Oleh Ramadhan
Batubara
Hatta, lelaki itu
terbangun. Ada gerak dalam perutnya yang menandakan lapar. Di tudung saji dan
almari sama sekali tak ada lauk; nasi pun nihil. Ia pun berteriak, memanggil
anaknya yang bernama Belalang.
Pak Belalang –
begitu dia dipanggil – tak mendapat jawaban menyenangkan dari sang anak. Maka,
bapak dan anak itupun berembuk; berdiskusi agar lapar bisa hilang. Sebuah
muslihat tampil di benak. Mereka tersenyum.
Belalang pun lari
ke pinggir kampung. Sebuah hutan kemudian dia tuju. Sementara sang bapak, sibuk
menyediakan baskom. Tentu tidak lupa air dan beberapa petik kembang.
Tak lama setelah
itu, Belalang kembali. "Di bawah pohon dekat ujung hutan sana kuikatkan
kambing itu, Pak," katanya.
Pak Belalang
tertawa. "Sudah sana, kau cari siapa yang kehilangan," balasnya.
Singkat cerita,
warga yang kehilangan kambing ribut. Belalang langsung memberi pemecahan. Dia
katakan kalau bapaknya seorang ahli nuzum yahud. Maka, berbondonglah warga ke
rumahnya. Bak ahli nuzum kawakan, Pak Belalang beraksi. Dia gunakan baskom
berair dan berbunga itu seperti bola kristal. Warga percaya, di ujung hutan
kambing itu pun ditemukan.
Hasilnya, Pak
Belalang dan si Belalang pun bisa makan. Setelah itu, setelah kenyang, sang
bapak kembali tidur. Selesai.
Seandainya saja
hidup bisa sesederhana cerita rakyat di atas, mungkin tak akan ditemukan orang
dengan kening berkerut bukan? Kehidupan akan tenang, persis ular; setelah
kenyang tidur. Jadi, tidak ada istilah berlebihan. Ya, orang-orang mencari
sesuatu sesuai kebutuhannya. Kehidupan pun mengalir lancar, seperti kata Gesang
dalam Bengawan Solo-nya; mengalir sampai jauh.
Ujung-ujungnya,
tidak ada lagi spekulan. Heboh bahan bakar minyak (BBM) hingga gemeretak retak
partai koalisi di Jakarta sana tak tercipta. Pun, tak ada kebijakan yang
membuat orang terperangah. Pajak dikutip makin tinggi, tapi pengemplak pajak
malah tidak ditindak.
Tapi begitulah,
hidup bukan sekadar cerita Pak Belalang. Dan, dalam kisah itu, Pak Belalang
juga bukan tokoh ideal. Meski punya ide cemerlang, dia sangat malas. Dia mau
enaknya saja. Seandainya ada Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) di
zaman itu, dia pasti tidak akan sepakat dengan anaknya untuk mencuri kambing
dan mengikatkannya di ujung hutan.
Sayangnya,
seperti manusia kebanyakan, Pak Belalang tidak juga tidak bisa lepas dari
lapar. Setelah dia terbangun lagi dari
tidur dan merasa lapar, apa yang dicari? Makanan kan? Sementara, nasi dan lauk
ditudung saji nihil. Memakai trik sebelumnya sangat tidak mungkin; sebanyak apa
warga kampung yang punya kambing dan selama apa mereka percaya dengan Pak
Belalang dan anaknya itu.
Ya sudah, seperti
harga BBM yang batal naik, bagaimanapun juga dia akan tetap naik. Ketetapan
yang diambil oleh wakil rakyat di Senayan hanyalah berkah kambing di ujung
hutan ala Belalang; hanya untuk membebaskan perut dari lapar dalam sehari Tapi,
kenaikan harga BBM adalah lapar yang dirasakan Pak Belalang setiap bangun
tidur; yang akan terus berulang.
Jadi, apakah kita
akan terus menjadi Pak Belalang? (*)
0 komentar:
Posting Komentar