Oleh Ramadhan
Batubara
Konon di sebuah
entah berentah lahirlah seorang bayi tanpa mulut. Seiring waktu, setelah dia
besar, dia menjadi sosok yang top. Semua orang membicarakannya. Perempuan itu
menjadi cantik karena setiap orang bebas membayangkan mulut yang pas. Jika ada
yang suka bibir tipis, kan tinggal bayangkan saja pada wajah perempuan itu.
Begitu juga dengan para pecinta bibir tebal dan sebagainya.
Saking topnya,
perempuan ini tidak hanya mencuri perhatian warga, pemerintah juga kena imbas.
Ujung-ujungnya, dia ditangkap pihak keamanan. Alasan penangkapan itu adalah
karena dia terlalu diam.
Setelah dilepas,
warga shock. Si perempuan menjadi punya mulut. Dia pun lincah berkicau.
Tak pelak, warga menggunjingkannya. Perempuan tadi pun ditangkap lagi. Alasan
penangkapan itu adalah karena dia terlalu banyak bicara.
Begitulah cerita
pendek karya Putu Wijaya yang berjudul Mulut. Sengaja saya kutip kisah
tersebut karena situasi terkini. Perempuan tanpa mulut ala Putu, bagi saya
adalah soal pembungkaman saat zaman Soeharto lalu. Ya, bukan rahasia kalau
zaman orde baru, para politikus dan media hingga mahasiswa dibungkam; semuanya
seakan tanpa mulut. Dan lucunya, di zaman itu juga meski telah dibungkam masih
ada juga yang ditahan. Sedangkan perempuan bermulut, bagi saya, lebih mengarah pada
era reformasi; tidak ada lagi pembungkaman. Tapi, tetap saja aspirasi tertahan.
Bukankah begitu?
Melihat opera
sabun DPR RI soal harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tempo hari, saya langsung
teringat dengan perempuan tanpa mulut ala Putu Wijaya tadi. Ya, ketika diberi
mulut, semuanya langsung ingin bicara. Bahkan, sampai ada yang berteriak. Saya
jadi bertanya, benarkah yang mereka suarakan itu benar-benar keinginan mereka?
Ayolah, begitu punya mulut, si perempuan tadi kan langsung kemaruk. Dengan kata
lain, entah apa-apa saja yang dia keluarkan dari mulutnya itu.
Maka, bukan
sesuatu yang aneh ketika di Indonesia kini muncul orang-orang yang sok pakar.
Tidak sulit menemukannya, lihat saja surat kabar yang ada di Medan. Atas nama news
analysis dia berani memajang fotonya disamping tulisannya yang hanya
beberapa paragraf saja. Saya akui, analisis memang bukan harus panjang, tapi
mengarah dengan tepat. Ya, ada landasan permasalahan hingga teori apa yang dia
gunakan untuk membedah masalah tadi. Ayolah, sudah cukupkah seorang pakar
mengatakan ‘kedamaian yang paling kita inginkan’ terkait aksi demonstrasi
penolakan BBM di Medan beberapa hari lalu? Bukankah kalimat itu juga bisa
diucapkan oleh siapa saja? Siapa yang tak suka damai, tapi kenapa tak damai
malah tidak dianalisis oleh orang yang katanya pakar itu.
Itulah yang
dimaksud dengan asal bicara alias asal punya mulut seperti perempuan Putu
Wijaya tadi. Nah, wakil rakyat yang beropera sabun tempo hari bagaimana?
Entahlah, yang jelas, bak cerpen Mulut, unsur kemaruk ketika bisa bicara
memang cenderung tampak. Sayangnya, aspirasi rakyat malah cenderung tak tampak.
Lalu, news analysis saya terhadap masalah ini apa? Hm, maaf, saya belum
pakar. (*)
Sumut Pos, Selasa 3 April 2012
Sumut Pos, Selasa 3 April 2012
0 komentar:
Posting Komentar