjungnya. Namun, para penjaja barang-barang bekas dari luar negeri itu tetap saja semangat. Saya masuk gang yang penuh dengan baju. Terus masuk ke dalam dan saya dapati berbagai barang yang menggoda. Bayangkan saja, di atas baju yang ditumpuk, terpampang harganya: sepuluh ribu tiga.

Saya masuk ke subgang; ada banyak gang di gang yang saya masuki tadi. Dan, saya memilih duduk di sebuah lapak yang telah tutup. Di sinilah saya menulis lantun ini. Menarik. Ada suasana yang menyenangkan; di samping saya ada dua bapak main catur. Hahahah... Mereka kurang fokus, langkah mereka beberapa kali terhenti karena ada pembeli.

Begitulah, duduk di jantung Pajak Melati, saya kembali berpikir soal nama tempat ini. Pasalnya, sejak tadi saya tak melihat ada yang menjual bunga melati. Pajak ini -- bahasa Indonesianya, pasar -- hanya menjual barang bekas impor. Berbagai barang terpampang, semuanya dijual dengan harga miring. Suasananya mirip Pasar Ular di Jakarta, bedanya di sana cenderung menjual barang elektronika dan parfum impor. Di sini, ya itu tadi, baju dan sepatu.

Persis dengan Pasar Ular, beberapa kali ke sana, saya memang tak menemukan pedagang yang menjual ular. Jadi, saya pun paham kalau di sini tak ada yang jual melati.

Soal nama yang berbeda dengan apa yang dijual memang tidak asing lagi. Selain Pajak Melati, di Medan juga ada Pajak Ikan yang sama sekali tidak menjual ikan: suatu saat saya akan ke sana.

Nah, ada juga nama tempat -- yang menggunakan nama 'pasar' -- yang cenderung sesuai dengan barang yang dijual. Contohnya, di Solo. Di sana ada Pasar Kembang dan yang dijual memang kembang. Tidak aneh bukan? Tapi, selang beberapa puluh kilometer ke arah barat, ada juga Pasar Kembang tepatnya di Jogja. Di kota itu, Pasar Kembang juga menjual kembang, tapi kembang yang dimaksud adalah 'kembang'. Hehehehe, perempuan maksudnya. Ya, Pasar Kembang di Jogja memang dikenal dengan wisata seksnya.

Tapi, itulah nama pasar atau pajak yang menggoda pikiran saya. Pajak Melati adalah ruang yang menarik di kota ini. Kemunculannya sebagai tempat barang bekas impor memang terhitung baru. Sebelumnya, Jalan Mongonsidi adalah raja barang-barang itu. Bahkan, ruang jual di sana begitu indentik dengan barang bekas. Hingga, barang bekas impor pun dinamakan dengan Monza yang merupakan akronim dari Mongonsidi Plaza.

Nah, kehadiran Pajak Melati, secara langsung atau tidak telah menggeser keberadaan 'plaza' di Jalan Mongonsidi. Di jalan itu, kini hanya tinggal beberapa kios. Dan barang yang dijual pun semakin terbatas, hanya tas dan ambal.

Tapi sudahlah, kunjungan saya ke Pajak Melati memang harus berakhir. Ada batasan waktu. Kalau saja Lena tak mengulah, mungkin saya bisa lebih lama 'mengobrak-abrik' pajak itu. Saya pulang. Ada nasi goreng dengan andaliman yang menunggu saya di Kafe Tradisi di Jalan Setia Budi. Ada yang mau ikut? (*)

Sumut Pos, Minggu 22 April 2012

Kamis, 19 April 2012

Jersey

Oleh Ramadhan Batubara

Andik Vermansyah, gelandangan Indonesia Selection, tak pernah membayangkan akan mendapat jersey atawa kostum David Beckham. Apalagi, sampai membayangkan sang bintang itu memintanya untuk bertukar jersey.
Tapi begitulah, ketika November lalu, saat Indonesia Selection menjamu klub asal Amerika Serikat LA Galaxy, Andik memang menjadi bintang. Bahkan, si Beckham sampai melakukan perbuatan curang agar pergerakan Andik terhenti. Itulah sebab, ketika pemain Indonesia lainnya sibuk mengincar jersey-nya, suami Victoria itu malah sibuk mencari Andik. Mungkin, dia merasa bersalah dengan pemain Persebaya tersebut. Sebuah jersey adalah bentuk maaf ala Beckham.
Lain lagi dengan Boaz Salossa. Ketika Indonesia menjamu Timnas Uruguay – sebulan sebelum kisah Andik dan Beckham tadi – jagoan asal Papua itu juga mendapat jersey bintang. Adalah Luis Suarez, striker kebanggaan Uruguay yang memberikan jersey-nya pada Boaz. Alasannya, Boaz adalah satu-satunya pemain Indonesia yang berhasil mencetak gol ke gawang Uruguay. Saat itu Indonesia dipermalukan Uruguay 1-7.
Soal tukaran jersey memang sudah menjadi tradisi di sepakbola. Perhatikan saja, nyaris di setiap laga usai, para pemain saling bertukar jersey. Bahkan, Lionel Messi – bintang Barcelona dan Argentina – sempat mengeluh karena bajunya itu menjadi incaran pemain lawan. Tidak tanggung-tanggung, beberapa pemain malah sudah meminta pada Messi ketika laga belum usai.
Sayangnya, di Sumut, soal ganti jersey belum begitu trend. Setiap PSMS main di Teladan, perhatikanlah, jarang ada yang bertukar jersey. Entahlah, mungkin di Sumut dan secara umum klub Indonesia, jersey masih tergantung pada dana bukan?
Jika di sepakbola Sumut belum marak, tukaran jersey malah marak di dunia politik Sumut. Beberapa politisi Sumut malah tak segan-segan bertukar jersey-nya. Sebut saja HT Milwan, Ali Umri, Arifin Nainggolan dan sebagainya.
Tentu, pergantian jersey yang mereka lakukan atas dasar pertimbangan matang. Ya, tidak sekadar bertukar baju. Pasti ada hitung-hitungannya. Atas nama politik, bukankah hal itu lumrah. Seperti teori klasik ala Aristoteles: politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Nah, mereka yang menjadi politisi harus berpikir cerdas demi kebaikan bukan? Jadi, ketika seorang politisi merasa baju yang dikenakannya sudah tidak bisa mewakili aspirasinya, ya, tinggal ganti baju; ketika seorang politisi merasa baju yang dikenakannya sudah tidak mewakili kebaikan, ya, tinggal ganti baju. Masalah kebaikan bersama atau pribadi kan itu urusan nanti.
Bedanya dengan sepakbola, tukaran jersey tidak mengubah nasib sang pemain. Andik tetaplah Andik dan tidak berubah menjadi Beckham. Pun dengan Boas yang tidak langsung menjadi pemain Liverpool dan Uruguay. Mereka tetap menjadi diri mereka sendiri. Jersey yang telah mereka miliki hanyalah kebanggaan bagi anak dan cucu mereka nanti. Semakin banyak jersey yang mereka koleksi, maka semakin bangga dia menuliskan kisah hidupnya.
Di politik, tukaran baju berarti kontrak baru, sikap baru, hingga tujuan baru. Repot dan bahkan bisa menjadi senjata makan tuan. Tapi, sekali lagi, begitulah politik. Risiko demi kebaikan bersama itu memang besar. Mereka yang berani tukar baju berarti memiliki dasar yang kuat. Tidak sembarangan itu! (*)

Sumut Pos, Kamis 19 April 2012

Senin, 16 April 2012

Lupakan Sakit di Kantin Rumah Sakit

Oleh Ramadhan Batubara

Sabtu siang di Rumah Sakit Haji, Medan. Ada tatapan syahdu. Ada gerak yang kaku. Ada rintihan. Ada tangis. Saya malah duduk di kantin sambil berbincang dan asyik tertawa.
Bukan maksud untuk mengejek mereka yang sakit. Perbincangan kami memang asyik. Apalagi, suasana di kantin ini sama sekali tak mencerminkan rumah sakit. Ada keriuhan. Ada celoteh panjang. Dan, ada tawa yang tak harus ditahan.
Selain itu, di beberapa meja dari kami ada beberapa dokter koas yang asyik merokok. Mereka sibuk menggosip. Entahlah, tak begitu terdengar kalimat mereka. Sesekali tawa mereka membahana. Itu saja. Namun, dari bahasa tubuh mereka tampak kalau perbincangan tidak jauh dari urusan wanita. Setidaknya, pandangan empat lelaki itu sesekali melirik kumpulan wanita di meja yang lain.
Tiba-tiba seorang lelaki setengah baya muncul. Dia tidak sendiri, dia mendorong lelaki lebih tua di kursi roda, mungkin bapaknya. Mereka memilih meja yang berada tepat di samping gerombolan dokter koas tadi. Kehadiran mereka di posisi itu jelas saja menghalangi pandangan saya pada dokter-dokter koas tadi.
Lalu, sang bapak sudah berada di depan meja. Kursi yang sebelumnya telah ada di sana dipinggirkan. Sang lelaki setengah baya belum duduk juga. Dia berbalik dan menjumpai salah satu penjual; di kantin ini memang cukup banyak penjual; beraneka makanan hingga jajanan ditawarkan; ada juga yang jual majalah dan koran. Dia memesan sesuatu, jelas tidak bisa saya dengar pesanannya itu.
Tak lama kemudian, setelah lelaki itu duduk, datang pelayan. Dia membawa segelas teh manis panas dan sebuah piring yang terbuat dari anyaman rotan. Dia meletakan pesanan itu begitu saja di meja. Lelaki separuh baya tadi memindahkan gelas teh manis ke depan si bapak. Lelaki itu meletakkan piring anyaman rotan tadi di depannya. Terlihat ada daun pisang di permukaan piring itu. Lalu, setumpuk nasi dan ayam goreng tergeletak di sana. Tentu, sambal dan lalapan tidak ketinggalan: pecel ayam. Lelaki tiu pun mulai menyobek ayam tadi; makan.
Tapi, saya lihat, dari balik mereka, asap yang dihasilkan para dokter koas tadi juga belum hilang. Susana riuh pun masih meraja. Sementara, sang bapak di kursi roda sibuk tersenyum. Melihat kiri-kanan, mungkin dia rindu sehat. Mungkin karena itulah, dia memaksa untuk ke kantin. Mungkin, kantin dianggapnya bisa menjadi penyemangat; sesuatu yang hidup memang bisa menjadi sugesti bukan?
Sayangnya, cuaca saya rasa cukup panas. Seandainya saat ini hujan rintik, mungkin akan tambah menyenangkan. Ya, di kantin ini, suasana rumah sakit memang tak ada. Kalaupun ada, hanya terletak pada pakaian dokter koas atau perawat saja. Beruntung jika mendapat beberapa pasien yang lewat. Suasana mirip kantin di Kampus Sastra Universitas Sumatera Utara.
Tapi sudahlah, soal kantin, saya juga teringat dengan kantin di rumah sakit, saya ingat sekita tiga tahun lalu. Ya, saya menikmati kopi di kantin Rumah Sakit dr Pirngadi. Tiga tahun lalu, kantin di rumah sakit itu berada di lantai tiga. Tempatnya tertutup dan tenang. Setengah dindingnya dilapisi kaca, jadi mereka yang berada di dalam kantin bak ada dalam akuarium.
Lain lagi Rumah Sakit Adam Malik Medan. Di rumah sakit itu, kantin cenderung terbuka: beratap langit. Kantin itu hanya dilindungi beberapa pohon rindang. Suasana malah mirip kafe. Bangkunya melingkari meja. Jarak satu meja denga meja pun cukup jauh.
Intinya, ketiga kantin di atas sama sekali tak mencerminkan rumah sakit yang 'seram' dan bau obat. Terus terang, saya menikmati hal itu. Saya merasa lenyap sesaat dari saya sedih karena saudara yang dirawat. Ya, persis jam istirahat dalam pertandingan bola.
Mungkin, karena itulah, para dokter koas tadi asyik berbincang sambil merokok dan beberapa kali terbahak. Meski belum menjadi dokter penuh, beban mereka kan berat juga. Setidaknyan kostum yang mereka gunakan sudah mirip dokter.
Sayangnya, ketika saya melihat bapak yang mengenakan kursi roda itu, saya miris lagi. Pasalnya, beberapa kali dia mengibaskan tangannya. Asap rokok dokter koas itu mengganggu hidungnya. Nah, kemirisan saya malah terletak pada ketidakpekaan para dokter koas. Mereka terus saja merokok. Ah, bukankah harusnya mereka mematikan rokok itu? Dan, bukankah mereka adalah bagian dari kaum yang terus melakukan kampanye keburukan dari akibat merokok. Bahkan, mereka bangga mengatakan kalau perokok pasiflah yang paling berbahaya. Lalu, bapak berkursi itu bagaimana?
Tapi sudahlah, seorang penegak hukum juga belum tentu sadar hukum bukan? Seorang pegawai pajak pun bisa mengemplang pajak. Jadi, hal semacam itu sudah biasa di negeri ini.
Pun, soal sakit. Ada kalanya, dokter menyerah. Persis yang dialami saudara saya. Bayangkan saja, dokter yang merawatnya malah membiarkan dia berobat secara alternatif. Saya terkejut. Tapi, kata keluarganya saudara saya, pilihan memakai jasa 'orang pintar' sudah diketahui dan disetujui dokter. Bah, jika begitu, kenapa harus ke rumah sakit. Kenapa harus dirawat di ruang Jabal Rahmah. Praktis, rumah sakit hanya menyediakan tempat menginap saja kan? Ya, paling ditambah makanan dan obat kan? Apalagi, sewa kamar per malamnya mencapai Rp300 ribu. Bah, angka itu sudah sama dengan kamar standar hotel berkelas di kota ini kan?
Tapi, sekali lagi, sudahlah. Setidaknya saat ini saya berada di kantin. Dan, saat duduk di sini, tak elok rasanya memikirkan penyakit. Bukankah kantin di rumah sakit diciptakan untuk itu? Ah, entahlah. (*)


Sumut Pos, Minggu 15 April 2012

Tugas Negara


Oleh Ramadhan Batubara

Tuti Awalia dari SCTV hanya bisa meringis. Bagian muka, tepatnya di bibirnya, bengkak. Dia menjadi korban kekerasan saat melakukan tugas. Tidak dia saja, Hayat Sudrajat Hasibuan dari Trans TV dan Yudistira dari Berita 1 juga jadi korban kekerasan yang dilakukan anggota TNI di kawasan Lapangan Merdeka Medan.
Semua ini bermula ketika mereka meliput aksi Komite Tani Menggugat yang dibubarkan oleh pihak keamanan. Massa dianggap mengganggu kelancaran laju iring-iringan Wakil Presiden Boediono yang akan menuju lokasi mengtinap, Hotel JW Marriot. Pemburaan tersebut cenderung kurang simpatik. Beberapa morang sampai terjatuh dan beberapa wartawan juga mengalami hal yang sama.
Nah, saat itulah ketiga jurnalis tadi berusaha mengkonfirmasi soal pembubaran tersebut kepada seorang perwira yang ada di sana. Sayang, bukannya dapat berita, mereka malah jadi berita. Parahnya lagi, ternyata iring-iringan Wapres malah tidak lewat jalan itu. Sial.
Soal kekerasan pada jurnalis memang bukan barang baru di negeri ini. Bahkan, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Boy Rafli Amar beberapa waktu lalu mengatakan, selama 2011 sedikitnya terdapat 85 laporan kasus kekerasan pada wartawan yang diterima pihak kepolisian. Kasus kekerasan yang dilaporkan tersebut baik secara fisik seperti penganiayaan, berat maupun ringan, hingga pembunuhan. Nonfisik seperti ancaman, intimidasi, penghinaan.
Boy Rafli yang berbicara di Dewan Pers pada awal April lalu memahami kalau profesi wartawan cukup berisiko."Momen memang mahal untuk mendapat hasil karya jurnalistik yang nilainya bagus. Tanpa disadari kondisinya sangat berbahaya dengan suasana yang begitu keos.  Ini kita ingatkan bahwa keselamatan nomor satu, imbauan kami untuk tidak berada pada zona berbahaya," ujarnya saat itu.
Tapi atas nama tugas, kata seorang kawan, ke neraka pun jadi. Begitulah, profesi wartawan memiliki beban moral yang sangat berat. Ya, dia wajib memberitahukan masyarakat tentang sesuatu yang memang harus diberitahukan. Pasalnya, masyarakat memang punya hak untuk tahu. Karena itu, dengan kata lain, tugas wartawan itu bak tugas negara yang diemban seorang prajurit di medan perang. 
Nah, tingkah tentara yang menghalau massa hingga melakukan kekerasan pada wartawan juga sama. Mereka diwajibkan memberi kenyamanan pada Wapres. Segala upaya akan mereka lakukan demi keamanan orang nomor dua di Indonesia ini. Memang itulah tugas mereka. Ketika terjadi sesuatu pada Wapres, maka negara dalam bahaya juga kan? Jadi, apa yang mereka lakukan juga tugas negara.
Tugas negara juga diemban sang Wapres. Dia hadir ke provinsi ini untuk meninjau langsung sekian megaproyek yang memang untuk kebaikan Indonesia. Contohnya, bandara di Kualanamu itu. Ayolah, itukan bandara tingkat internasional, jika tersendat pembangunanya atau tidak maksimal hasilnya, negara juga kena imbas. Mata dunia pasti mengarah ke Indonesia.
Jika semuanya mengatasnamakan tugas negara, siapa sesungguhnya yang jadi korban? Seharusnya tidak ada jika saja tiga wartawan tadi tidak dipukuli. Kalaupun ada yang benar-benar menjadi korban adalah warga negara. Ya, setidaknya warga Medan sibuk mengeluh. Jalan yang biasanya macet, saat Wapres datang, malah tambah macet. Itu saja. (*)


Sumut Pos, Sabtu 14 April 2012

Sewindu

Oleh Ramadhan Batubara

Riza Fauzi warga Pantonlabu, Aceh Utara, sewindu yang lalu nyaris tak bisa berkata. Riza yang saat itu masih menjadi mahasiswa Teknik Geodesi UGM Jogjakarta terdiam mendengar kabar. Banda Aceh hancur lebur akibat gempa dan tsunami. Ya, saat itu 26 Desember 2004.
Kampung Riza di Pantonlabu berjarak kurang lebih tujuh jam perjalanan dari ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam itu, namun bukan berarti dia tidak panik. Di Kutaraja – nama lain Banda Aceh – ada pujaan hatinya. Seorang mahasiswa Teknik Kimia Unsyiah. Dan, sang kekasih tinggal di kawasan Darussalam yang jelas-jelas dikabarkan hancur.
Sekian waktu berjalan, sang kekasih juga tak memberi kabar. Riza terus mencari tahu, tapi kekasihnya itu bak ditelan bumi.
Hingga setelah beberapa pekan terlewati, Riza mendapat kabar. Kekasihnya itu terlihat di sebuah penampungan pengungsi yang ada di Banda Aceh. Seorang kerabat melihat kekasihnya itu duduk di depan tenda sambil memeluk boneka. Riza langsung pulang ke Aceh.
Selang sebulan, Riza kembali lagi ke Jogja. Meski tak berhasil menemukan, tapi dia yakin kekasihnya itu masih hidup. Dia menyerah mencari tapi tidak menyerah untuk menanti kabar. “Boneka yang dipeluknya itu, boneka yang kukasih,” kata Riza saat itu pada saya, matanya terlihat berkaca.
Sayang, ketika saya dan Riza berpisah empat tahun lalu, kekasihnya itu juga belum ditemukan.
Kini, setelah delapan tahun berlalu, gempa hebat kembali menghajar Aceh. Saya hubungi Riza, tetapi telepon selulernya tidak aktif. Saya mencari tahu kabarnya dari sekian kawan, juga nihil. Setahu saya, tempo hari dia telah diterima sebagai pegawai Negeri Sipil di Jakarta.
Begitulah, dua gempa hebat dan disusul sekian gempa lainnya yang terjadi kemarin langsung membangkitkan memori saya pada bencana 2004 lalu. Masih terbayang dalam ingatan saya bagaimana warga yang berlari, menaiki gedung, hingga berlindung di masjid. Belum lagi, korban yang mencapai ratusan ribu nyawa. Bayangkan, ratusan ribu nyawa!
Mungkin perasaan saya dirasakan sebagian besar warga di Medan. Setidaknya, saya melihat kepanikan yang luar biasa. Mereka yang ada di mal, hotel, gedung pemerintahan, dan gedung lainnya berhamburan. Wajar kalau ada gempa orang keluar gedung atau rumah, tapi suasana kemarin memang cukup berbeda.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun langsung buka suara. Dia yang melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Inggris, David Cameron, mengungkapkan kelegaannya karena kejadian tersebut tidak seperti 2004 lalu. “Situasinya terkendali, under control,” katanya.
Kenyataannya, warga Medan tetap saja panik. Memori 2004 memang masih terjaga baik di kepala. Pun, kisah yang dialami Riza tadi bagi saya. Dan, semua itu bagi saya adalah hal baik. Setidaknya, kejadian ini menyadarkan warga dan pemerintah kota kalau jalan untuk selamat adalah sesuatu yang penting. Tangga darurat atau pintu darurat di setiap gedung adalah mutlak. Itu saja. (*)

Sumut Pos, Kamis,12 April

Minggu, 08 April 2012

Banyak Jepang di Lapangan Merdeka

Oleh Ramadhan Batubara

Lapangan Fukereido begitu namanya saat masa Jepang. Lapangan Merdeka namanya kini. Setelah sekian puluh tahun berubah nama dengan menggunakan kata Merdeka, ternyata lapangan di tengah Kota Medan itu tetap saja tak bisa hilang dari kuasa Jepang. Dan, hal itu saya buktikan kemarin pagi.

Saya memang tidak memilih sisi lapangan yang dekat kantor pos. Sisi itu belum hidup di kala hari masih pagi. Dia hidup saat malam; menawarkan beraneka makanan dan minuman. Malam adalah miliknya. Tapi, ketika matahari masih terang, sisi dekat Stasiun Kereta Api Medan adalah pilihan. Ya, barisan toko buku yang menawan.

Dan, dari pilihan itulah lantun ini bermula. Atas nama keinginan mencari buku yang berharga miring, saya parkirkan si Lena (masih ingat dengan sepeda motor saya bukan?) di depan sebuah kios yang masih tutup. Belum lagi saya turun, terdengar sekian tawaran dari penjual buku yang sudah beroperasi.

Cari apa, Bang? Kamus Besar Bahasa Indonesia? Novel? Buku pelajaran? Majalah? Buku resep makanan? saya hanya tersenyum mendengar bapak tua duduk di sebelah kios yang tutup tadi.

Buku kedokteran atau hukum, Bang? katanya lagi ketika saya sudah akan melewati kiosnya.

Sumpah, saya merasa bosan ditanyai terus. Ayolah, kenapa saya tidak dibiarkan menjelajahi Pasar Buku ini dengan leluasa. Ya, biarkan saya menjelajahi ribuan judul dan cover buku yang menggoda itu.

Akhirnya, saya berhenti di depan kiosnya. Bukan untuk mencari buku yang dicari, saya ingin mencari yang tak ada di sana. Maksudnya, biar dia diam. Gak ada komik ya, Pak? kata saya begitu melihat toko dia hanya berisi buku serius.

Eh, bukannya menggeleng, si bapak malah tersenyum. Tampaknya dia mengejek pilihan saya tadi. Dia sepele. Mungkin dalam hatinya berkata, Percuma bawa ransel sok wartawan, bacaannya komik.

Selesai senyum dan memunculkan roman mencurigakan, dia menunjuk arah ke dalam, ke sebuah gang. Itu saja.

Sudahlah, untuk apa diperpanjang. Saya ikuti saja arah tangannya. Maksudnya biar cepat terhindar dari dia. Sayangnya, arah tangannya itu bak petunjuk yang tidak bisa saya tolak. Setelah memasuki gang itu, saya malah terpaku di kios yang menawarkan beribu komik. Terpandang oleh saya, barisan komik itu sebagian besar adalah komik Jepang, mungkin sembilan puluh prosennya. Mungkin karena itulah saya terpaku, mata saya terus mencari komik made in Indonesia. Tak terlihat Gareng Petrok karya Indri Soedono atau Jaka Sembung-nya Djair Warni. Sempat terpikir juga mencari karya anak Medan seperti karya Zam Nuldyn, Taguan Hardjo, Bahzar, dan Djas. Tapi, tumpukan komik Jepang telah membuat mata saya capek. Bertanya pada penjual adalah langkah terbaik bukan?

Lucunya, bukan karya mereka yang saya tanyakan pada pedagang komik-komik tersebut. Saya malah menyebut Topeng Kaca. Ya, sebuah komik Jepang era sembilan puluhan. Setelah kalimat keluar dari mulut saya, si pedagang bergegas. Tak sampai tiga menit dia sudah membawah tujuh buku.

Saya sumringah. Sumpah. Komik itu sejatinya sempat membantu saya untuk belajar teater. Malah, pengetahuan dari komik Topeng Kaca itu sempat saya terapkan saat melatih teater. Komik itu memang bercerita tentang seorang tokoh yang berniat dan berhasrat untuk menjadi pemain drama alias aktor. Jadi, ceritanya mengandung proses sebuah pementasan; baik dari pencarian karakter hingga berbagai unsur pementasan.

Nah, begitu tumpukan Topeng Kaca ada di depan saya, langsung saja dilahap. Sayang, edisinya tak lengkap. Tak ada edisi satu dan empat. Bang, edisinya kurang ya? tanya saya langsung.

Wah, kalau Topeng Kaca laris itu, Bang. Harus pesan on line. Banyak kali peminatnya. Harganya pun sampai 25 ribu per edisi, balas sang penjual.

Dua puluh lima ribu untuk buku lusuh? Kalau komik lain berapaan? penasaran saya.

Rata-rata 5 ribu untuk satu edisi, Bang.

Wow. Menggiurkan. Saya tinggalkan Topeng Kaca. Meski ingin bernostalgia dengan komik itu, tapi edisinya tak lengkap. Ya sudah, saya cari komik lain, selagi harganya lima ribu.
Maka, setelah hampir satu jam mengobrak-abrik tumpukan komik, saya memilih Master Cooking Boy karya Etshusi Ogawa. Saya juga mengambil Diva karya Hiromu Ono. Dan, satu komik Korea karya Choi Kyung-ah yang berjudul Bibi, The Road to Fashion. Setelah dihitung, dari tiga komik itu, ada 18 edisi. Fiuh.

Lapan lima ribu aja, Bang,” terang si pedagang. 

Saya tersenyum. Tidak apalah, selagi tanggal muda. Saya serahan selembar uang seratus ribu.

Nah, di saat menunggu uang kembalian, tiba-tiba mata saya tertuju ke sebuah buku. Bukan komik, tapi tentang komik. Buku itu berjudul Yuk, Bikin Komik Sambil Ketawa. Saya ambil dan saya lihat penulisnya adalah Dwi Koendoro Br. Langsung saja terbayang Panji Koming dan Sawungkampret. Saya buka, ternyata Dwi Mas Deka Koendoro Br menuliskan proses kreatifnya sebagai komikus. Buku yang menarik. Kenapa saya tak pernah tahu?

Yang ini berapa, Bang? langsung saya tanya, suara saya bahkan agak berteriak.

Lima belas! teriak si pedagang.

Sip. Seratus ribu tanpa kembalian. Setelah dimasuki plastik hitam, buku-buku itupun saya masuki ke ransel. Selesai.

Saya kembali ke parkir. Begitu Lena akan saya nyalakan, pedagang tua dekat parkiran itu malah menyapa, Dapat komiknya?

Kurang ajar. Saya arahkan saja jari saya ke ransel. Dia tersenyum. Saya tak peduli. Saya nyalakan Lena. 

Begitu meninggalkan gerbang Pasar Buku itu, saya merasakan ada yang kurang. Bah, bukankah saya ke tempat ini karena istri minta dicarikan buku resep makanan Nusantara?

Waduh, mau kembali lagi terasa sangat malas. Hm, saya buka ransel dan saya lihat komik Jepang soal jagoan masakan tadi. Hm, boleh juga. Komik itu kan soal masak dan masakan, istri saya pasti tak marah.

Akhirnya saya tinggalkan Lapangan Fukureido itu. Meski sudah tidak jajahan Jepang lagi, tapi begitu banyak karya anak Jepang di sana. Bukankah itu juga namanya dijajah? Ah, entahlah.(*)

Sumut Pos, Minggu 8 April 2012

Kamis, 05 April 2012

Muslihat Belalang


Oleh Ramadhan Batubara

Hatta, lelaki itu terbangun. Ada gerak dalam perutnya yang menandakan lapar. Di tudung saji dan almari sama sekali tak ada lauk; nasi pun nihil. Ia pun berteriak, memanggil anaknya yang bernama Belalang.
Pak Belalang – begitu dia dipanggil – tak mendapat jawaban menyenangkan dari sang anak. Maka, bapak dan anak itupun berembuk; berdiskusi agar lapar bisa hilang. Sebuah muslihat tampil di benak. Mereka tersenyum.
Belalang pun lari ke pinggir kampung. Sebuah hutan kemudian dia tuju. Sementara sang bapak, sibuk menyediakan baskom. Tentu tidak lupa air dan beberapa petik kembang.
Tak lama setelah itu, Belalang kembali. "Di bawah pohon dekat ujung hutan sana kuikatkan kambing itu, Pak," katanya.
Pak Belalang tertawa. "Sudah sana, kau cari siapa yang kehilangan," balasnya.
Singkat cerita, warga yang kehilangan kambing ribut. Belalang langsung memberi pemecahan. Dia katakan kalau bapaknya seorang ahli nuzum yahud. Maka, berbondonglah warga ke rumahnya. Bak ahli nuzum kawakan, Pak Belalang beraksi. Dia gunakan baskom berair dan berbunga itu seperti bola kristal. Warga percaya, di ujung hutan kambing itu pun ditemukan.
Hasilnya, Pak Belalang dan si Belalang pun bisa makan. Setelah itu, setelah kenyang, sang bapak kembali tidur. Selesai.
Seandainya saja hidup bisa sesederhana cerita rakyat di atas, mungkin tak akan ditemukan orang dengan kening berkerut bukan? Kehidupan akan tenang, persis ular; setelah kenyang tidur. Jadi, tidak ada istilah berlebihan. Ya, orang-orang mencari sesuatu sesuai kebutuhannya. Kehidupan pun mengalir lancar, seperti kata Gesang dalam Bengawan Solo-nya; mengalir sampai jauh.
Ujung-ujungnya, tidak ada lagi spekulan. Heboh bahan bakar minyak (BBM) hingga gemeretak retak partai koalisi di Jakarta sana tak tercipta. Pun, tak ada kebijakan yang membuat orang terperangah. Pajak dikutip makin tinggi, tapi pengemplak pajak malah tidak ditindak.
Tapi begitulah, hidup bukan sekadar cerita Pak Belalang. Dan, dalam kisah itu, Pak Belalang juga bukan tokoh ideal. Meski punya ide cemerlang, dia sangat malas. Dia mau enaknya saja. Seandainya ada Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) di zaman itu, dia pasti tidak akan sepakat dengan anaknya untuk mencuri kambing dan mengikatkannya di ujung hutan. 
Sayangnya, seperti manusia kebanyakan, Pak Belalang tidak juga tidak bisa lepas dari lapar.  Setelah dia terbangun lagi dari tidur dan merasa lapar, apa yang dicari? Makanan kan? Sementara, nasi dan lauk ditudung saji nihil. Memakai trik sebelumnya sangat tidak mungkin; sebanyak apa warga kampung yang punya kambing dan selama apa mereka percaya dengan Pak Belalang dan anaknya itu.
Ya sudah, seperti harga BBM yang batal naik, bagaimanapun juga dia akan tetap naik. Ketetapan yang diambil oleh wakil rakyat di Senayan hanyalah berkah kambing di ujung hutan ala Belalang; hanya untuk membebaskan perut dari lapar dalam sehari Tapi, kenaikan harga BBM adalah lapar yang dirasakan Pak Belalang setiap bangun tidur; yang akan terus berulang.
Jadi, apakah kita akan terus menjadi Pak Belalang? (*)


Sumut Pos, Kamis 5 April 2012

Rabu, 04 April 2012

Kamseupay


Oleh Ramadhan Batubara

Warga Kecamatan Beringin Kabupaten Deliserdang patut berbangga. Pembangunan bandara di Kualanamu adalah penyebabnya. Maka, ketika wilayah mereka menjadi lintasan pembangunan bandara internasional itu, mereka tak mempermasalahkan.
Sayangnya, rasa bangga tersebut makin lama makin surut. Ini bukan soal ganti rugi atau apapun istilahnya. Ini hanya soal kenyamanan. Ya, entah sudah berapa kali truk pengangkut material bolak-balik. Akibatnya, jalan sepanjang delapan kilometer mulai dari Sekip hingga Desa Beringin di Kecamatan Beringin hancur lebur. Istilah gaulnya, jalan itu kini tak berlubang lagi karena seluruh jalan sudah berlubang. Becek dan berlumpur tak terhindarkan; itu kalau musim hujan. Debu mengakibatkan pohon di sekitar jalan berwarna cokelat; ini kalau lagi kemarau.
Warga di sana – dengan menyisihkan rasa bangga – protes. Ayolah, bukan menentang pembangunan, tapi mereka meminta tolong agar keadaan tersebut diperhatikan. Eh, ketika mereka menyuarakan itu, mereka malah dianggap lebay. Bahkan, beberapa kalangan malah anggap warga kecamatan itu kamseupay. Tahukan arti istilah itu? Istilah kamseupay adalah singkatan dari padanan kata ‘kampungan sekali, udik, payah’. Istilah kaum alay ini kembali populer karena mantan artis, akademis, sekaligus blogger Marissa Haque membuat postingan blog dan kicauannya di Twitter.
Ya, mereka dianggap tak mendukung pembangunan. Pemerintah yang terlibat dalam pembangunan bandara di Kualanamu pun seakan tutup mata. “Kekmana tak tutup mata, mereka kan tidak melihat jalan yang rusak itu, mereka lewat depan?” kata seorang kawan.
Kawan yang lain lebih ekstrem lagi. Katanya, soal jalan rusak itu tak seksi dibahas. “Pemerintah kan lebih suka diskusi soal nama,” timpalnya.
Maka, khalayak sibuk mendebatkan Sultan Sulaiman, Tengku Rizal Nurdin, Sisingamangaraja XII, Amir Hamzah, Adam Malik, dan lainnya untuk bandara tersebut. Tidak hanya di Deliserdang, Kabupaten Langkat juga menggelar diskusi nama tersebut. Sementara, nasib warga di Kecamatan Beringin hingga Kecamatan Pantailabu sama sekali tak diketahui. Ya, tidak pernah diseminarkan. Padahal, keberadaan warga di sekitar situ cukup berperan.
Jika begitu, siapa sebenarnya yang kamseupay?
Selain itu, efek debu dan becek juga bisa memakan korban kan? Tidak itu saja, bias sosial dari bandara juga penting dibahas. Pemerintah atawa pengambil kebijakan sudah selayaknya memikirkan nasib mereka yang menjadi pelintasan proyek. Bahkan, setelah proyek selesai, mereka juga wajib diperhatikan. Maka, diskusi atau seminar atau sarasehan untuk warga Kecamatan Beringin dirasa perlu agar mereka tak terbiarkan begitu saja. Ujung-ujungnya, jika semua nyaman, kan semuanya senang. Jika semua senang, maka tak ada lagi kecemburuan dan kesenjangan. Pemerintah pun bisa nyaman menjalankan roda pemerintahan.
“Tampaknya tak perlulah diskusi, cukup benahi saja jalan itu,” balas kawan tadi.
“Iya, kamu jangan ikut-ikutan kamseupay lah?” timpal kawan satunya lagi.
Bah! (*)    

Sumut Pos, Rabu 4 April 2012

Selasa, 03 April 2012

News Analysis

Oleh Ramadhan Batubara

Konon di sebuah entah berentah lahirlah seorang bayi tanpa mulut. Seiring waktu, setelah dia besar, dia menjadi sosok yang top. Semua orang membicarakannya. Perempuan itu menjadi cantik karena setiap orang bebas membayangkan mulut yang pas. Jika ada yang suka bibir tipis, kan tinggal bayangkan saja pada wajah perempuan itu. Begitu juga dengan para pecinta bibir tebal dan sebagainya.
Saking topnya, perempuan ini tidak hanya mencuri perhatian warga, pemerintah juga kena imbas. Ujung-ujungnya, dia ditangkap pihak keamanan. Alasan penangkapan itu adalah karena dia terlalu diam.
Setelah dilepas, warga shock. Si perempuan menjadi punya mulut. Dia pun lincah berkicau. Tak pelak, warga menggunjingkannya. Perempuan tadi pun ditangkap lagi. Alasan penangkapan itu adalah karena dia terlalu banyak bicara.
Begitulah cerita pendek karya Putu Wijaya yang berjudul Mulut. Sengaja saya kutip kisah tersebut karena situasi terkini. Perempuan tanpa mulut ala Putu, bagi saya adalah soal pembungkaman saat zaman Soeharto lalu. Ya, bukan rahasia kalau zaman orde baru, para politikus dan media hingga mahasiswa dibungkam; semuanya seakan tanpa mulut. Dan lucunya, di zaman itu juga meski telah dibungkam masih ada juga yang ditahan. Sedangkan perempuan bermulut, bagi saya, lebih mengarah pada era reformasi; tidak ada lagi pembungkaman. Tapi, tetap saja aspirasi tertahan. Bukankah begitu?
Melihat opera sabun DPR RI soal harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tempo hari, saya langsung teringat dengan perempuan tanpa mulut ala Putu Wijaya tadi. Ya, ketika diberi mulut, semuanya langsung ingin bicara. Bahkan, sampai ada yang berteriak. Saya jadi bertanya, benarkah yang mereka suarakan itu benar-benar keinginan mereka? Ayolah, begitu punya mulut, si perempuan tadi kan langsung kemaruk. Dengan kata lain, entah apa-apa saja yang dia keluarkan dari mulutnya itu.
Maka, bukan sesuatu yang aneh ketika di Indonesia kini muncul orang-orang yang sok pakar. Tidak sulit menemukannya, lihat saja surat kabar yang ada di Medan. Atas nama news analysis dia berani memajang fotonya disamping tulisannya yang hanya beberapa paragraf saja. Saya akui, analisis memang bukan harus panjang, tapi mengarah dengan tepat. Ya, ada landasan permasalahan hingga teori apa yang dia gunakan untuk membedah masalah tadi. Ayolah, sudah cukupkah seorang pakar mengatakan ‘kedamaian yang paling kita inginkan’ terkait aksi demonstrasi penolakan BBM di Medan beberapa hari lalu? Bukankah kalimat itu juga bisa diucapkan oleh siapa saja? Siapa yang tak suka damai, tapi kenapa tak damai malah tidak dianalisis oleh orang yang katanya pakar itu.
Itulah yang dimaksud dengan asal bicara alias asal punya mulut seperti perempuan Putu Wijaya tadi. Nah, wakil rakyat yang beropera sabun tempo hari bagaimana? Entahlah, yang jelas, bak cerpen Mulut, unsur kemaruk ketika bisa bicara memang cenderung tampak. Sayangnya, aspirasi rakyat malah cenderung tak tampak. Lalu, news analysis saya terhadap masalah ini apa? Hm, maaf, saya belum pakar. (*) 

Sumut Pos, Selasa 3 April 2012

Minggu, 01 April 2012

Siaga di Jalanan Medan

Oleh Ramadhan Batubara

Ceritanya beberapa hari ini ada yang berbeda di Kota Medan. Tidak hanya satu dua orang yang merasakannya. Saya pastikan nyaris seluruh warga Medan merasakan hal itu. Ya, setiap kepala seakan dipaksa untuk terus siaga ketika berada di jalanan.
Setidaknya, bagi saya soal siaga di jalanan makin bertambah. Bayangkan saja, ketika turun ke jalan, berarti saya mengendarai sepeda motor yang saya beri nama Lena. Nah, kondisi Lena kini makin parah. Maklumlah, Lena bukan lagi gadis belia yang masih lincah. Dia sudah tua. Geraknya makin lambat. Ketika roda berputar, dia terasa mau lepas. Belum laga suara rantai dan mesin yang terlalu cepat panas. Ujung-ujungnya, kecepatan yang bisa saya pacu hanya empat puluh kilometer per jam; ini kecepatan maksimal.
Tapi sudahlah, kata orang, nikmatilah apa yang ada. Seperti kata dan sikap Putu Wijaya: berangkat dari yang ada. Maka, dalam sepekan terakhir,  saya pun berangkat dengan menunggangi Lena. Masalahnya, meski sudah saya nikmati, tetap saja saya harus siaga. Jalanan di Kota Medan tampaknya tak bersahabat dengan Lena. Di setiap sudut, jalanan nyaris memberikan hambatan bagi dia. Ya, ketika memasuki jalan kecil, polisi tidur menjadi musuh utama. Bahkan – seperti di Jalan Eka Sama di Kelurahan Gedung Johor – polisi tidur hadir nyaris di setiap lima meter. Tak pelak, Lena menjerit. Cengkeraman rem dan respon gas yang dimilikinya begitu menyedihkan. Lalu, ketika memasuki jalan protokol atawa jalan besar, Lena juga tak bisa bersaing. Kecepatannya menjadi masalah bagi pengendara lain. Bolak-balik kami diklakson. Tentu, ini bukan karena kami ugal-ugalan, tapi karena kami terlalu ‘sopan’. Ya, kecepatan kami membuat pengendara lain terhambat. Orang-orang yang bergegas marah, laju kami dianggap terlalu lambat. Tambah parah lagi, jalan besar juga tidak halus. Aspal bergelombang dan berlubang jadikan masalah makin parah. Lena terpaksa berbelok menghindari gelombang dan lubang. Saat berbelok ini, kendaraan lain tambah terganggu kan?
Kerepotan yang paling nyata adalah ketika Lena ingin menyalip. Kemampuan behitu minim. Ya, belum lagi setengah badan angkutan kota terlewati, ada pula kendaraan dari arah berlawanan. Terpaksa Lena mengalah, mengurangi kecepatan dan balik sembunyi di belakang angkutan kota. Parahnya, angkutan kota sudah biasa berbelok mendadak ketika ada penumpang yang turun atau ada yang akan naik. Tak pelak, Lena terdiam. Berhenti tepat di belakang angkutan tadi.
Tapi sudahlah, nikmati saja apa yang ada. Bukankah Lena sudah begitu banyak membantu saya. Kalau soal siaga, setiap pengendara memang wajib siaga ketika melaju di jalanan.
Menariknya, belakangan ini tidak pengendara saja yang siaga. Mereka yang berada di pinggir jalan juga wajib siaga. Oh, ini bukan soal Afriani dengan Xenia mautnya atau Marini dengan Avanza sialnya. Ini tentang aksi demonstrasi belakangan ini. Perhatikanlah atau kenanglah Medan beberapa hari ini. Di beberapa tempat ada sekian aparat keamanan yang bersiaga. Mereka bukan polisi lalu lintas atau anggota Dinas Perhubungan yang memang lazim siaga di pinggir jalan. Meraka adalah brimob dan bahkan tentara.
Soal siaga yang mereka tunjukan tampak jelas di sekitar kantor gubernur dan DPRD Sumut, kantor walikota dan DPRD Medan, Bandara Polinia, dan sebagainya. Di Medan Amplas, mereka bersiaga di depan gerbang tol Balmerah. Bahkan, mereka membuat tenda; tepat di bawah jembatan layang. Suasana seakan mau perang saja.
Kesiagaan yang mereka lakukan berangkat dari status Kota Medan yang menjadi Siaga Satu. Begitulah, keberadaan aksi menentang kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) memang wajib diamankan. Apalagi, soal siaga ini langsung diperintahkan Markas Besar Polri kepada Polisi Daerah Sumatera Utara melalui telegram rahasia.
Itulah sebab, wali kota Medan langsung mengintruksi bawahannya untuk siaga juga. "Kalau memang Siaga I sudah menjadi keputusan di Kota Medan, kami dari Pemko Medan akan mengimbau mulai dari kepala lingkungan, lurah, kecamatan dan aparat pemerintah di Kota Medan, saya perintahkan untuk secara bersama-sama menjaga kondusifitas kota," katanya.
Lalu, apa yang dilakukan warga kota? Jawabnya, ya siaga juga. Seperti saya dan Lena, yang wajib siaga agar tak jadi korban jalanan. Begitupun warga lain, meski memiliki sepeda motor atau mobil yang kemampuannya jauh lebih baik dari Lena, mereka juga wajib siaga untuk menghindari peristiwa tidak menyenangkan. Coba bayangkan ketika mereka tetap cuek dan lewat di wilayah Jalan Perintis Kemerdekaan pada Jumat malam lalu. Atau, melintasi kawasan Kampus USU di malam yang sama.  Wah, bisa jadi korban massa kan? Contohnya, seorang politisi dari Jakarta sana. Dia tidak siaga dan tidak memetakan demonstrasi di Medan, dia pun jadi korban ketika melintas di Jalan S Parman Jumat siang lalu bukan?
Begitulah, soal siaga memang bukan hanya karena status Siaga I. Jalanan di Medan memang wajib disiagai. Aspal bergelombang, polisi tidur, jalan berlubang, hingga lalu lintas yang cenderung ‘suka-suka’ adalah buktinya. Tapi yang harus diingat, siaga bukan berarti kita tidak turun ke jalan bukan? Maka, berjalanlah agar kehidupan di Medan tetap berputar. Itu saja. (*)



Sumut Pos, 1 April 2012
 
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates