Oleh Ramadhan
Batubara
Ceritanya
beberapa hari ini ada yang berbeda di Kota Medan. Tidak hanya satu dua orang
yang merasakannya. Saya pastikan nyaris seluruh warga Medan merasakan hal itu.
Ya, setiap kepala seakan dipaksa untuk terus siaga ketika berada di jalanan.
Setidaknya, bagi
saya soal siaga di jalanan makin bertambah. Bayangkan saja, ketika turun ke
jalan, berarti saya mengendarai sepeda motor yang saya beri nama Lena. Nah,
kondisi Lena kini makin parah. Maklumlah, Lena bukan lagi gadis belia yang
masih lincah. Dia sudah tua. Geraknya makin lambat. Ketika roda berputar, dia
terasa mau lepas. Belum laga suara rantai dan mesin yang terlalu cepat panas.
Ujung-ujungnya, kecepatan yang bisa saya pacu hanya empat puluh kilometer per
jam; ini kecepatan maksimal.
Tapi sudahlah,
kata orang, nikmatilah apa yang ada. Seperti kata dan sikap Putu Wijaya:
berangkat dari yang ada. Maka, dalam sepekan terakhir, saya pun berangkat dengan menunggangi Lena.
Masalahnya, meski sudah saya nikmati, tetap saja saya harus siaga. Jalanan di
Kota Medan tampaknya tak bersahabat dengan Lena. Di setiap sudut, jalanan
nyaris memberikan hambatan bagi dia. Ya, ketika memasuki jalan kecil, polisi
tidur menjadi musuh utama. Bahkan – seperti di Jalan Eka Sama di Kelurahan
Gedung Johor – polisi tidur hadir nyaris di setiap lima meter. Tak pelak, Lena
menjerit. Cengkeraman rem dan respon gas yang dimilikinya begitu menyedihkan.
Lalu, ketika memasuki jalan protokol atawa jalan besar, Lena juga tak bisa
bersaing. Kecepatannya menjadi masalah bagi pengendara lain. Bolak-balik kami
diklakson. Tentu, ini bukan karena kami ugal-ugalan, tapi karena kami terlalu
‘sopan’. Ya, kecepatan kami membuat pengendara lain terhambat. Orang-orang yang
bergegas marah, laju kami dianggap terlalu lambat. Tambah parah lagi, jalan
besar juga tidak halus. Aspal bergelombang dan berlubang jadikan masalah makin
parah. Lena terpaksa berbelok menghindari gelombang dan lubang. Saat berbelok
ini, kendaraan lain tambah terganggu kan?
Kerepotan yang
paling nyata adalah ketika Lena ingin menyalip. Kemampuan behitu minim. Ya,
belum lagi setengah badan angkutan kota terlewati, ada pula kendaraan dari arah
berlawanan. Terpaksa Lena mengalah, mengurangi kecepatan dan balik sembunyi di
belakang angkutan kota. Parahnya, angkutan kota sudah biasa berbelok mendadak
ketika ada penumpang yang turun atau ada yang akan naik. Tak pelak, Lena
terdiam. Berhenti tepat di belakang angkutan tadi.
Tapi sudahlah,
nikmati saja apa yang ada. Bukankah Lena sudah begitu banyak membantu saya.
Kalau soal siaga, setiap pengendara memang wajib siaga ketika melaju di
jalanan.
Menariknya,
belakangan ini tidak pengendara saja yang siaga. Mereka yang berada di pinggir
jalan juga wajib siaga. Oh, ini bukan soal Afriani dengan Xenia mautnya atau
Marini dengan Avanza sialnya. Ini tentang aksi demonstrasi belakangan ini.
Perhatikanlah atau kenanglah Medan beberapa hari ini. Di beberapa tempat ada
sekian aparat keamanan yang bersiaga. Mereka bukan polisi lalu lintas atau
anggota Dinas Perhubungan yang memang lazim siaga di pinggir jalan. Meraka
adalah brimob dan bahkan tentara.
Soal siaga yang
mereka tunjukan tampak jelas di sekitar kantor gubernur dan DPRD Sumut, kantor
walikota dan DPRD Medan, Bandara Polinia, dan sebagainya. Di Medan Amplas,
mereka bersiaga di depan gerbang tol Balmerah. Bahkan, mereka membuat tenda;
tepat di bawah jembatan layang. Suasana seakan mau perang saja.
Kesiagaan yang
mereka lakukan berangkat dari status Kota Medan yang menjadi Siaga Satu.
Begitulah, keberadaan aksi menentang kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) memang
wajib diamankan. Apalagi, soal siaga ini langsung diperintahkan Markas Besar
Polri kepada Polisi Daerah Sumatera Utara melalui telegram rahasia.
Itulah sebab,
wali kota Medan langsung mengintruksi bawahannya untuk siaga juga. "Kalau
memang Siaga I sudah menjadi keputusan di Kota Medan, kami dari Pemko Medan
akan mengimbau mulai dari kepala lingkungan, lurah, kecamatan dan aparat
pemerintah di Kota Medan, saya perintahkan untuk secara bersama-sama menjaga
kondusifitas kota," katanya.
Lalu, apa yang
dilakukan warga kota? Jawabnya, ya siaga juga. Seperti saya dan Lena, yang
wajib siaga agar tak jadi korban jalanan. Begitupun warga lain, meski memiliki
sepeda motor atau mobil yang kemampuannya jauh lebih baik dari Lena, mereka
juga wajib siaga untuk menghindari peristiwa tidak menyenangkan. Coba bayangkan
ketika mereka tetap cuek dan lewat di wilayah Jalan Perintis Kemerdekaan pada
Jumat malam lalu. Atau, melintasi kawasan Kampus USU di malam yang sama. Wah, bisa jadi korban massa kan? Contohnya,
seorang politisi dari Jakarta sana. Dia tidak siaga dan tidak memetakan
demonstrasi di Medan, dia pun jadi korban ketika melintas di Jalan S Parman
Jumat siang lalu bukan?
Begitulah, soal
siaga memang bukan hanya karena status Siaga I. Jalanan di Medan memang wajib
disiagai. Aspal bergelombang, polisi tidur, jalan berlubang, hingga lalu lintas
yang cenderung ‘suka-suka’ adalah buktinya. Tapi yang harus diingat, siaga
bukan berarti kita tidak turun ke jalan bukan? Maka, berjalanlah agar kehidupan
di Medan tetap berputar. Itu saja. (*)
Sumut Pos, 1 April 2012
0 komentar:
Posting Komentar