Oleh Ramadhan Batubara
Maaf, ini bukan soal ibadah. Ini hanya soal pengalaman berada di sebuah
tempat jelang waktu Jumatan; waktu Salat Jumat. Kenapa harus saya lantunkan,
jawabnya karena saya tergoda. Ya, bukankah jarang menikmati suasana tenang di
Pajak Ikan Lama Medan?
Ceritanya, jelang Jumatan pekan lalu saya memasuki kawasan Pajak Ikan Lama.
Saya memang berniat ke tempat tersebut karena di lantun beberapa pekan lalu
saya sempat berjanji akan menulis tentang tempat itu. Sayang, beberapa kali ke
sana, saya selalu terhadang macet. Bayangkan saja, belum lagi masuk ke kawasan
itu beberapa kendaraan sudah bertumpuk. Ya sudah, saya balik kanan.
Nah, keadaan itu membuat saya berpikir; kapan kira-kira Pajak Ikan Lama
sepi? Sempat terpikir untuk mengunjungi kawasan di pusat Kota Medan itu pada
malam hari, tapi apa yang harus dilihat. Ya, saya sudah terlanjur ingin menulis
soal dinamika di sana. Jadi, ketika malam, apa yang bisa ditulis selain tentang
beberapa tukang becak yang tertidur di becaknya atau beberapa potong sampah yang
luput dikutip. Beruntung ada hari Jumat. Setidaknya, saat siang di hari Jumat,
lelaki Muslim berkumpul di masjid.
Maka, Jumat lalu, saya kunjungi tempat
itu. Kunjungan itu cukup singkat, pasalnya saya juga harus ke masjid. Jadi,
saya gunakan selang waktu sebelum Jumatan tadi. Praktis, di tempat itu saya
hanya sepuluh menit. Syukurnya, dalam sepuluh menit, saya merasakan Pajak Ikan
Lama yang lain; maksudnya tidak macet dan sumpek seperti biasanya. Ya, jalanan
yang persis gang-gang itu terlihat sepi. Tidak banyak orang dan kendaraan yang
berebut jalan seperti biasanya. Suasana panas pun seakan hilang. Cukup nyaman.
Saya memilih memarkirkan Lena (sepeda motor saya) di sisi kiri Jalan
Perniagaan – jalan ini hanya satu arah – tepatnya di depan sebuah warung sate
Padang yang berdekatan dengan warung makan Padang. Dengan kata lain, tempat parkir si Lena di deretan pantat rumah
Tjong Afie.
Layaknya detektif, agar tidak diketahui sedang memperhatikan sesuatu, saya
pun sok menyamar. Saya datangi sate Padang itu. Saya pesan satu. Saya makan
tanpa melihat; sambil makan saya terus memperhatikan sekeliling.
Di antara sate Padang dan warung makan Padang ada trotoar. Berarti, saya
berada di seberang warung Padang itu. Nah, dari tempat saya duduk, saya bisa
melihat langsung isi warung makan Padang itu. Lucu. Warung itu bukan seperti
warung, dia berbentuk gang. Jadi, di gang itulah kursi dan meja dijejerkan.
Dan, pemandangan yang saya dapati di situ adalah kaum hawa sedang makan, sama
sekali tidak ada lelaki. Hm, berarti kaum lelaki sudah pada ke masjid, pikir
saya.
Saya pun mengalihkan pandangan. Terlihat beberapa lelaki masih mendorong
tumpukan karung di atas gerobak dorong beroda dan memasukannya ke toko-toko.
Tubuh mereka kelam. Berpeluh. Mereka pun tampak begitu leluasa, berlari sambil
mendorong kereta dorongnya yang sarat muatan. Pemandangan ini jelas berbeda
dengan hari-hari biasa. Ya, biasanya mereka harus hati-hati karena pengguna
jalan cukup banyak. Teriakan dan makian sudah menjadi nyanyian yang khas di
kawasan itu. Dan kemarin, semua seakan hilang. Para pekerja kasar itu terlihat
bebas, bekerja dengan tenang.
Saya jadi bayangkan Pajak Ikan Lama sebelum menjadi kawasan tekstil. Dulu,
sejak tahun 1890 kawasan ini memang dikenal sebagai pusat perniagaan Kota
Medan. Awalnya merupakan pajak (pasar) ikan. Nah, ikan yang didatangkan dari
Belawan melalui kapal tongkang melalui Sungai Deli. Tentunya, di zaman itu juga
ada pengangkut barang juga kan? Mereka pasti bertubuh kelam. Berpeluh. Adakah
mereka sering berteriak juga ketika jalanan di gang-gang tersebut macet?
Entahlah.
Yang jelas, sejarah mencatat, seiring dengan ketidakmampuan Sungai Deli
untuk dilewati kapal-kapal tongkang, Pajak Ikan Lama pun berubah menjadi pusat
perdagangan kain dan pakaian. Pedagang di pajak ikan ini bukan hanya penduduk
asli, namun juga penduduk keturunan India dan Arab. Sehingga tidak jarang dapat
menemui komoditi berbau negara tersebut di pasar ini seperti parfum nonalkohol,
bahkan kurma!
Dan, di Pajak Ikan Lama yang tak lagi jualan ikanlah saya berada. Dan, saya
tertawa membayangkan kawasan ini sebagai pajak ikan dalam arti sesungguhnya;
apakah tante-tante yang memakai kacamata hitam dengan tas berwarna emas di
depan saya akan berada di sini juga? Begitulah, setelah memperhatikan para
pekerja dan beberapa bentuk toko, saya malah tertarik memperhatikan para
pengunjung di Pajak Ikan Lama ini. Satu di antaranya adalah tante yang duduk di
depan saya. Dia makan sate. Dia sendirian. Dia memakai kacamata. Dia memegang
tas berwarna emas miliknya erat-erat dengan tangan kiri. Dan, saya penasaran,
ada berapa uang di dalam tasnya itu. Ha ha ha ha.
Tapi sudahlah, dari beragam yang saya lihat, sejatinya ada yang menarik
kepenasaran saya. Yang saya maksud adalah suara. Jadi, sejak memarkir Lena,
saya terhibur dengan suara burung. Ramai. Suaranya dari atas. Dan ketika saya
mendongak, tidak ada seekor burung pun. Entah di mana burung itu. Kata
bebeberapa orang, burung itu jenis walet. Jadi, di puncak-puncak pertokoan ada
bilik yang memang disediakan untuk burung walet. Ayolah, air liur burung itu
cukup menggiurkan kan? Terbayang sebuah pemikiran, mungkinkah di masa depan
tempat ini akan berubah menjadi kawasan walet. Ya, dari menjual ikan berubah ke
tekstil dan kemudian menjadi penjual walet. Entahlah. Yang, jelas, namanya
pasti tetap Pajak Ikan Lama. He he he he.
Akhirnya, saya tinggalkan kawasan itu. Ya, tak lebih dari sepuluh menit
saya di sana. Sepiring sate Padang telah pindah ke perut. Selembar uang seribu
pun telah pindah ke tukang parkir. Dan, beberapa menit lagi Salat Jumat
dimulai. Saya harus segera ke Masjid Raya Medan; tempat yang pekan depan akan
saya tulis juga. (*)
Sumut Pos, Minggu 17 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar