Oleh Ramadhan Batubara
Almarhum Gesang sempat menulis lirik air mengalir sampai jauh dalam
lagunya Bengawan Solo. Sebuah
lirik yang menggambarkan kondisi air di bengawan alias sungai besar; sebuah
harapan agar aliran itu terus mengalir dengan normal. Ya, tidak tersendat
menuju laut atau ketika musim hujan tidak menimbulkan air bah.
Seandainya soal air sesuai dengan harapan Gesang, tentu tidak akan ada
masalah. Air bisa dinikmati siapa saja. Air bisa membasahi siapa saja. Dan, air
mampu membantu kegiatan mahluk Tuhan di mana pun berada.
Sayang, bengawan terpanjang di Pulau Jawa tidak lagi seperti sedia kala.
Air mengalir hingga ke laut sering tersendat. Akibatnya, ketika musim hujan
tiba, banjir melanda sekian daerah yang dilintasi sungai tersebut. Air
melimpah, mencari tempat yang lebih rendah. Ujung-ujungnya, warga mengungsi
karena kelebihan air.
Soal pasokan air, jika tidak disikapi dengan benar, bandar udara yang
sedang dibangun di Kualanamu bisa berbahaya. Ini bukan soal kelebihan pasokan
seperti banjir di kawasan Bengawan Solo, tapi lebih ketiadaan pasokan.
Menariknya, bukan karena di Sumatera Utara tak ada Bengawan Solo – soal sungai
tentunya Sumatera Utara tak kalah – tapi ini lebih karena masih menjadi
perdebatan siapa yang akan memasok air ke bandara internasional itu.
Tidak seperti lagu tadi, soal air untuk Kualanamu lebih mengarah ke ego.
Lebih tepatnya ego daerah. Atas nama otonomi daerah, pasokan air ke Kualanamu
menjadi rebutan. Kualanamu yang berada di Deliserdang, menurut pemerintah
setempat menjadi wilayah mereka dan tidak bolah ada perusahaan lain yang
memasok air. Dengan kata lain, Kualanamu adalah urusan Tirtadeli; perusahaan
air daerah milik Pemkab Deliserdang. Di sisi lain, mengingat itu bandara tidak
kelas kabupaten dan malah kelas internasional, Tirtanadi – perusahaan air milik
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara – juga ingin berperan.
Poinnya, Pemkab Deliserdang tetap bersikeras dengan tidak memberi izin
Tirtanadi untuk memasok air ke bandar udara tersebut. Pemkab Deliserdang
berdalih, kawasan bandar udara yang diproyeksikan sebagai bandara internasional
pengganti Bandara Polonia tersebut, tidak termasuk dalam kerja sama operasi
(KSO) antara Tirtanadi dengan Tirtadeli. Nah, dalam KSO itu, Tirtanadi ‘hanya’
boleh memasok air ke tiga kawasan yang menjadi wilayah Tirtadeli yakni
Lubukpakam, Batangkuis, dan Tanjungmorawa. Sementara Bandara Kualanamu,
merupakan kawasan Beringin, Sekip, dan Pantailabu. Jadi, Tirtanadi tidak
dibenarkan untuk ikut ambil bagian di Kualanamu.
Urusan ego makin menarik setelah Direktur Tirtanadi ngotot kalau soal itu
sejatinya tidak ada masalah. Mereka tetap mengalirkan air ke Kualanamu karena
langkah mereka melakukan nota kesepahaman dengan PT AP II pada 2009 lalu
berdasarkan perintah Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) yang ketika itu dijabat
Rudolf M Pardede. Bahkan, dalam Rapat
Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi C DPRD Sumut dengan pihak-pihak
terkait, di Gedung DPRD Sumut Rabu (23/5) lalu, Dirut Titanadi Azzam Rizal
mengklaim sudah menggelontorkan Rp7 miliar untuk kebutuhan penyaluran tersebut.
Di tempat terpisah, baru-baru ini, pihak Pemkab Deliserdang tak mau kalah.
Melalui asisten 2 Pemkab Deliserdang (bidang perekonomian), Agus Ginting,
mereka pun mengklaim siap gelontorkan anggaran Rp28 miliar. Dana itu untuk
pendanaan pembangunan reservoir (bak penampungan) air dan pemasangan pipa
sepanjang 60 kilometer. Sumber dananya Rp20 miliar berasal dari APBN ditambah
Rp5 miliar BDB dan Rp3 miliar dari APBD.
Sayangnya, perdebatan ini terus berlanjut sementara Kualanamu sudah lama
dirindukan hadir. Ya, bak kata Gesang, Riwayatmu kini//Sedari dulu
jadi//Perhatian insani. Ya, air mengalir ke Kualanamu memang membutuhkan
waktu. (*)
Sumut Pos, Selasa 12 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar