Oleh Ramadhan Batubara
Lapangan Fukereido begitu namanya saat masa Jepang. Lapangan Merdeka namanya kini. Setelah sekian puluh tahun berubah nama dengan menggunakan kata Merdeka, ternyata lapangan di tengah Kota Medan itu tetap saja tak bisa hilang dari kuasa Jepang. Dan, hal itu saya buktikan kemarin pagi.
Lapangan Fukereido begitu namanya saat masa Jepang. Lapangan Merdeka namanya kini. Setelah sekian puluh tahun berubah nama dengan menggunakan kata Merdeka, ternyata lapangan di tengah Kota Medan itu tetap saja tak bisa hilang dari kuasa Jepang. Dan, hal itu saya buktikan kemarin pagi.
Saya memang tidak
memilih sisi lapangan yang dekat kantor pos. Sisi itu belum hidup di kala hari
masih pagi. Dia hidup saat malam; menawarkan beraneka makanan dan minuman.
Malam adalah miliknya. Tapi, ketika matahari masih terang, sisi dekat Stasiun
Kereta Api Medan adalah pilihan. Ya, barisan toko buku yang menawan.
Dan, dari pilihan
itulah lantun ini bermula. Atas nama keinginan mencari buku yang berharga
miring, saya parkirkan si Lena (masih ingat dengan sepeda motor saya bukan?) di
depan sebuah kios yang masih tutup. Belum lagi saya turun, terdengar sekian
tawaran dari penjual buku yang sudah beroperasi.
“Cari apa, Bang?
Kamus Besar Bahasa Indonesia? Novel? Buku pelajaran? Majalah? Buku resep
makanan?” saya hanya
tersenyum mendengar bapak tua duduk di sebelah kios yang tutup tadi.
“Buku kedokteran
atau hukum, Bang?” katanya
lagi ketika saya sudah akan melewati kiosnya.
Sumpah, saya
merasa bosan ditanyai terus. Ayolah, kenapa saya tidak dibiarkan menjelajahi
Pasar Buku ini dengan leluasa. Ya, biarkan saya menjelajahi ribuan judul dan
cover buku yang menggoda itu.
Akhirnya, saya
berhenti di depan kiosnya. Bukan untuk mencari buku yang dicari, saya ingin
mencari yang tak ada di sana. Maksudnya, biar dia diam. “Gak ada komik ya, Pak?” kata saya begitu melihat toko dia hanya berisi
buku serius.
Eh, bukannya
menggeleng, si bapak malah tersenyum. Tampaknya dia mengejek pilihan saya tadi.
Dia sepele. Mungkin dalam hatinya berkata, “Percuma bawa ransel sok wartawan, bacaannya komik.”
Selesai senyum
dan memunculkan roman mencurigakan, dia menunjuk arah ke dalam, ke sebuah gang.
Itu saja.
Sudahlah, untuk
apa diperpanjang. Saya ikuti saja arah tangannya. Maksudnya biar cepat
terhindar dari dia. Sayangnya, arah tangannya itu bak petunjuk yang tidak bisa
saya tolak. Setelah memasuki gang itu, saya malah terpaku di kios yang
menawarkan beribu komik. Terpandang oleh saya, barisan komik itu sebagian besar
adalah komik Jepang, mungkin sembilan puluh prosennya. Mungkin karena itulah
saya terpaku, mata saya terus mencari komik made
in Indonesia. Tak terlihat Gareng
Petrok karya Indri Soedono atau Jaka
Sembung-nya Djair Warni. Sempat terpikir juga mencari karya anak Medan
seperti karya Zam Nuldyn, Taguan Hardjo, Bahzar, dan Djas. Tapi, tumpukan komik
Jepang telah membuat mata saya capek. Bertanya pada penjual adalah langkah
terbaik bukan?
Lucunya, bukan
karya mereka yang saya tanyakan pada pedagang komik-komik tersebut. Saya malah
menyebut Topeng Kaca. Ya, sebuah
komik Jepang era sembilan puluhan. Setelah kalimat keluar dari mulut saya, si
pedagang bergegas. Tak sampai tiga menit dia sudah membawah tujuh buku.
Saya sumringah.
Sumpah. Komik itu sejatinya sempat membantu saya untuk belajar teater. Malah,
pengetahuan dari komik Topeng Kaca
itu sempat saya terapkan saat melatih teater. Komik itu memang bercerita
tentang seorang tokoh yang berniat dan berhasrat untuk menjadi pemain drama
alias aktor. Jadi, ceritanya mengandung proses sebuah pementasan; baik dari
pencarian karakter hingga berbagai unsur pementasan.
Nah, begitu
tumpukan Topeng Kaca ada di depan
saya, langsung saja dilahap. Sayang, edisinya tak lengkap. Tak ada edisi satu
dan empat. “Bang, edisinya
kurang ya?” tanya saya
langsung.
“Wah, kalau
Topeng Kaca laris itu, Bang. Harus pesan on
line. Banyak kali peminatnya. Harganya pun sampai 25 ribu per edisi,” balas sang penjual.
Dua puluh lima
ribu untuk buku lusuh? “Kalau
komik lain berapaan?”
penasaran saya.
“Rata-rata 5 ribu
untuk satu edisi, Bang.”
Wow. Menggiurkan.
Saya tinggalkan Topeng Kaca. Meski
ingin bernostalgia dengan komik itu, tapi edisinya tak lengkap. Ya sudah, saya
cari komik lain, selagi harganya lima ribu.
Maka, setelah
hampir satu jam mengobrak-abrik tumpukan komik, saya memilih Master Cooking Boy karya Etshusi Ogawa.
Saya juga mengambil Diva karya Hiromu
Ono. Dan, satu komik Korea karya Choi Kyung-ah yang berjudul Bibi, The Road to Fashion. Setelah
dihitung, dari tiga komik itu, ada 18 edisi. Fiuh.
“Lapan lima ribu
aja, Bang,” terang si pedagang.
Saya tersenyum.
Tidak apalah, selagi tanggal muda. Saya serahan selembar uang seratus ribu.
Nah, di saat
menunggu uang kembalian, tiba-tiba mata saya tertuju ke sebuah buku. Bukan
komik, tapi tentang komik. Buku itu berjudul Yuk, Bikin Komik Sambil Ketawa. Saya ambil dan saya lihat
penulisnya adalah Dwi Koendoro Br. Langsung saja terbayang Panji Koming dan Sawungkampret.
Saya buka, ternyata Dwi Mas Deka Koendoro Br menuliskan proses kreatifnya
sebagai komikus. Buku yang menarik. Kenapa saya tak pernah tahu?
“Yang ini berapa,
Bang?” langsung saya tanya,
suara saya bahkan agak berteriak.
“Lima belas!” teriak si pedagang.
Sip. Seratus ribu
tanpa kembalian. Setelah dimasuki plastik hitam, buku-buku itupun saya masuki
ke ransel. Selesai.
Saya kembali ke
parkir. Begitu Lena akan saya nyalakan, pedagang tua dekat parkiran itu malah
menyapa, “Dapat komiknya?”
Kurang ajar. Saya
arahkan saja jari saya ke ransel. Dia tersenyum. Saya tak peduli. Saya nyalakan
Lena.
Begitu
meninggalkan gerbang Pasar Buku itu, saya merasakan ada yang kurang. Bah,
bukankah saya ke tempat ini karena istri minta dicarikan buku resep makanan
Nusantara?
Waduh, mau kembali lagi terasa sangat malas. Hm, saya buka ransel dan saya lihat komik Jepang soal jagoan masakan tadi. Hm, boleh juga. Komik itu kan soal masak dan masakan, istri saya pasti tak marah.
Akhirnya saya tinggalkan Lapangan Fukureido itu. Meski sudah tidak jajahan Jepang lagi, tapi begitu banyak karya anak Jepang di sana. Bukankah itu juga namanya dijajah? Ah, entahlah.(*)
Sumut Pos, Minggu 8 April 2012
0 komentar:
Posting Komentar