Lantun ini yang berisikan tentang pandangan hidup seseorang

Rabu, 27 Juni 2012

Menyakiti si Sakit



Oleh Ramadhan Batubara

Dalam setahun sedikitnya 4.800 warga Medan berangkat ke luar negeri untuk berobat. Angka tersebut bisa dianggap besar. Bahkan, beberapa kalangan menganggap angka itu luar biasa mengingat banyaknya rumah sakit di Medan. Adakah rumah sakit di Medan begitu mengenaskan hingga warga Medan beramai-ramai berobat ke luar negeri di sana?
Rasanya tidak sportif juga jika menjelekan rumah sakit di Medan saja. Dari 4.800 warga Medan yang berobat ke luar negeri bisa dipastikan tidak semuanya puas. Baiklah jika pelayanan di sana hebat, namun soal kesembuhan tentunya tidak bisa diklaim langsung seratus persen. Contohnya, ada seorang kawan yang tak puas saat berobat di sebuah rumah sakit di Penang, Malaysia. Setelah dua bulan berobat di sana, dia pun dibawa kembali ke Medan. Dia diterbangkan dari Malaysia dalam posisi masih sakit. Badannya penuh selang dan dia pun sama sekali tidak bisa berjalan.
Di Medan dia dirawat di sebuah rumah sakit milik swasta. Cukup dua minggu dan dia pun kembali sehat. Kini, dia sudah kembali bekerja, tubuhnya pun sudah kembali tegap.
Pertanyaannya, benarkah pengobatan di rumah sakit swasta di Medan bisa mengalahkan rumah sakit pemerintah Malaysia di Penang? Terserahlah, yang jelas sang kawan sembuh di rumah sakit yang ada di Medan!
Selama ini yang terekam di otak adalah pelayanan rumah sakit di Penang sana adalah yang terbaik. Bagaimana tidak, pasien ditangani dengan profesional. Tidak itu saja, keluarga pasien pun diservis dengan baik. Sementara, rumah sakit di Medan melakukan sebaliknya. Untuk kawan saya tadi, hal itu malah sebaliknya.
Menurut pengakuan keluarga sang kawan, di Penang komunikasi antara pasien dan perawat atau dokter kurang lancar, tentunya hal ini soal bahasa. Bahasa Melayu yang digunakan perawat dan dokter susah dimengerti, apalagi sang kawan sedang sakit. Hingga, sugesti yang dikirimkan perawat dan dokter tidak sampai. Inilah yang menyebabkan, ketika sang kawan dirawat di Medan, dia bisa semangat. Sugesti yang disampaikan dokter dan perwat bisa dicernanya langsung. Dan kelebihan satu lagi, di Medan, banyak rekan yang mengunjunginya! Hal inilah yang menimbulkan semangat hidup sang kawan tadi.
Soal penyakit memang bak misteri. Peralatan yang serba canggih bukan jaminan bisa menyembuhkan. Di sisi lain, dokter dan perawat yang jagoan memberikan sugesti pun bukan jaminan. Ada bahasa lain yang membuat pasien bisa sembuh, yakni kenyamanan; nyaman dengan peralatan dan nyaman dengan kemampuan dokter dan perawat. Beberapa ribu orang bisa sembuh di Penang atau Malaka karena dia merasa nyaman dan yakin bisa disembuhkan. Begitu juga ribuan orang bisa sembuh di rumah sakit kecil milik swasta yang ada di Medan.
Itulah sebab, kita juga wajib membicarakan ribuan bahkan ratusan ribu hingga jutaan orang yang berobat dan sembuh di rumah sakit yang ada di Medan. Dengan kata lain, meski berbeda, rumah sakit di luar negeri dan di Medan adalah sama saja; mengobati orang sakit. Masalah si sakit sembuh atau tidak kan urusan lain.
Pertanyaan yang menarik adalah kenapa dalam setahun begitu banyak warga Medan yang sakit? Untuk menjawab pertanyaan tadi tentunya dibutuhkan kajian mendalam. Tentu hal ini berkaitan dengan berbagai unsur.
Mengaca pada 4.800 warga Medan yang berobat ke luar negeri, pastinya yang diperiksa dan diobati bukanlah sakit yang bersifat dadakan seperti kecelakaan dan sebagainya; kalau kecelakaan tentunya mencari rumah sakit terdekat. Jika begitu, penyakit yang diobati dan diperiksa merupakan penyakit yang bersifat 'berat'. Nah, begitu banyakah warga Medan yang berpenyakit 'berat'? Perlu diingat, ini belum termasuk warga yang berpenyakit 'berat' yang dirawat di rumah sakit di Medan. Ada apa dengan Medan? (*)

Sumut Pos, Rabu 27 Juni 2012

Berdiri di Tangga-tangga Masjid Raya Medan


Oleh Ramadhan Batubara

Terlambat. Masjid itu telah penuh. Saya tak mendapat tempat. Saya harus berdiri di tangga, menanti Salat Jumat dimulai.
Begitulah, Jumat lalu saya tiba di Masjid Raya Medan pukul satu lebih sepuluh menit. Ceramah sudah memasuki sesi akhir. Ya, sudahlah daripada sama sekali tidak ke masjid itu seperti janji saya pekan lalu, saya harus bertahan.
Begitu sampai -- tentunya setelah mengambil air wudhu -- saya langsung menuju pintu masjid yang segaris dengan gerbang masuk. Di situ sudah ada empat sampai enam orang yang berdiri. Penuh. Saya pun memilih pintu masuk yang lain; yang sebelah dalam dan menghadap Jalan Sisingamangaraja; menghadap pagar yang berdampingan dengan halte. Hasilnya, tetap sama. Di pintu itu ada sekitar tiga orang yang berdiri. Ya sudah, saya pilih pintu itu.
Sambil berdiri, saya berusaha mengintip ke dalam masjid. Wah, terlihat masih ada ruang. Berarti, ketika salat nanti, saya bisa sembayang di dalam. Jadi, saya tak harus salat di halaman seperti beberapa tahun lalu saat berada di Masjid Raya Banda Aceh; beberapa tahun sebelum tsunami. Saat itu, persis dengan Jumat lalu, saya juga terlambat. Tak pelak, saya salat beratap matahari dan berlantai conblock. Parahnya lagi, saya tidak membawa sajadah! Bisa bayangkan itu? Siapa bilang beribadah itu gampang?
Nah, kenangan di Banda Aceh langsung mengemuka ketika saya berdiri di tangga-tangga Masjid Raya Medan; saya juga tidak membawa sajadah. Beruntung, seperti yang saya katakan tadi, setelah mengintip ternyata masih ada ruang.
Harus disadari, posisi salat dan mendengar ceramah memang beda. Ketika mendengar ceramah, jamaah pastinya duduk. Namanya, duduk, tentu jamaah membutuhkan tempat yang lebih banyak. Nah, ketika berdiri untuk salat, ada ruang yang tersisa bukan? Apalagi, saat salat posisi berdiri memang harus rapat.
Sembari menunggu saatnya salat, saya sempat melihat tempat penitipan sandal dan sepatu. Di berada di sisi tangga, sementara di anak tangga berjejer sepatu dan sandal lainnya. Cukup beragam jenis alas kaki itu. Saya tersenyum-senyum sendiri, terbayang oleh saya Usaha Kecil Menengah (UKM) yang ada di Menteng – sebelumnya pernah saya tulis dengan judul ‘Sepatuku Buatan Menteng, Sepatumu?’ – apakah semua sepatu itu buatan para pekerja sana? Dan, saya menjawab, tentu tidak. Lihat saja, ada berbagai jenis dan berbagai merek. Saya prediksi, kebanyakan alas kaki yang saya lihat adalah barang impor. Ya, bisa saja dari China dan bisa juga dari Bandung.
Tapi sudahlah, kehadiran saya di Masjid Raya ini bukan untuk memperhatikan sepatu. Saya ingin salat dan saya ingin menulis tentang masjid yang sejatinya bernama Masjid Al Mashun. Menurut  laman Wikimapia.org, masjid ini mulai dibangun tanggal 1 Rajab 1324H atau 21 Agustus 1906 dan selesai 10 September 1909 oleh Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Beberapa bahan dekorasi dibuat dari Italia dan Jerman serta konon menjadi satu bagian dengan komplek Istana Maimun yang berjarak hanya dua ratus meter.
Masjid yang dirancang oleh Dingemans dari Amsterdam (dengan bentuk yang simetris jika dilihat dari keempat sisinya) memiliki gaya yang diambil dari budaya Timur Tengah, India, dan Spanyol. Masjid dibangun dengan bentuk segi 8 (oktagonal) dan memiliki 4 sayap di setiap bagian selatan timur utara dan barat yang berbentuk seperti bangunan utama namun berukuran lebih kecil. Luas keseluruhan bangunan adalah 5.000 meter.
Masih menurut sumber itu, konsep bangunan utama beserta bangunan sayap katanya merupakan konsep bangunan masjid kuno di Timur Tengah; di sana masjid dibangun dengan ruang tengah sebagai ruang utama (disebut sahn) dan empat sayap berupa gang beratap untuk berteduh (disebut mugatha/suntuh).
Beruntung saya berdiri di tangga-tangga masjid itu tidak terlalu lama. Jika lama, mungkin pikiran saya entah ke mana melayang. Iqamat berkumandang. Saya pun merobos masuk ke dalam. Ternyata, selain kami yang berdiri di tangga, ada juga beberapa jamaah lain yang berdiri di sisi dinding sebelah dalam. Berebutan posisi pun terjadi. Tapi, jangan anggap berbutan posisi seperti di dunia politik, di masjid tidak ada saling sikut. Semuanya berbeut dengan nyaman; ketika seseorang sudah berada di saf atau barisan, maka orang lain akan mencari tempat yang lain. Ada sebuah pengertian yang tercipta. Jadi, kalau di jalanan, perebutan ini persis dengan lalu lintas yang berada di Bundaran Majestik Medan atau Bundaran HI Jakarta atau juga Bundaran UGM Jogjakarta. Ya, di sebuah bundaran para pengendara memang tampak lebih manusia dibanding perempatan yang diatur dengan lampu aba-aba; seperti robot yang menggunakan remote control.
Dan, setelah melewati beberapa menit pencarian, saya mendapat posisi di saf nomor dua dari belakang. Lumayan. Suasana dalam masjid begitu sejuk. Fiuh…, jauh berbeda saat berdiri di tangga tadi.
Usai salat, saya berkesempatan keluar masjid lebih cepat dibanding jamaah lainnya. Perut mulai terasa lapar. Saya melirik ke luar pagar masjid, begitu banyak jajanan yang ditawarkan. Sayang saya tidak selera. Saya malah memperhatikan rujak yang berada di seputaran Taman Sri Deli, tepat di seberang masjid. Hm, menyenangkan makan buah saat panas seperti ini. Saya ingin melangkah ke sana. Tapi, saya sadar, sejak pagi perut belum terisi. Bisa repot jika hari saya awali dengan rujak bukan? Apalagi, saya pernah dengar, selain enak rujak di Taman Sri Deli juga terkenal karena mahalnya. Hm, bahan menarik untuk dilantunkan bukan?
Tapi, sudahlah. Saya tak mau ambil risiko sakit perut. Saya urungkan niat ke Taman Sri Deli itu. Nanti sajalah, suatu saat jika saya sudah sarapan, saya akan kunjungi rujak itu dan menuliskan untuk Anda. Sabar ya…. (*)

Sumut Pos, Minggu 24 Juni 2012

Rabu, 20 Juni 2012

Boraspati


Oleh Ramadhan Batubara

Orang Mandailing di Malaysia mengajukan permohonan untuk pengakuan tarian Tortor dan Gordang Sembilan di Malaysia. Mereka ingin kesenian tersebut berdiri setara dengan kebudayaan Jawa, Minang, dan Banjar di Malaysia.
Lalu, mereka pun berharap kesenian itu dicatatkan pada Akta Warisan Kebangsaan Malaysia tahun 2005 ayat 67. Nah, hal inilah yang membuat Mandailing dan Batak pada umumnya yang berada di Indonesia resah. Pun, yang bukan Batak kebakaran jenggot. Ujung-ujungnya keluar kalimat: Ganyang Malaysia!
Sah-sah saja bukan? Pasalnya, sudah berulang kali Malaysia menyinggung Indonesia. Klaim dari Malaysia pun dicurigai.
Menariknya, kalau dilihat lebih dalam, soal ini sejatinya lumayan lucu. Setidaknya perhatikan pembelaan Ramli Abdul Karim Hasibuan, presiden Persatuan Halak Mandailing Malaysia. "Saya jelaskan perlakuan di dalam akta ini. Apabila tarian Tortor sudah terdaftar, maka kami akan mendapatkan anggaran dari kementerian untuk melestarikan budaya ini. Atau bahkan kementerian akan membuat satu perkumpulan tari Tortor dan Gordang Sembilan," kata Ramli kepada media di Indonesia.
Jawaban ini secara langsung mengatakan kalau Tortor dan Gordang Sambilan ternyata tidak diakui dan tidak terorganisir dengan baik. Para pekerja seni Tortor dan Gordang Sambilan pun tidak mendapat anggaran. Maka, mereka yang berada di sana ingin mendapat anggaran agar bisa melestarikan Tortor dan Gordang Sambilan tadi. Jika begitu, bukankah itu bagus?
Kenyataan soal Tortor dan Gordang Sambilan di Malaysia mirip dengan di Indonesia bukan? Ya, di negeri yang permai ini, dua kesenian itu juga tidak mendapat perlakuan khusus dalam pelestariannya. Beruntunglah orang Mandailing di Malaysia, setidaknya pemerintah mereka telah menyediakan fasilitas bagi warisan budaya mereka. Jika pengajuan Ramli Abdul Karim Hasibuan dkk tadi berhasil, maka mereka bisa melestarikan dua kesenian tadi dengan tenang dan nyaman. Adakah Indonesia menyediakan fasilitas semacam itu? Jika ada, ayo orang Mandailing di Indonesia segera ajukan hal itu!
Lalu, ada perdebatan, kedua kesenian tadi kan milik Indonesia, maka Malaysia tidak bisa semena-mena?
Harus diingat, Mandailing bukanlah negara. Keberadaan Ramli Abdul Karim Hasibuan dan orang Mandailing lainnya di Malaysia pada pohon silsilah adat tidak berbeda dengan Hasibuan lain yang ada di Papua bukan? Atau, Hasibuan yang berada di Meksiko, Amerika, hingga Janjilobi di Padanglawas. Dengan kata lain, tidak ada garis politis antara sesama orang Mandailing. Bahkan, orang Mandailing yang berhasil di perantauan dianggap hebat bagi orang Mandailing di kampung asal.
Lucunya, atas nama negara, tali darah Mandailing seakan digugat; dipecah belah dengan nama Indonesia dan Malaysia. “Kami orang Mandailing dan tanah leluhur kami di Sumatera Utara Indonesia,” tegas Ramli saat diwawancari televisi swasta Indonesia.
Ayolah, Ramli dkk kan merantau ke negeri jiran. Dan, hal itu adalah wajar. Malah, konsep merantau sudah demikian mengakar bagi orang Mandailing dan Batak pada umumnya. Hal itu sesuai dengan filosofi hidup orang Batak; Boraspati. Ya, Boraspati adalah simbol orang Batak. Secara nyata dia hadir sebagai salah satu ornamen yang ada pada ulos, rumah adat, dan sebagainya. Benar, dia adalah cicak! 
Secara filosofi, cicak yang lengket di berbagai bentuk permukaan itu menjadi inspirasi bagi orang Batak masa lalu untuk menjadikannya sebagai jalan atau cara hidup. Cicak yang lengket di mana saja bila diaplikasikan dalam kehidupan orang Batak, berarti lengket dan bisa masuk ke mana saja tanpa bermasalah; seseorang yang merantau, bisa lengket di kampung orang lain berarti bisa hidup dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di kampung lain. Dahulu, dengan bergaya hidup seperti Boraspati, yang bergerak lincah dan dapat diterima di berbagai lapisan masyarakat, orang Batak meyakini akan dapat mencapai sukses dan tidak akan jatuh.
Nah, jika begitu, bukankah apa yang dilakukan Persatuan Halak Mandailing Malaysia tidak sepenuhnya salah? Tapi, jika memang Malaysia sebagai negara mengklaim kesenian itu milik mereka dan tidak berasal dari tanah leluhur Mandailing yang berada di Indonesia, itu baru cari masalah. Bukankah begitu? (*)

Sumut Pos, Rabu 20 Juni 2012

Jumatan di Pajak Ikan Lama Medan


Oleh Ramadhan Batubara

Maaf, ini bukan soal ibadah. Ini hanya soal pengalaman berada di sebuah tempat jelang waktu Jumatan; waktu Salat Jumat. Kenapa harus saya lantunkan, jawabnya karena saya tergoda. Ya, bukankah jarang menikmati suasana tenang di Pajak Ikan Lama Medan?
Ceritanya, jelang Jumatan pekan lalu saya memasuki kawasan Pajak Ikan Lama. Saya memang berniat ke tempat tersebut karena di lantun beberapa pekan lalu saya sempat berjanji akan menulis tentang tempat itu. Sayang, beberapa kali ke sana, saya selalu terhadang macet. Bayangkan saja, belum lagi masuk ke kawasan itu beberapa kendaraan sudah bertumpuk. Ya sudah, saya balik kanan.
Nah, keadaan itu membuat saya berpikir; kapan kira-kira Pajak Ikan Lama sepi? Sempat terpikir untuk mengunjungi kawasan di pusat Kota Medan itu pada malam hari, tapi apa yang harus dilihat. Ya, saya sudah terlanjur ingin menulis soal dinamika di sana. Jadi, ketika malam, apa yang bisa ditulis selain tentang beberapa tukang becak yang tertidur di becaknya atau beberapa potong sampah yang luput dikutip. Beruntung ada hari Jumat. Setidaknya, saat siang di hari Jumat, lelaki Muslim berkumpul di masjid.
Maka, Jumat lalu, saya kunjungi tempat itu. Kunjungan itu cukup singkat, pasalnya saya juga harus ke masjid. Jadi, saya gunakan selang waktu sebelum Jumatan tadi. Praktis, di tempat itu saya hanya sepuluh menit. Syukurnya, dalam sepuluh menit, saya merasakan Pajak Ikan Lama yang lain; maksudnya tidak macet dan sumpek seperti biasanya. Ya, jalanan yang persis gang-gang itu terlihat sepi. Tidak banyak orang dan kendaraan yang berebut jalan seperti biasanya. Suasana panas pun seakan hilang. Cukup nyaman.
Saya memilih memarkirkan Lena (sepeda motor saya) di sisi kiri Jalan Perniagaan – jalan ini hanya satu arah – tepatnya di depan sebuah warung sate Padang yang berdekatan dengan warung makan Padang.  Dengan kata lain, tempat parkir si Lena di deretan pantat rumah Tjong Afie.
Layaknya detektif, agar tidak diketahui sedang memperhatikan sesuatu, saya pun sok menyamar. Saya datangi sate Padang itu. Saya pesan satu. Saya makan tanpa melihat; sambil makan saya terus memperhatikan sekeliling.
Di antara sate Padang dan warung makan Padang ada trotoar. Berarti, saya berada di seberang warung Padang itu. Nah, dari tempat saya duduk, saya bisa melihat langsung isi warung makan Padang itu. Lucu. Warung itu bukan seperti warung, dia berbentuk gang. Jadi, di gang itulah kursi dan meja dijejerkan. Dan, pemandangan yang saya dapati di situ adalah kaum hawa sedang makan, sama sekali tidak ada lelaki. Hm, berarti kaum lelaki sudah pada ke masjid, pikir saya.
Saya pun mengalihkan pandangan. Terlihat beberapa lelaki masih mendorong tumpukan karung di atas gerobak dorong beroda dan memasukannya ke toko-toko. Tubuh mereka kelam. Berpeluh. Mereka pun tampak begitu leluasa, berlari sambil mendorong kereta dorongnya yang sarat muatan. Pemandangan ini jelas berbeda dengan hari-hari biasa. Ya, biasanya mereka harus hati-hati karena pengguna jalan cukup banyak. Teriakan dan makian sudah menjadi nyanyian yang khas di kawasan itu. Dan kemarin, semua seakan hilang. Para pekerja kasar itu terlihat bebas, bekerja dengan tenang.
Saya jadi bayangkan Pajak Ikan Lama sebelum menjadi kawasan tekstil. Dulu, sejak tahun 1890 kawasan ini memang dikenal sebagai pusat perniagaan Kota Medan. Awalnya merupakan pajak (pasar) ikan. Nah, ikan yang didatangkan dari Belawan melalui kapal tongkang melalui Sungai Deli. Tentunya, di zaman itu juga ada pengangkut barang juga kan? Mereka pasti bertubuh kelam. Berpeluh. Adakah mereka sering berteriak juga ketika jalanan di gang-gang tersebut macet? Entahlah.
Yang jelas, sejarah mencatat, seiring dengan ketidakmampuan Sungai Deli untuk dilewati kapal-kapal tongkang, Pajak Ikan Lama pun berubah menjadi pusat perdagangan kain dan pakaian. Pedagang di pajak ikan ini bukan hanya penduduk asli, namun juga penduduk keturunan India dan Arab. Sehingga tidak jarang dapat menemui komoditi berbau negara tersebut di pasar ini seperti parfum nonalkohol, bahkan kurma!
Dan, di Pajak Ikan Lama yang tak lagi jualan ikanlah saya berada. Dan, saya tertawa membayangkan kawasan ini sebagai pajak ikan dalam arti sesungguhnya; apakah tante-tante yang memakai kacamata hitam dengan tas berwarna emas di depan saya akan berada di sini juga? Begitulah, setelah memperhatikan para pekerja dan beberapa bentuk toko, saya malah tertarik memperhatikan para pengunjung di Pajak Ikan Lama ini. Satu di antaranya adalah tante yang duduk di depan saya. Dia makan sate. Dia sendirian. Dia memakai kacamata. Dia memegang tas berwarna emas miliknya erat-erat dengan tangan kiri. Dan, saya penasaran, ada berapa uang di dalam tasnya itu. Ha ha ha ha.
Tapi sudahlah, dari beragam yang saya lihat, sejatinya ada yang menarik kepenasaran saya. Yang saya maksud adalah suara. Jadi, sejak memarkir Lena, saya terhibur dengan suara burung. Ramai. Suaranya dari atas. Dan ketika saya mendongak, tidak ada seekor burung pun. Entah di mana burung itu. Kata bebeberapa orang, burung itu jenis walet. Jadi, di puncak-puncak pertokoan ada bilik yang memang disediakan untuk burung walet. Ayolah, air liur burung itu cukup menggiurkan kan? Terbayang sebuah pemikiran, mungkinkah di masa depan tempat ini akan berubah menjadi kawasan walet. Ya, dari menjual ikan berubah ke tekstil dan kemudian menjadi penjual walet. Entahlah. Yang, jelas, namanya pasti tetap Pajak Ikan Lama. He he he he.
Akhirnya, saya tinggalkan kawasan itu. Ya, tak lebih dari sepuluh menit saya di sana. Sepiring sate Padang telah pindah ke perut. Selembar uang seribu pun telah pindah ke tukang parkir. Dan, beberapa menit lagi Salat Jumat dimulai. Saya harus segera ke Masjid Raya Medan; tempat yang pekan depan akan saya tulis juga. (*)

Sumut Pos, Minggu 17 Juni 2012



Jumat, 15 Juni 2012

Mengalir ke Kualanamu


Oleh Ramadhan Batubara

Almarhum Gesang sempat menulis lirik air mengalir sampai jauh dalam lagunya Bengawan Solo.  Sebuah lirik yang menggambarkan kondisi air di bengawan alias sungai besar; sebuah harapan agar aliran itu terus mengalir dengan normal. Ya, tidak tersendat menuju laut atau ketika musim hujan tidak menimbulkan air bah.
Seandainya soal air sesuai dengan harapan Gesang, tentu tidak akan ada masalah. Air bisa dinikmati siapa saja. Air bisa membasahi siapa saja. Dan, air mampu membantu kegiatan mahluk Tuhan di mana pun berada.
Sayang, bengawan terpanjang di Pulau Jawa tidak lagi seperti sedia kala. Air mengalir hingga ke laut sering tersendat. Akibatnya, ketika musim hujan tiba, banjir melanda sekian daerah yang dilintasi sungai tersebut. Air melimpah, mencari tempat yang lebih rendah. Ujung-ujungnya, warga mengungsi karena kelebihan air.
Soal pasokan air, jika tidak disikapi dengan benar, bandar udara yang sedang dibangun di Kualanamu bisa berbahaya. Ini bukan soal kelebihan pasokan seperti banjir di kawasan Bengawan Solo, tapi lebih ketiadaan pasokan. Menariknya, bukan karena di Sumatera Utara tak ada Bengawan Solo – soal sungai tentunya Sumatera Utara tak kalah – tapi ini lebih karena masih menjadi perdebatan siapa yang akan memasok air ke bandara internasional itu. 
Tidak seperti lagu tadi, soal air untuk Kualanamu lebih mengarah ke ego. Lebih tepatnya ego daerah. Atas nama otonomi daerah, pasokan air ke Kualanamu menjadi rebutan. Kualanamu yang berada di Deliserdang, menurut pemerintah setempat menjadi wilayah mereka dan tidak bolah ada perusahaan lain yang memasok air. Dengan kata lain, Kualanamu adalah urusan Tirtadeli; perusahaan air daerah milik Pemkab Deliserdang. Di sisi lain, mengingat itu bandara tidak kelas kabupaten dan malah kelas internasional, Tirtanadi – perusahaan air milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara – juga ingin berperan.
Poinnya, Pemkab Deliserdang tetap bersikeras dengan tidak memberi izin Tirtanadi untuk memasok air ke bandar udara tersebut. Pemkab Deliserdang berdalih, kawasan bandar udara yang diproyeksikan sebagai bandara internasional pengganti Bandara Polonia tersebut, tidak termasuk dalam kerja sama operasi (KSO) antara Tirtanadi dengan Tirtadeli. Nah, dalam KSO itu, Tirtanadi ‘hanya’ boleh memasok air ke tiga kawasan yang menjadi wilayah Tirtadeli yakni Lubukpakam, Batangkuis, dan Tanjungmorawa. Sementara Bandara Kualanamu, merupakan kawasan Beringin, Sekip, dan Pantailabu. Jadi, Tirtanadi tidak dibenarkan untuk ikut ambil bagian di Kualanamu.
Urusan ego makin menarik setelah Direktur Tirtanadi ngotot kalau soal itu sejatinya tidak ada masalah. Mereka tetap mengalirkan air ke Kualanamu karena langkah mereka melakukan nota kesepahaman dengan PT AP II pada 2009 lalu berdasarkan perintah Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) yang ketika itu dijabat Rudolf M Pardede.  Bahkan, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi C DPRD Sumut dengan pihak-pihak terkait, di Gedung DPRD Sumut Rabu (23/5) lalu, Dirut Titanadi Azzam Rizal mengklaim sudah menggelontorkan Rp7 miliar untuk kebutuhan penyaluran tersebut.
Di tempat terpisah, baru-baru ini, pihak Pemkab Deliserdang tak mau kalah. Melalui asisten 2 Pemkab Deliserdang (bidang perekonomian), Agus Ginting, mereka pun mengklaim siap gelontorkan anggaran Rp28 miliar. Dana itu untuk pendanaan pembangunan reservoir (bak penampungan) air dan pemasangan pipa sepanjang 60 kilometer. Sumber dananya Rp20 miliar berasal dari APBN ditambah Rp5 miliar BDB dan Rp3 miliar dari APBD.
Sayangnya, perdebatan ini terus berlanjut sementara Kualanamu sudah lama dirindukan hadir. Ya, bak kata Gesang, Riwayatmu kini//Sedari dulu jadi//Perhatian insani. Ya, air mengalir ke Kualanamu memang membutuhkan waktu. (*)

Sumut Pos, Selasa 12 Juni 2012

Berebut Kamar Hotel Sabtu Pagi


Oleh Ramadhan Batubara

Sabtu pukul setengah delapan. Listrik di rumah saya yang sejak pukul sepuluh malam padam belum juga menyala. Saya mati bakat; tak tahu harus berbuat apa.
Jujur, ketergantungan saya terhadap listrik telah begitu parah. Saking parahnya, bisa mengalahkan ketergantungan saya terhadap bahan bakar minyak. Contohnya, ketika si Lena (sepeda motor saya) kehabisan bensin dan saya tak punya uang untuk membeli bahan bakar itu, saya tidak begitu suntuk. Ya, saya masih bisa jalan kaki dan kalau jaraknya jauh, saya masih bisa numpang kendaraan kawan.
Nah, soal listrik cukup mengerikan. Buktinya, Sabtu pagi kemarin. Suntuk di kepala sedemikian hebat. Televisi tidak bisa dinyalakan. Telepon seluler minim daya. Dan, air di bak kamar mandi hanya cukup untuk cuci muka dan sikat gigi (saya tidak berlangganan air dari perusahaan daerah itu, tapi mengandalkan air tanah yang disedot oleh mesin bertenaga listrik). Parahnya lagi, saya pun tak bisa minum kopi di pagi hari! Tak ada persediaan air, listrik telah padam sejak pukul sepuluh malam.
Ya, daripada suntuk makin jadi, saya ajak istri yang bermimik putus asa gara-gara listrik, untuk pindah rumah sementara ke hotel. Nah, di sinilah cerita baru dimulai…, fiuh.
Berangkat dari Jalan Panglima Denai, kami memilih untuk menjajal Jalan Sisingamangaraja. Di jalan itu, setahu saya banyak hotel dengan harga bervariasi, terutama di seputaran Masjid Raya Medan. Namun, belum sampai ke kawasan itu, di dekat Stadion Teladan ada hotel bertingkat, menawarkan harga yang menggoda. Pada spanduk di depan hotel itu, tertulis Rp250 ribu untuk satu malam. Ya sudah, kami berbelok.
Usai memarkir si Lena di belakang hotel, saya dan istri langsung ke resepsionis. Hm, kakak-kakak yang bertugas tersenyum. Wajar. Tapi, saya merasa senyumnya dipaksakan. Pasalnya, dia kelihatan bingung melihat saya dan istri. Bagaimana tidak, muka kami lucu. Muka baru bangun tidur yang tentunya tidak seperti tamu hotel kebanyakan.
Sudahlah, tanpa basa-basi, saya langsung memesan kamar seharga tulisan di spanduk tadi.
“Habis, Pak. Yang ada cuma deluxe, itupun tinggal satu,” kata si resepsionis.
Saya intip harganya. Saya lirik sang istri. Tanpa kata, kami berdua balik kanan. Harga kamar seperti di spanduk tak ada, bagus cari yang lain.
Kembali ke parkiran. Nyalakan si Lena, kami pun berangkat menuju kawasan seputaran Masjid Raya. Lucunya, karena jalanan masih sepi, kami malah tergoda untuk mencoba hotel-hotel lain. Maka, kami berbelok ke kanan usai pusat perbelanjaan di seberang Masjid Raya itu. Di jalan itu, setahu kami, juga banyak hotel dan penginapan. Dan, berhentilah kami di sebuah hotel yang hanya berjarak paling jauh seratus lima puluh meter dari perempatan pusat perbelanjaan itu. Hotel itu berada di sisi kiri jalan dia bertingkat. Tampilannya juga cukup menjanjikan.
“Kelas standar dan superior habis,” kata resepsionis.
“Lux  jadilah,” sahut saya percaya diri karena melihat harga yang masih terjangkau. Pun, tarif untuk kamar super lux, siapa takut?
Sayangnya, ketika mengecek kamar, ada suasana yang tak nyaman. Aroma tak sedap langsung menyergap hidung. Kamar mandi, waduh, ampun.
Istri saya langsung inisiatif, mengajak untuk melihat kamar super lux. Hasilnya kamar itu memang lebih luas. Sekali lagi sayang, kondisinya sama saja. Fiuh.
Ya sudah, sambil berusaha senyum, kami permisi. Tidak jadi.
Lalu, sekian hotel kami jajali lagi. Sebagian besar hotel yang memang sudah bernama di Medan; tentunya masih di seputaran Masjid Raya Medan. Dan, rata-rata kamar habis. Hotel yang sering menjadi tempat artis ibu kota hingga tempat pemain bola juga kami coba. Sayangnya, penuh.
Badan makin gerah. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Perut lapar. Kami pun singgah di sebuah rumah makan yang terkenal di kawasan itu. Rumah makan Padang. Kami memesan lontong; maklum sarapan. Dua gelas teh manis panas pun kami pesan. Sial, harganya tiga puluh tujuh ribu lima ratus rupiah. Tapi, kesialan itu ternyata berbuah nikmat. Rumah makan itu bergabung dengan hotel. Berlabel hotel keluarga, kami melihat suasananya cukup nyaman. Ya sudah, kami datangi resepsionis. Tebak apa jawaban resepsionis? Ya, kamar penuh.
Tapi, sang resepsionis tiba-tiba bicara, katanya akan ada yang keluar satu jam lagi. Kamarnya kelas suite. Jadi, kalau kami mau sabar, dipersilahkan menunggu.
Saya pandangi istri yang sedang memandang saya. Dan, melalui tatapan, kami sepakat untuk menunggu. Ya, sudah capek berburu kamar hotel di akhir pekan.
Akhirnya, pukul setengah sepuluh  kami langsung masuk. Begitu pintu dibuka room boy, kami tersenyum. Kamar cukup menyenangkan. Pantas saja, suite!
Terserahlah, masalah harga urusan belakang. Begitu room boy pergi, saya dan istri langsung suntuk. Pasalnya, kami berdua berebut untuk mandi dan juga berebut untuk menambah daya telepon seluler kami. Ealah…. (*)

Sumut Pos, Minggu 10 Juni 2012

Rabu, 06 Juni 2012

Senyum Rahudman


Oleh Ramadhan Batubara

Rahudman Harahap tersenyum di Istana Negara di Jakarta. Berpakaian batik berwarna lembut, kokoh dia pegang piala Adipura yang baru diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ini prestasi dan harus dibanggakan, mungkin itu yang ada dalam otak Rahudman.
Soal isi otak memang sesuatu yang sangat pribadi. Bisa saja seseorang tersenyum, tapi isi kepalanya memaki. Tapi, kalau melihat senyum Rahudman saat difoto sambil memegang piala Adipura, tampaknya saya yakin kalau semua orang sepakat, senyum itu tulus.
Pertanyaannya, sebegitu hebatkah Adipura hingga seorang Rahudman Harahap bisa bersikap begitu? Sejarah mencatat, program Adipura telah dilaksanakan setiap tahun sejak 1986, kemudian terhenti pada 1998. Dalam lima tahun pertama, program Adipura difokuskan untuk mendorong kota-kota di Indonesia menjadi ‘Kota Bersih dan Teduh’. Program Adipura kembali dicanangkan di Denpasar, Bali pada tanggal 5 Juni 2002, dan berlanjut hingga sekarang. Pengertian kota dalam penilaian Adipura bukanlah kota otonom, namun bisa juga bagian dari wilayah kabupaten yang memiliki karakteristik sebagai daerah perkotaan dengan batas-batas wilayah tertentu.
Nah, untuk meraih hal itu bukan gampang bukan? Medan memang pernah meraih Adipura. Tidak tanggung-tanggung, Adipura malah bak tradisi bagi Kota Medan. Di bawah kepemimpinan Wali Kota Medan Bachtiar Djafar saat itu, Medan sampai lima kali berturut memperolehnya. Tradisi meraih Adipura kemudian berlanjut sampai kepemimpinan Wali Kota Medan Abdillah. Kemudian terhenti, saat kota ini dilanda ‘prahara’ dengan berbagai problema.
Nah, kini setelah tujuh tahun, Adipura kembali ke Kota Medan. Dan tentunya, menambah jumlah pajangan piala Adipura di Jalan Adam Malik.
Senyum Rahudman pun makin mengembang karena dia memang memasang target mengembalikan Adipura ke Kota Medan. “Insya Allah bisa kita peroleh Tahun 2012. Kita sedang persiapkan tim dan sudah terus kita lakukan pertemuan dan langkah-langkah yang melibatkan lurah dan camat.  Harapan kita masyarakat mendukung,” kata Rahudman pada Maret lalu.
Secara pribadi saya sangat bangga dengan keberhasilan itu. Maka, saya pun begitu semangat menulis hingga beberapa paragraf dalam catatan ini. Tapi, di sisi lain, saya teringat keluhan Bu Selo warga Jalan Panglima Denai. Ya, dia merasa dianaktirikan oleh Pemerintah Kota Medan. Pasalnya, di beberapa jalan di Kota Medan disediakan tempat sampah, tapi di Jalan Panglima Denai yang panjang itu, tak ada satu pun tong sampah berwarna oranye milik Pemko.
Bu Togar warga Jalan Bahagia By Pass lain lagi. Dia marah pada Pemko karena ‘merusak’ beberapa taman yang ada di tengah jalan; yang sebelumnya menjadi penghias jalan seperti di perempatan Jalan Juanda-Jalan Sisingamangaraja-Jalan Halat. “Masak garar-gara macet, taman dihancuri. Kan jadi gak cantik lagi Medan,” begitu katanya.
Dua keluhan di atas tentunya berbanding terbalik dengan senyum Rahudman bukan? Ayolah, Rahudman tersenyum kan karena Medan diakui Indonesia sebagai kota metropolitan yang berhasil dalam kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan. Nah, kenapa masih ada beberapa poin yang belum sesuai? Apalagi, ketika Medan sudah menjadi kota yang langganan banjir.
Tapi, sekali lagi, ketika melihat senyum Rahudman lagi, saya ikut tersenyum. Hati saya berkata, ini tetap sebuah prestasi dan tetap harus dibanggakan. Ya, masalah Adipura sebagai pujian atau ujian, itu kan urusan belakang. (*)

Sumut Pos, Rabu 6 Juni 2012

Ragam Menu Ragam Perangai


Oleh Ramadahan Batubara

Sambal udang cuma tiga ribu perak. Sop ceker tiga ribu perak. Sambal ikan asin dua ribu perak. Sambal teri kacang dua ribu perak. Total sepuluh ribu perak. Menu makan sehari pun aman. Empat plastik dibawa pulang. Senyum mengembang.
Menu di atas dipesan tetangga saya kemarin pagi jelang siang. Tepatnya, di warung yang berada di pojok sebuah jalan bernama Tuar, Medan Amplas. Kenapa saya letakkan menu itu di lead, jawabnya karena saya terkejut. Ya, bukankah harga itu cukup terjangkau?
Saking terkejutnya, kemarin saya pun ikuti menu tetangga tadi. Tentunya dengan harga yang sama. Dan, saya pun tersenyum sambil membawa empat bungkus menu itu. Lucunya, ketika tersenyum, saya merasa senyum itu pun sama dengan tetangga. Bagaimana tidak, pelayanan dari dua orang di warung itu cukup memuaskan. Mereka cukup cekatan menyendokan menu yang dipesan hingga membungkusnya dalam plastik.
Praktis, cukup lima menit semua menu siap dibawa pulang. Hal ini sangat menolong pembeli yang mengular mengantre.
Sayangnya, ketika sampai di rumah, senyum saya langsung hilang. Tadi saya diminta tolong oleh istri untuk membeli lontong. Fiuh. Tapi sudahlah, yang jelas, ketika menjamurnya warung cepat saji dan aneka ayam penyet hingga maraknya warung Padang, warung kecil itu benar-benar membuat saya lega. Bagaimana tidak, biasanya saya terbiasa dengan menu dengan harga yang sudah dipatok. Di warung kecil di Jalan
Tuar itu, harga benar-benar bisa dinegoisasikan. Misalnya, ketika saya latah untuk membeli sambal udang tadi. Ketika saya sampaikan pesanan pada penjual, dia malah balik bertanya: berapa? Tergagap, saya jawab tiga ribu; persis dengan tetangga tadi.
Nah, angka tiga ribu membuat otak saya bekerja. Maksud saya begini, jika memang bisa beli seharga tiga ribu, berarti bisa beli dengan harga dua ribu atau seribu rupiah bukan? Pun, bisa beli sambal udang itu sepuluh ribu rupiah kan? Tentu, kenyataan ini cukup menyenangkan. Pasalnya, sebagai keluarga kecil, yang terdiri dari dua orang, kita
kan tak harus membeli sambal udang itu sampai sepuluh ribu rupiah. Cukup disesuaikan dengan kebutuhan.
Lucunya, kehebatan warung kecil di Medan Amplas itu makin tampak beberapa jam kemudian. Tepatnya, sehabis saya dan rekan-rekan bermain futsal di kawasan STM Medan.
Jadi, usai main futsal -- kali ini formasi pemain bisa dikatakan lengkap -- kami sepakat untuk makan di sebuah warung ayam penyet di kawasan itu juga. Label warung ini cukup pas mengingat ayam penyet cenderung berasal dari Pulau Jawa: nama warung ini adalah nama komunitas putra Jawa di Sumatera. Nah, ketika baru duduk, kami langsung didatangi pelayan; perempuan. Dia tersenyum ramah layaknya pelayan di mana saja. Kami pun senang sambil memperhatikan daftar menu lengkap dengan harganya. Meski tidak semurah warung di Jalan Tuar (hehehehehe), saya melihat harga itu masih sangat wajar. Maka, satu persatu dari kami mulai ribut memesan.
Saat memesan inilah terjadi sesuatu yang tak menyenangkan. Pelayanan itu menghilangkan senyumnya. Malah, dia terlihat marah. Dia tak ramah lagi menunggu kami memesan. Kesannya, dia ingin buru-buru kami memesan. Hal ini bagi saya lucu. Pasalnya, kami berjumlah belasan orang, menu yang ditawarkan juga banyak, mengapa dia tidak sabar.
Melihat itu, saya jadi batal memesan. Entahlah, mungkin karena masih terbayang kenikmatan belanja di warung kecil tadi, saya jadi malas memesan di ayam penyet ini. Pelayannya kurang menyenangkan. Padahal, kami tidak menggodanya, kami hanya lama memilih. Eh, kok marah. Ya sudah, saya saja yang marah.
Kawan-kawan tetap memilih. Saya bertahan tidak. Parahnya, ketika pesanan datang, si pelayan tadi malah menghilangkan keramahan. Dia letakkan pesanan begitu saja. Tanpa senyum, seakan kami ke warung itu bukan untuk membeli. Tapi sudahlah, mungkin kami dilihatnya tak menyenangkan; meski hal ini tak boleh dilakukan pelayan bukan?
Belum lagi kesal saya hilang, eh, si pelayan malah buat kesalahan lagi. Minuman pesanan seorang kawan malah salah. Fiuh.
Beruntung sang kawan tetap menerima. Nah, ketika sudah begitu, si pelayan tetap tak tersenyum! Bukankah seharusnya dia bersyukur dengan sikap kawan saya tadi hingga dia tak harus menanggung kesalahan itu?
Tapi, sekali lagi, sudahlah. Dua ratus dua belas ribu berpindah ke warung itu. Tak masalah. Makanan di warung itu memang sudah ada harga standar. Tidak bisa ditawar. Tidak bisa dibeli setengah-setangah. Dan, kalau anak kecil yang belanja, ya jumlah makanan dan harga pun tidak bisa disesuaikan: tetap ikut porsi orang dewasa.
Begitulah, soal makanan memang tak hanya sekadar soal rasa dan harga. Ada bahasa lain terkait hal itu, yakni kenyamanan. Dan, mungkin hal ini yang dilupakan pelayan tadi. Namun, sudahlah .... (*)

Sumut Pos, Minggu 3 Juni 2012

 
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates