Oleh Ramadhan Batubara
Capek. Marah. Suntuk. Dan, ujung-ujungnya, malas. Sekian rasa itu bisa dirasakan ketika Anda memasuki kawasan Sukaramai, tepatnya di perempatan Pajak Sukaramai itu.Tapi, saya tidak. Saya mendapati kenikmatan di sana. Ya, banyak musik di jalanan macet tersebut.
Sejatinya, saya sempat juga merasakan rasa yang tak menyenangkan itu. Tapi, itu dulu. Ya, tepatnya sekitar empat tahun lalu. Kebetulan saat itu saya kost di sebuah rumah di dekat Lapangan PJKA Mandala. Jadi, setiap pulang beraktivitas, apalagi saat siang, saya pasti melewati kawasan itu.
Saat pulang, biasanya saya mengambil jalur dari Jalan Halat berbelok kiri ke Jalan AR Hakim. Nah, selepas melewati pertigaan Jalan Bromo, kemacetan langsung tampak. Berulang kali saya suntuk, terjebak di antara becak motor dan angkutan kota berwarna kuning. Belum lagi pengendara mobil dan sepeda motor yang ramai membunyikan klakson. Musik jalanan yang sama sekali tak menyenangkan. Terbayanglah, jalan yang masih panjang. Jalan panjang penuh kemacetan. Ya, setelah tiba di perempatan Pajak Sukaramai, saya juga harus berbelok kanan menuju Jalan Denai. Lalu, belok kiri lagi, melintasi Jalan Mandala By Pass.
Ujung-ujungnya, setelah beberapa pekan tinggal di sana, saya selalu menghindari jalan tersebut. Saya pernah mencoba berputar dari arah Aksara sana lalu berbelok ke Jalan Mandala By Pass Tapi, sama saja, macet di Aksara juga kadang lebih ekstrem. Begitulah, setelah tiga bulan kost di sana, saya pun memilih untuk pindah.
Nah, kemarin siang saya melewati jalan itu lagi. Perempatan Pajak Sukaramai tetap sama. Pos polisi di sisinya seakan tak berpengaruh. Kemacetan tetap saja pemandangan yang tak terelakan. Tapi, entah kenapa, saya tidak merasa suntuk saat terjebak macet di sana. Saya menikmatinya. Suara klakson dan mesin kendaraan seakan menjadi musik yang indah. Apalagi, ada beberapa penjual CD yang mengeraskan suara musik. Mulai lagu India, Indonesia, dan Barat bercampur- aduk. Suara-suara itu menjadi sebuah teror rasa. Mereka saling berebut masuk ke kuping saya yang hanya berjumlah dua. Saya tidak suntuk, tidak seperti sebelumnya.
Kalau harus saya pikir-pikir, seharusnya saya suntuk. Pasalnya, si Lena (sepeda motor saya) masih saja mengulah. Meski tidak mogok, lajunya kini semakin lambat. Nah, ketika ingin menyelip di kemacetan, Lena jadi tak lincah. Saya pun harus mengagungkan rasa sabar dan ikhlas ketika tersalip atau terdiam di pantat angkutan kota. Dan, siang kemarin, panas lagi menggila di Kota Medan. Itulah yang membuat saya bingung, kenapa saya tidak suntuk?
Tapi sudahlah, setidaknya kemarin saya senyum-senyum di sana. Ya, apa yang salah dengan suara yang berisik? Keberisikan dianggap mampu membuat orang sadar dari lamun kan? Ayolah, dalam kemacetan, apa lagi yang bisa dilakukan orang selain melamun. Jika marah, orang lain pasti akan tambah marah. Siapa yang suka macet. Dan, siapa yang suka melihat orang marah karena macet. Apalagi, macet dalam suasana yang begitu panas. Maka, melarikan diri dari macet dengan melamun adalah pilihan terbaik.
Buktinya, di samping saya, pengemudi mobil terlihat memandang jalan macet dengan pandangan kosong. Terlihat matanya menerawang jauh, seperti memikirkan sesuatu. Lelaki tanpa janggut tapi berkumis yang mengemudikan sedan tua berwarna hitam itu bahkan terlihat mengantuk. Dia membuka kaca jendela, tampaknya pendingin mobil tidak berfungsi. Tangan kirinya memegang-megang kumis. Tangan kanannya bersandar di jendela yang terbuka. Benar-benar posisi tubuh yang menunjukkan sikap tanpa semangat.
Tiba-tiba, dari sisi jalan yang lain terdengar suara klakson membahana. Lelaki pengemudi itu tersentak. Dan, dia langsung sigap memegang kemudi. Sepertinya dia tersadar kalau masih berada di jalan yang macet. Semangatnya pun kembali muncul.
Kenyataan ini membuat saya teringat dengan berita koran hari ini. Wakil Presiden Boediono mengeluhkan suara azan yang lantang. Katanya, kenapa harus keras suara panggilan salat itu, bukankah suara yang sayup-sayup lebih menyentuh. Fiuh.
Pak Wapres tampaknya harus ketemu dengan lelaki pengemudi tadi. Ya, biar tahu bagaimana pentingnya suara klakson yan membahana itu. Kalau bicara soal panggilan hati, seharusnya lelaki pengemudi tadi kan tidak boleh terlena dalam lamunan. Dia sedang di jalan macet, dia harus waspada bukan? Persis dengan umat Islam, soal panggilan hati, tanpa azan yang keras pun dia akan salat karena itu kewajiban. Tapi, bukankah mengingatkan orang untuk sadar adalah kewajiban juga? Azan adalah sebuah pengingat. Sebagai pengingat dia harus terdengar, seperti klakson tadi. Bayangkan saja jika ada larangan suara klakson di jalanan, adakah pengguna jalan tetap waspada?
Begitulah kemacetan di Kota Medan ternyata mengusik kesadaran saya. Suara-suara yang bercampur-aduk di sekitar Pajak Sukaramai kini bak hiburan bagi saya. Ya, sebuah pesta musik gratis. Semacam terapi kesadaran, bahwa keberisikan lalu lintas sejatinya adalah sebuah pengingat agar pengguna jalan mampu mengendalikan diri. Itu saja. (*)
Sumut Pos, Minggu 29 April 2012
0 komentar:
Posting Komentar