Oleh Ramadhan Batubara
Rahudman Harahap tersenyum di Istana Negara di Jakarta. Berpakaian batik
berwarna lembut, kokoh dia pegang piala Adipura yang baru diberikan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Ini prestasi dan harus dibanggakan, mungkin itu yang
ada dalam otak Rahudman.
Soal isi otak memang sesuatu yang sangat pribadi. Bisa saja seseorang
tersenyum, tapi isi kepalanya memaki. Tapi, kalau melihat senyum Rahudman saat
difoto sambil memegang piala Adipura, tampaknya saya yakin kalau semua orang
sepakat, senyum itu tulus.
Pertanyaannya, sebegitu hebatkah Adipura hingga seorang Rahudman Harahap
bisa bersikap begitu? Sejarah mencatat, program Adipura telah dilaksanakan
setiap tahun sejak 1986, kemudian terhenti pada 1998. Dalam lima tahun pertama,
program Adipura difokuskan untuk mendorong kota-kota di Indonesia menjadi ‘Kota
Bersih dan Teduh’. Program Adipura kembali dicanangkan di Denpasar, Bali pada
tanggal 5 Juni 2002, dan berlanjut hingga sekarang. Pengertian kota dalam
penilaian Adipura bukanlah kota otonom, namun bisa juga bagian dari wilayah
kabupaten yang memiliki karakteristik sebagai daerah perkotaan dengan
batas-batas wilayah tertentu.
Nah, untuk meraih hal itu bukan gampang bukan? Medan memang pernah meraih
Adipura. Tidak tanggung-tanggung, Adipura malah bak tradisi bagi Kota Medan. Di
bawah kepemimpinan Wali Kota Medan Bachtiar Djafar saat itu, Medan sampai lima
kali berturut memperolehnya. Tradisi meraih Adipura kemudian berlanjut sampai
kepemimpinan Wali Kota Medan Abdillah. Kemudian terhenti, saat kota ini dilanda
‘prahara’ dengan berbagai problema.
Nah, kini setelah tujuh tahun, Adipura kembali ke Kota Medan. Dan tentunya,
menambah jumlah pajangan piala Adipura di Jalan Adam Malik.
Senyum Rahudman pun makin mengembang karena dia memang memasang target
mengembalikan Adipura ke Kota Medan. “Insya Allah bisa kita peroleh Tahun 2012.
Kita sedang persiapkan tim dan sudah terus kita lakukan pertemuan dan
langkah-langkah yang melibatkan lurah dan camat. Harapan kita masyarakat mendukung,” kata Rahudman pada Maret
lalu.
Secara pribadi saya sangat bangga dengan keberhasilan itu. Maka, saya pun
begitu semangat menulis hingga beberapa paragraf dalam catatan ini. Tapi, di
sisi lain, saya teringat keluhan Bu Selo warga Jalan Panglima Denai. Ya, dia
merasa dianaktirikan oleh Pemerintah Kota Medan. Pasalnya, di beberapa jalan di
Kota Medan disediakan tempat sampah, tapi di Jalan Panglima Denai yang panjang
itu, tak ada satu pun tong sampah berwarna oranye milik Pemko.
Bu Togar warga Jalan Bahagia By Pass lain lagi. Dia marah pada Pemko karena
‘merusak’ beberapa taman yang ada di tengah jalan; yang sebelumnya menjadi
penghias jalan seperti di perempatan Jalan Juanda-Jalan Sisingamangaraja-Jalan
Halat. “Masak garar-gara macet, taman dihancuri. Kan jadi gak cantik lagi
Medan,” begitu katanya.
Dua keluhan di atas tentunya
berbanding terbalik dengan senyum Rahudman bukan? Ayolah, Rahudman tersenyum
kan karena Medan diakui Indonesia sebagai kota metropolitan yang berhasil dalam
kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan. Nah, kenapa masih ada
beberapa poin yang belum sesuai? Apalagi, ketika Medan sudah menjadi kota yang
langganan banjir.
Tapi, sekali lagi, ketika melihat senyum Rahudman lagi, saya ikut
tersenyum. Hati saya berkata, ini tetap sebuah prestasi dan tetap harus
dibanggakan. Ya, masalah Adipura sebagai pujian atau ujian, itu kan urusan
belakang. (*)
Sumut Pos, Rabu 6 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar