Oleh Ramadhan Batubara
Terlambat. Masjid itu telah penuh. Saya
tak mendapat tempat. Saya harus berdiri di tangga, menanti Salat Jumat dimulai.
Begitulah, Jumat lalu saya tiba di
Masjid Raya Medan pukul satu lebih sepuluh menit. Ceramah sudah memasuki sesi
akhir. Ya, sudahlah daripada sama sekali tidak ke masjid itu seperti janji saya
pekan lalu, saya harus bertahan.
Begitu sampai -- tentunya setelah
mengambil air wudhu -- saya langsung menuju pintu masjid yang segaris dengan
gerbang masuk. Di situ sudah ada empat sampai enam orang yang berdiri. Penuh.
Saya pun memilih pintu masuk yang lain; yang sebelah dalam dan menghadap Jalan
Sisingamangaraja; menghadap pagar yang berdampingan dengan halte. Hasilnya,
tetap sama. Di pintu itu ada sekitar tiga orang yang berdiri. Ya sudah, saya pilih
pintu itu.
Sambil berdiri, saya berusaha mengintip
ke dalam masjid. Wah, terlihat masih ada ruang. Berarti, ketika salat nanti,
saya bisa sembayang di dalam. Jadi, saya tak harus salat di halaman seperti
beberapa tahun lalu saat berada di Masjid Raya Banda Aceh; beberapa tahun
sebelum tsunami. Saat itu, persis dengan Jumat lalu, saya juga terlambat. Tak
pelak, saya salat beratap matahari dan berlantai conblock. Parahnya lagi, saya
tidak membawa sajadah! Bisa bayangkan itu? Siapa bilang beribadah itu gampang?
Nah, kenangan di Banda Aceh langsung
mengemuka ketika saya berdiri di tangga-tangga Masjid Raya Medan; saya juga
tidak membawa sajadah. Beruntung, seperti yang saya katakan tadi, setelah
mengintip ternyata masih ada ruang.
Harus disadari, posisi salat dan
mendengar ceramah memang beda. Ketika mendengar ceramah, jamaah pastinya duduk.
Namanya, duduk, tentu jamaah membutuhkan tempat yang lebih banyak. Nah, ketika
berdiri untuk salat, ada ruang yang tersisa bukan? Apalagi, saat salat posisi
berdiri memang harus rapat.
Sembari menunggu saatnya salat, saya
sempat melihat tempat penitipan sandal dan sepatu. Di berada di sisi tangga,
sementara di anak tangga berjejer sepatu dan sandal lainnya. Cukup beragam
jenis alas kaki itu. Saya tersenyum-senyum sendiri, terbayang oleh saya Usaha
Kecil Menengah (UKM) yang ada di Menteng – sebelumnya pernah saya tulis dengan
judul ‘Sepatuku Buatan Menteng, Sepatumu?’ – apakah semua sepatu itu buatan
para pekerja sana? Dan, saya menjawab, tentu tidak. Lihat saja, ada berbagai
jenis dan berbagai merek. Saya prediksi, kebanyakan alas kaki yang saya lihat
adalah barang impor. Ya, bisa saja dari China dan bisa juga dari Bandung.
Tapi sudahlah, kehadiran saya di Masjid
Raya ini bukan untuk memperhatikan sepatu. Saya ingin salat dan saya ingin
menulis tentang masjid yang sejatinya bernama Masjid Al Mashun. Menurut laman Wikimapia.org, masjid ini mulai
dibangun tanggal 1 Rajab 1324H atau 21 Agustus 1906 dan selesai 10 September
1909 oleh Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Beberapa bahan dekorasi dibuat
dari Italia dan Jerman serta konon menjadi satu bagian dengan komplek Istana
Maimun yang berjarak hanya dua ratus meter.
Masjid yang dirancang oleh Dingemans
dari Amsterdam (dengan bentuk yang simetris jika dilihat dari keempat sisinya)
memiliki gaya yang diambil dari budaya Timur Tengah, India, dan Spanyol. Masjid
dibangun dengan bentuk segi 8 (oktagonal) dan memiliki 4 sayap di setiap bagian
selatan timur utara dan barat yang berbentuk seperti bangunan utama namun
berukuran lebih kecil. Luas keseluruhan bangunan adalah 5.000 meter.
Masih menurut sumber itu, konsep
bangunan utama beserta bangunan sayap katanya merupakan konsep bangunan masjid
kuno di Timur Tengah; di sana masjid dibangun dengan ruang tengah sebagai ruang
utama (disebut sahn) dan empat sayap
berupa gang beratap untuk berteduh (disebut mugatha/suntuh).
Beruntung saya berdiri di tangga-tangga
masjid itu tidak terlalu lama. Jika lama, mungkin pikiran saya entah ke mana
melayang. Iqamat berkumandang. Saya
pun merobos masuk ke dalam. Ternyata, selain kami yang berdiri di tangga, ada
juga beberapa jamaah lain yang berdiri di sisi dinding sebelah dalam. Berebutan
posisi pun terjadi. Tapi, jangan anggap berbutan posisi seperti di dunia
politik, di masjid tidak ada saling sikut. Semuanya berbeut dengan nyaman;
ketika seseorang sudah berada di saf atau barisan, maka orang lain akan mencari
tempat yang lain. Ada sebuah pengertian yang tercipta. Jadi, kalau di jalanan, perebutan
ini persis dengan lalu lintas yang berada di Bundaran Majestik Medan atau
Bundaran HI Jakarta atau juga Bundaran UGM Jogjakarta. Ya, di sebuah bundaran
para pengendara memang tampak lebih manusia dibanding perempatan yang diatur
dengan lampu aba-aba; seperti robot yang menggunakan remote control.
Dan, setelah melewati beberapa menit
pencarian, saya mendapat posisi di saf nomor dua dari belakang. Lumayan.
Suasana dalam masjid begitu sejuk. Fiuh…, jauh berbeda saat berdiri di tangga
tadi.
Usai salat, saya berkesempatan keluar
masjid lebih cepat dibanding jamaah lainnya. Perut mulai terasa lapar. Saya
melirik ke luar pagar masjid, begitu banyak jajanan yang ditawarkan. Sayang
saya tidak selera. Saya malah memperhatikan rujak yang berada di seputaran
Taman Sri Deli, tepat di seberang masjid. Hm, menyenangkan makan buah saat
panas seperti ini. Saya ingin melangkah ke sana. Tapi, saya sadar, sejak pagi
perut belum terisi. Bisa repot jika hari saya awali dengan rujak bukan?
Apalagi, saya pernah dengar, selain enak rujak di Taman Sri Deli juga terkenal
karena mahalnya. Hm, bahan menarik untuk dilantunkan bukan?
Tapi, sudahlah. Saya tak mau ambil
risiko sakit perut. Saya urungkan niat ke Taman Sri Deli itu. Nanti sajalah,
suatu saat jika saya sudah sarapan, saya akan kunjungi rujak itu dan menuliskan
untuk Anda. Sabar ya…. (*)
Sumut Pos, Minggu 24 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar