Oleh Ramadhan Batubara
Sabtu pukul setengah delapan. Listrik di rumah saya yang sejak pukul
sepuluh malam padam belum juga menyala. Saya mati bakat; tak tahu harus berbuat
apa.
Jujur, ketergantungan saya terhadap listrik telah begitu parah. Saking
parahnya, bisa mengalahkan ketergantungan saya terhadap bahan bakar minyak.
Contohnya, ketika si Lena (sepeda motor saya) kehabisan bensin dan saya tak
punya uang untuk membeli bahan bakar itu, saya tidak begitu suntuk. Ya, saya
masih bisa jalan kaki dan kalau jaraknya jauh, saya masih bisa numpang
kendaraan kawan.
Nah, soal listrik cukup mengerikan. Buktinya, Sabtu pagi kemarin. Suntuk di
kepala sedemikian hebat. Televisi tidak bisa dinyalakan. Telepon seluler minim
daya. Dan, air di bak kamar mandi hanya cukup untuk cuci muka dan sikat gigi
(saya tidak berlangganan air dari perusahaan daerah itu, tapi mengandalkan air
tanah yang disedot oleh mesin bertenaga listrik). Parahnya lagi, saya pun tak
bisa minum kopi di pagi hari! Tak ada persediaan air, listrik telah padam sejak
pukul sepuluh malam.
Ya, daripada suntuk makin jadi, saya ajak istri yang bermimik putus asa
gara-gara listrik, untuk pindah rumah sementara ke hotel. Nah, di sinilah
cerita baru dimulai…, fiuh.
Berangkat dari Jalan Panglima Denai, kami memilih untuk menjajal Jalan
Sisingamangaraja. Di jalan itu, setahu saya banyak hotel dengan harga bervariasi,
terutama di seputaran Masjid Raya Medan. Namun, belum sampai ke kawasan itu, di
dekat Stadion Teladan ada hotel bertingkat, menawarkan harga yang menggoda.
Pada spanduk di depan hotel itu, tertulis Rp250 ribu untuk satu malam. Ya
sudah, kami berbelok.
Usai memarkir si Lena di belakang hotel, saya dan istri langsung ke
resepsionis. Hm, kakak-kakak yang bertugas tersenyum. Wajar. Tapi, saya merasa
senyumnya dipaksakan. Pasalnya, dia kelihatan bingung melihat saya dan istri.
Bagaimana tidak, muka kami lucu. Muka baru bangun tidur yang tentunya tidak
seperti tamu hotel kebanyakan.
Sudahlah, tanpa basa-basi, saya langsung memesan kamar seharga tulisan di
spanduk tadi.
“Habis, Pak. Yang ada cuma deluxe, itupun tinggal satu,” kata si
resepsionis.
Saya intip harganya. Saya lirik sang istri. Tanpa kata, kami berdua balik
kanan. Harga kamar seperti di spanduk tak ada, bagus cari yang lain.
Kembali ke parkiran. Nyalakan si Lena, kami pun berangkat menuju kawasan
seputaran Masjid Raya. Lucunya, karena jalanan masih sepi, kami malah tergoda
untuk mencoba hotel-hotel lain. Maka, kami berbelok ke kanan usai pusat
perbelanjaan di seberang Masjid Raya itu. Di jalan itu, setahu kami, juga
banyak hotel dan penginapan. Dan, berhentilah kami di sebuah hotel yang hanya
berjarak paling jauh seratus lima puluh meter dari perempatan pusat
perbelanjaan itu. Hotel itu berada di sisi kiri jalan dia bertingkat.
Tampilannya juga cukup menjanjikan.
“Kelas standar dan superior habis,” kata resepsionis.
“Lux jadilah,” sahut saya percaya
diri karena melihat harga yang masih terjangkau. Pun, tarif untuk kamar super
lux, siapa takut?
Sayangnya, ketika mengecek kamar, ada suasana yang tak nyaman. Aroma tak
sedap langsung menyergap hidung. Kamar mandi, waduh, ampun.
Istri saya langsung inisiatif, mengajak untuk melihat kamar super lux.
Hasilnya kamar itu memang lebih luas. Sekali lagi sayang, kondisinya sama saja.
Fiuh.
Ya sudah, sambil berusaha senyum, kami permisi. Tidak jadi.
Lalu,
sekian hotel kami jajali lagi. Sebagian besar hotel yang memang sudah bernama
di Medan; tentunya masih di seputaran Masjid Raya Medan. Dan, rata-rata kamar
habis. Hotel yang sering menjadi tempat artis ibu kota hingga tempat pemain
bola juga kami coba. Sayangnya, penuh.
Badan makin gerah. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul setengah sembilan.
Perut lapar. Kami pun singgah di sebuah rumah makan yang terkenal di kawasan
itu. Rumah makan Padang. Kami memesan lontong; maklum sarapan. Dua gelas teh
manis panas pun kami pesan. Sial, harganya tiga puluh tujuh ribu lima ratus
rupiah. Tapi, kesialan itu ternyata berbuah nikmat. Rumah makan itu bergabung
dengan hotel. Berlabel hotel keluarga, kami melihat suasananya cukup nyaman. Ya
sudah, kami datangi resepsionis. Tebak apa jawaban resepsionis? Ya, kamar penuh.
Tapi, sang resepsionis tiba-tiba bicara, katanya akan ada yang keluar satu
jam lagi. Kamarnya kelas suite. Jadi, kalau kami mau sabar, dipersilahkan
menunggu.
Saya pandangi istri yang sedang memandang saya. Dan, melalui tatapan, kami
sepakat untuk menunggu. Ya, sudah capek berburu kamar hotel di akhir pekan.
Akhirnya, pukul setengah sepuluh
kami langsung masuk. Begitu pintu dibuka room boy, kami tersenyum. Kamar
cukup menyenangkan. Pantas saja, suite!
Terserahlah, masalah harga urusan belakang. Begitu room boy pergi, saya dan
istri langsung suntuk. Pasalnya, kami berdua berebut untuk mandi dan juga
berebut untuk menambah daya telepon seluler kami. Ealah…. (*)
Sumut Pos, Minggu 10 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar