Lantun ini yang berisikan tentang pandangan hidup seseorang

Jumat, 30 Maret 2012

Tukang Ban dan Tukang Rambutan

Oleh Ramadhan Batubara

Entah apa yang ada dalam otak seorang tukang ban di Jalan Gajah Mada Medan Senin lalu. Bukan maksud tidak mendukung gerombolan mahasiswa yang sedang menyuarakan nasibnya, tapi dia juga butuh makan. Karena itulah, ketika gerombolan mahasiswa itu meminta ban bekas miliknya, dia menolak.
Akibatnya, dia dipukuli. Bibirnya luka. Pipinya lembam.
Ya, fragmen di atas adalah kisah nyata yang terjadi di Medan saat aksi ribuan orang menentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Ironis. Mahasiswa yang lantang menyuarakan nasib ‘orang kecil’ malah melakukan tindakan yang merugikan ‘orang kecil’ itu.
Bisakah tukang ban diartikan sebagai orang yang tidak mau mendukung usaha mahasiswa menolak harga BBM? Tampaknya tidak juga, bisa saja tukang ban mendukung. Ya, bagaimanapun, ketika harga tak jadi naik, dia pasti tertolong bukan? Tapi masalahnya, bisa saja tukang ban tidak suka gaya mahasiswa yang berunjuk rasa dengan membakar ban. Pasalnya, ketika ban dibakar, yang timbul adalah suasana panas dan ujung-ujungnya ricuh. Nah, kalau ricuh, keadaan Medan menjadi tak menyenangkan. Sebagai warga Medan, dia pasti tidak suka hal itu. Apalagi, dasar ricuh karena ban bekas miliknya.
Di sisi lain, apa sebab mahasiswa harus menggunakan ban dalam beraksi. Apa yang ingin dicapai? Bukankah telah ada sajak luar biasa yang berjudul Peringatan karya Wiji Tukul dengan larik khasnya: Hanya satu kata, Lawan! Pun, Jhon Sonny Tobing dan Ahmad Munajat telah mencipta lagu demonstrans yang menumental Darah Juang untuk mewakili rasa. Coba perhatikan sepenggal liriknya: Mereka dirampas haknya//tergusur dan lapar//Bunda, relakan darah juang kami//tuk membebaskan rakyat.
Tapi begitulah, tukang ban dan mahasiswa tampaknya tak sepaham arti aksi Senin lalu. Ada komunikasi yang tak sampai. Mahasiswa tak mampu memberi pengertian dari perjuangan yang mereka perjuangkan dan tukang ban tidak melihat nasibnya sedang diperjuangkan. Dengan kata lain, tukang ban tak mau rugi dan mahasiswa beranggapan tukang ban harus mau rugi karena mereka sedang memperjuangkan nasib orang-orang seperti tukang ban.
Kisah di atas berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan olerh Taufik Ismail dalam sajaknya yang berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya. Sajak yang dihasilkan Taufik pada 1966 lalu itu bercerita bagaimana seorang tukang jualan rambutan melemparkan sepuluh ikat dagangannya kepada para demonstran: Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu// Anak-anak sekolah//Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!//Sampai bensin juga turun harganya//Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula.
Setelah itu, Taufik menulis bait berikutnya. Sebuah bait yang menggambarkan komunikasi terjalin baik antara pendemo dan tukang rambutan tadi: Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu//Biarlah sepuluh ikat juga//Memang sudah rezeki mereka.
Maka, akan ada yang mengatakan 1966 dan 2012 adalah dua waktu yang berbeda. 1966 adalah aksi merobohkan rezim, dia mirip dengan era Darah Juang dan sajak Wiji Tukul yakni 1998 yang juga merobohkan rezim yang dianggap tak benar. Sementara 2012 ‘hanya sekadar’ soal harga BBM. Rezim yang berkuasa pun masih dianggap benar. Setidaknya, kalau tak benar, tukang ban itu akan memberikan ban bekasnya pada sang demonstran bukan? Ya, seperti tukang rambutan ala Taufik Ismail. (*)

Sumut Pos, Kamis 29 Maret 2012

Minggu, 25 Maret 2012

Berpikir Plagiatisme di Warung Bubur Ayam Cirebon

Oleh Ramadhan Batubara

Jangan pakai kacang. Tolong beri lada yang banyak. Dua kalimat ini saya lontarkan pada penjual bubur ayam ala Cirebon yang ada di seputaran Museum Sumatera Utara. Ya, saya memang butuh bubur akibat fisik yang tidak fit.
-----
Sang penjual pun sigap. Tak sampai lima menit, pesanan saya sudah ada di depan mata. Mangkuk putih yang diberikannya penuh dengan kerupuk berwarna merah. Menggoda. Saya aduk dan satu persatu suapan saya nikmati.

Sayang, lidah memang sedang tidak siap mengecap rasa. Bubur yang biasanya nikmat terasa hambar. Saya tambahi sambal, tidak lupa kecapnya. Fiuh tetap saja.

Lalu, saya lihat ada sate kerang (kalau makanan ini jelas khas Medan). Saya ambil satu tusuk. Saya campur dengan bubur yang sudah berwarna kecoklatan itu. Akibatnya, bubur berubah warna lagi; agak kemerahan. Sumpah, saya berharap akan ada rasa berbeda setelah saya makan itu. Tapi, sekali lagi, sayang. Bubur itu tetap saja hambar.

Nyaris putus asa, saya pun memesan teh manis hangat. Entahlah, saya hanya berharap pada rasa. Dengan kata lain, jika tak dapat asin dan pedas, kenapa tak coba manis?

Rupanya, setelah menunggu sekira sepuluh menit --setelah minuman itu hadir-- rasa bisa saya rasakan. Manis memenuhi lidah, bahkan sampai ke kulit bibir. Nikmat.

Saya sendokan lagi bubur ayam itu. Tergigit oleh saya daun bawang dan bawang gorengnya. Tidak menunjukkan rasa luar biasa, memang, tapi cukuplah menambah semangat makan. Ya, perut harus terisi agar obat bisa diminum.

Tapi, harus saya katakan, cukup lama saya harus menghabiskan semangkuk bubur ayam itu. Selain soal rasa yang penuh dengan hambar, pikiran saya juga terbelah. Ini semua karena Sumut Pos edisi pekan lalu mengalami kecelakaan. Tepatnya di halaman sastra di rubrik puisi.

Begitulah, ada puisi yang begitu mirip dengan karya Kahlil Gibran. Ceritanya, puisi itu tentang anak. Nah, ketika ada penikmat sastra yang mengingatkan saya tentang hal itu, saya shock. Ini tentunya sebuah pukulan bagi saya. Ya dengan kata lain, kenapa puisi karya anak Medan yang begitu mirip dengan karya penyair Lebanon itu bisa lolos.

Sempat saya berusaha membela diri (tentunya dalam hati) dan mengatakan kalau dalam dunia sastra ada istilah yang namanya hipogram. Artinya, karya sastra bisa muncul karena ada keterikatan dengan karya sebelumnya. Dengan kata lain, bisa saja puisi anak Medan itu berlandaskan teori tersebut. Tapi, setelah terbit dan saya perhatikan dengan seksama, ternyata sulit juga diterima. Malah, ini menjurus plagiat.

Saya coba membela diri lagi. Saya katakan pada diri saya: puisi itu tercipta karena terinspirasi secara berlebihan. Tapi, kalimat khas milik Kahlil begitu telanjang dipindahkan oleh anak Medan itu. Dia hanya mengganti persona 'mu' pada Kahlil menjadi 'ku' pada sajaknya. Fiuh.

Satu lagi yang membuat saya shock, sajak Kahlil tentang anak sudah sering kali saya kutip untuk lantun. Tapi, kenapa ketika meloloskan sajak karya anak Medan itu saya seperti lupa ingatan? Apakah ini karena saya terlalu percaya pada mereka yang mengirimkan karya? Entahlah...

Saya harus akui, soal plagiatisme memang sangat sulit dilawan. Cukup banyak kasus yang telah terjadi. Beberapa redaktur di media yang sudah mapan pun telah jadi korban. Kali ini mungkin giliran saya. Ya, saya terima itu. Seperti saat ini, saya sedang makan bubur ayam Cirebon. Pertanyaannya, mungkinkah yang saya makan ini juga buah dari plagiatisme?

Maksud saya begini, bubur yang terasa hambar karena lidah saya lagi malas mengecap rasa kan katanya berasal dari Cirebon? Nah, mungkinkah bubur ini jiplakan dari bubur asli Cirebon yang terkenal itu? Sulit juga saya ambil kesimpulan, masalahnya ini sangat luas. Apalagi, soal makanan yang berlabel daerah cenderung tidak dipatenkan. Dia merupakan produk massal. Tercipta melalui proses panjang. Jadi, siapapun bisa mengklaim. Ayolah, berapa rumah makan Padang di Jawa sana yang pemiliknya bukan orang Minang?

Persis dengan warung bubur ayam Cirebon, beberapa langkah dari tempat saya makan ini ada juga warung bubur ayam: namanya warung bubur ayam Jakarta. Hahahahaha.

Tapi begitulah, selain fisik tidak fit, bubur ayam makin tak nikmat karena masalah plagiat memang menghantui saya. Saya kecewa dengan diri saya sendiri. Saya kecewa dengan 'penyair' yang saya percayai. Dan, saya ingin Anda masih percaya dengan koran ini. Itu saja. (*)

Sumut Pos, Minggu 24 Maret 2012

Senin, 19 Maret 2012

Halte Terpanjang Sedunia Itu di Sini

Oleh Ramadhan Batubara

Siang di pusat Kota Medan seperti terpangang. Sabtu kemarin, jarum jam sudah menunjukkan pukul dua lewat lima belas. Sama sekali belum ada tanda akan hujan, padahal BMKG memprediksi hujan deras hingga Mei mendatang. Payah.

Saya berlindung di sebuah ruang tunggu di parkiran kantor media yang berada di kawasan Kesawan. Ruang yang hanya berdinding satu sisi itu tak juga menolong. Angin hanya sekadar lewat, tidak mendinginkan. Sudahlah, nikmati saja.

Ya, seperti kata orang bijak: ketika siksa terus dialami dia akan berubah menjadi biasa. Jadi, saya coba biasakan saja kondisi ini; menikmati panas tanpa mengeluh.

Saya pun mengalihkan pandangan ke jalan di depan sana. Sebuah jalan yang katanya penuh sejarah. Jalan ini menuju Lapangan Merdeka: tempat yang juga sangat bersejarah bagi Kota Medan.

Tiba-tiba saya terkejut. Di jalan itu ada angkot berwarna hijau dengan nomor 70 berhenti mendadak. Posisi angkot itu sebelumnya di tengah jalan, mendadak supirnya banting stir ke kiri; ke tepi jalan, di depan geduang tua kosong dan  disewakan; di samping sebuah minimarket waralaba.

Tak pelak, tingkah pola angkot itu menuai makian. Ribut sesaat. Bunyi klakson dan makian pengendara lain mengemuka, menambah panas suasana. Sang angkot tak peduli. Dia tak membalas makian. Supirnya malah asyik mengelap wajah dengan handuk kumalnya. Sementara, penumpang yang baru dia turunkan sibuk mencari uang dari dalam saku celana. Cukup lama proses itu. Cukup lama pula suara klakson dari mobil mewah yang terjebak di belakang angkot.

Parahnya, setelah kejadian angkot hijau bernomor 70 itu, angkot lain yang berwarna biru dengan garis kuning di bagian badanya dan bernomor 12 juga mendadak berhenti. Dia tidak menurunkan penumpang, tapi mengangkut penumpang yang berdiri di depan sebuah toko musik di dekat bank yang logonya bertuliskan warna hijau. Fiuh.

Terus terang dua kasus itu mengingatkan saya dengan beberapa makian yang telah saya lontarkan pada supir angkot di kota ini. Makian itu saya lontarkan bukan karena marah, tapi lebih mengarah pada terkejut. Ayolah, di kota ini masih adakah pengendara yang tak memaki?

Lantun kali ini bukan untuk mendiskreditkan supir angkot atau apapun itu, namun lebih kepada keindahan Kota Medan. Ya, sebuah ciri khas. Ya, sebuah karakter kuat. Mungkin karena itulah, beberapa hari lalu ketika bertemu dengan Bakti Alamsyah, dia mengatakan Medan adalah kota terhebat di dunia. Katanya, bayangkan saja, halte di Medan adalah halte terpanjang di dunia.

Mendengar kalimat sang pengamat tata ruang itu, saya langsung terbahak. Ya, lansung teringat dengan masa sebelum memiliki kendaraan. Sudako atau angkot adalah pilihan utama bagi saya. Cukup indah memang, saya bisa naik di mana saja, bahkan saya sering turun di lampu merah. Jadi, tidak harus untuk menunggu angkutan umum di sebuah halte; berebut tempat duduk agar menunggu menjadi nyaman. Hehehe.

Kelebihan Medan lagi (ini lebih mengarah ke Indonesia secara umum), pengguna angkutan benar-benar dimanjakan. Kata si Alamsyah tadi sambil mengutip kalimat profesornya (saya lupa nama profesor yang dimaksud Alamsyah), transportasi di tempat kita adalah yang terbaik di dunia. Kok bisa? Itu dia, profesor itu mengatakan (tentunya dengan mulut Alamsyah), di Indonesia begitu keluar gang atau rumah, seorang warga sudah ditunggu becak. Lalu, si becak mengantarkan ke jalan besar. Di jalan besar sudah ada angkutan umum atau taksi. Dari situ bisa langsung ke terminal, stasiun, pelabuhan, bahkan bandara. Bukankah itu luar biasa! Tidak ada negara lain yang bisa membuat warganya begitu termanjakan. Fiuh.

Ya,saya sepakat.  Di negara lain transportasi umum cenderung terbatas, tidak seperti Indonesia; kalau boleh diantar sampai kamar mandi, pasti ada penyedia jasa yang mau hehehehe.

Tapi sudahlah, Medan sebagai pemilik halte terpanjang sedunia memang hebat. Selain memanjakan penumpang, halte itu juga menghemat pengeluaran pemerintah. Ya, kan tak perlu membuat bangunanya. Toh bangunan halte yang ada selama ini saja kurang maksimal.

Masalahnya kenapa siang ini begitu panas? Bagaimana mereka yang menunggu angkot di mulut gang, tak ada atap di sana. Ah..., beruntung saya di sini, di ruang tunggu parkiran perkantoran media ternama yang ternyata  mirip halte. Heheheheh.(*)


Sumut Pos, Minggu 18 Maret 2012

Selasa, 13 Maret 2012

Undangan


Oleh Ramadhan batubara

Pernah seorang kawan bercerita kalau kado yang dia bawa ditolak di sebuah pesta pernikahan. Padahal, untuk membeli kado itu, dia harus mengorbankan hampir setengah gajinya. Maklum, yang pesta adalah anak dari atasannya; jadi dia berusaha memberikan yang terbaik.
Apa mau dikata, kado tersebut terpaksa dibawa pulang. Sang penerima tamu berkeras tak mau menerima. Malah, kawan tadi seakan dibentak untuk melihat undangan terlebih dahulu sebelum menghadiri pesta pernikahan. Sial, undangan tertinggal di rumah. Sang kawan jadi bingung, apa salah dia?
Setelah sampai di rumah, sang kawan langsung mencari undangan yang dimaksud. Setelah melihat undangan itu, dia baru sadar. Di kertas tebal berwarna emas plus gambar hati itu ada tulisan: tidak menerima kado dan karangan bunga.
Begitulah, sejak itu kawan tadi selalu memperhatikan undangan sebelum berangkat ke suatu pesta. Dia tidak mau rugi lagi. Bayangkan saja, setengah gajinya habis karena kado yang ditolak tersebut. Tidak mungkin dia menyalahkan yang punya hajat karena kesalahannya itu kan?
Terus terang, cerita kawan tadi mengingatkan saya pada kasus jalur undangan masuk perguruan tinggi yang menghebohkan itu. Ya, sebuah SMA di-blacklist di jalur undangan karena pada tahun lalu dianggap curang oleh panitia pusat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Ditemui kasus kalau SMA itu melakukan manipulasi data. Karena itu, SMA ini pun tidak mendapat kesempatan untuk ikut jalur undangan di tahun ini. Akibatnya, sekian ratus siswa SMA itu gigit jari. Padahal, ratusan siswa itu sama sekali tidak salah. Dan, ketika itu diberlakukan selama tiga tahun, berapa siswa lagi yang harus gigit jari. Fiuh.
Pertanyaannya, apakah pem-blacklist-an itu adalah salah panitia pusat SNMPTN? Wajarkah pihak orangtua menyalahkan panitia pusat?
Atas nama hak mendapatkan pendidikan adalah benar sikap orangtua siswa, tapi coba lihat ke belakang. Maksud saya, seperti kisah kawan tadi, dia tidak membaca undangan hingga merugi karena membeli kado. Itu adalah kerugian kawan tadi semata. Untuk SMA tersebut, benarkah lembaga pendidikan itu tak tahu ada blacklist secara otomatis jika berbuat curang. Jika tahu, kenapa masih mengambil risiko dengan mengorbankan siswanya yang lain? Jika tidak tahu, kok bisa?
Terus terang, saya beruntung punya kawan yang berkasus soal kado tadi. Pasalnya, dia itu adalah mantan mahasiswa yang bisa masuk ke perguruan tinggi melalui jalur undangan. Dia bercerita, pada akhir 1990-an lalu, dia diterima di universitas ternama di Indonesia tanpa tes. Istilahnya zaman itu adalah Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK). Meski masuk tanpa tes, dia terikat ‘kontrak’ dengan SMA-nya dan universitas yang dituju. Isi kontraknya, jika dalam dua tahun indeks prestasinya (IP) di bawah 2.00, maka sekolahnya akan di-blacklist oleh universitas tempat dia kuliah. Karena itulah, dia sungguh-sungguh belajar. Kenapa? Jawabnya, karena dia tidak mau adik kelasnya di tahun berikutnya tidak bisa kuliah di universitas itu dan sekolahnya mendapat nilai buruk di tingkat nasional!
Nah, untuk SMA tadi, sejatinya hal semacam ini kan bukan barang baru. Jadi ketika ada kejadian seperti sekarang, harusnya pihak sekolah sudah berpikir jauh ke depan. Kasihan ratusan murid yang sudah memimpikan kesempatan kuliah di perguruan tinggi negeri bukan? Seperti kata pepatah, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga
Lucunya, sang kepala sekolah SMA itu seolah tak bersalah dengan kesalahan yang dibuat lembaga yang dipimpinnya itu. Dengan enteng dia berkata, “Ini hanya salah satu jalur masuk perguruan tinggi negeri. Jalur ujian tulis kan masih ada, jadi saya pikir ini tidak begitu berpengaruh."
Sial, beberapa hari setelah dia berucap, pemerintah pusat malah menyatakan kalau tahun depan SMNPTN jalur ujian tulis dihapus. Praktis, untuk masuk perguruan tinggi hanya melalui jalur undangan dan mandiri. Lalu, mau dibawa ke mana semua siswa SMA itu yang memimpikan kuliah perguruan tinggi negeri? (*)

sumut pos, Selasa 13 Maret 2012

Sepatuku Bukan Buatan Menteng, Sepatumu Bagaimana?

Oleh Ramadhan Batubara

Akhir pekan lalu saya berkesempatan mengunjungi Pusat Industri Kecil yang ada di Menteng Kecamatan Medan Denai. Begitu memasuki komplek itu, saya sedikit bingung. Ya, kemana saja saya selama ini, kenapa tempat tersebut jarang terlihat?
Jujur saja, saya bertambah shock ketika menyadari Pusat Industri Kecil itu ternyata tidak seperti saya bayangkan. Maksud saya begini, ketika seorang kawan mengajak saya ke sana, maka dalam bayangan saya adalah pusat industri yang menyegarkan. Teringat oleh saya kawasan Kasongan dan Kota Gede di Jogjakarta sana. Ternyata di Menteng yang saya temukan adalah kumpulan rumah toko; kebanyakan malah kosong.
Memang, ada beberapa pengerajin sepatu dan kulit terlihat beraktivitas, namun tidak mendominasi. Suasana pertokoan tersebut malah terlihat seperti pemukiman. Ada anak yang bermain. Ada jemuran di sisi depan. Ada pula, di ruko itu, menjual sayur-sayuran. Sementara, beberapa warganya duduk di depan ruko sambil berbincang. Tak terbayangkan kalau tempat itu sejatinya adalah sentra industri kerajinan rumah tangga yang andal.
Padahal, menurut Ismed, ketua koperasi di tempat itu, awalnya komplek itu cukup ramai.  Ya, pada 1996 silam, PIK Menteng yang dibangun di Jalan Menteng VII, Medan melalui Wali Kota Bachtiar Djafar melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan mulai berhasil membangkitkan gelora industri rumah tangga. Berbagai macam produk pun berhasil diciptakan dengan pendapatan yang cukup memuaskan. Ekonomi masyarakat menengah ke bawah mulai dapat diperbaiki. Sayang, hal itu tidak bertahan lama. Ketika 1998 Indonesia dihantam krisis moneter, laju industri kecil di kawasan Menteng inipun kena imbas.
Begitupun ketika era Abdillah memimpin Medan. PIK Medan tak beranjak menuju peningkatan. Kata Ismed, wali kota itu terlalu peduli dengan pengusaha besar. Sementara, PIK semakin ditinggalkan. Ismed pun menceritakan PIK ini berupa sepatu, sendal pakaian, tas, bordir dan masih banyak lagi akhirnya 'punah' satu-persatu. Kawasan PIK yang terdiri dari 100 ruko ini juga kini banyak beralih fungsi sebagai rumah pribadi yang sudah dijual kepada orang lain.
Hal ini makin diperparah dengan kehadiran barang impor. Setidaknya, sepatu asal China, Thailand, dan Korea masuk bebas ke Sumut. Ujung-ujungnya memang soal uang. Pengusaha kecil yang masih berkecimpung di usaha kulit dan sepatu di PIK Medan memang masih bermasalah dengan modal. 
Nah, soal uang dan sepatu ini mengingatkan saya pada sebuah film Iran. Film ini berjudul Children of Heavens diproduksi pada 1997 lalu. Film ini dinominasikan dalam Academy Award untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik pada 1998. Selain itu, film ini juga meraih penghargaan pada Montreal World Film Festival, Newport International Film Festival, dan Silver Screen Awards di Singapore International Film Festival.
Kisah dalam film ini memang tentang uang dan sepatu. Sebuah kisah yang mengharukan. Bayangkan saja, kakak beradik yang karena miskinnya harus bergantian mengenakan sepatu ke sekolah. Si adik yang perempuan pun terpaksa menggunakan sepatu boot milik kakaknya yang laki-laki. Nah, di akhir cerita, sang kakak mengikuti kontes lari. Hadiahnya adalah sepatu. Si kakak pun mengincar juara tiga yang berhadiah sepatu karet. Rencananya, sepatu hadiah itu akan diberikan pada sang adik. Sayang, sang kakak malah meraih juara satu. Peringkat pertama ini meraih sepatu olahraga untuk laki-laki. Sepatu karet untuk adiknya pun gagal teraih.
Ironi. Memang, seperti film tadi, usaha sepatu di PIK Menteng jelas menyisakan ironi. Bagi saya, PIK harus memiliki suatu modal lebih. Ini bukan sekadar soal uang, tapi soal kreativitas. Sebagai sentra industri kecil, komplek itu kan sejatinya bisa diset tidak hanya untuk memproduksi barang. Dia bisa menjelma menjadi tempat tujuan wisata. Seperti yang saya katakan di awal tadi tentang Kasongan dan Kota Gede. Begini, ketika orang ke Jogja dan terpikir tentang gerabah, maka dia akan langsung menuju Kasongan. Begitu pun ketika teringat tentang perak, maka Kota Gede bisa jadi tujuan.
Tentu ini tentang imej yang harus dibangun PIK Menteng. Ismed sempat mengatakan kalau di lokasi itu memang cenderung mengarah pada kerajinan kulit dan sepatu. Nah, kenapa tidak dipromosikan oleh Pemko Medan? Jadikan Menteng sebagai kawasan wisata sepatu dan kerajinan kulit. Dan, pengerajin pun harus siap bersaing dengan sepatu dan kerajinan kulit dari daerah atau negara lain. Harus ada ciri khas. Harus ada keunikan.
Terbayang di otak saya, suatu saat ke depan, ketika ada seorang tamu dari luar kota memaksa saya untuk ke Menteng. Atau, ada seorang kawan di luar daerah yang sibuk menghubungi saya agar dikirimkan sepatu dan kerajinan kulit dari Menteng. Ah...
Tapi sudahlah, sore di pekan lalu itu memang menjadi pengetahuan baru bagi saya. Setidaknya, ketika berbincang dengan Ismed, saya tersadar kalau sepatu yang saya kenakan malah buatan China.... ups. (*)



Sumut Pos, Minggu 11 Maret 2012

Rabu, 07 Maret 2012

Jujur

Oleh Ramadhan Batubara

Walmiki menyuratkan dalam epos Ramayana bahwa kejujuran masih bisa disangsikan. Adalah Shinta yang jujur harus membuktikan sikapnya dengan mempertaruhkan nyawa.
Ya, ini tentang Shinta yang telah dibebaskan dari cengkeraman Rahwana. Namun, sang kekasih, Rama, kurang mempercayai kejujuran Shinta. Bagi Rama, bisa saja Shinta telah dinodai. Nah, Shinta pun harus membuktikan seratus persen kesuciaannya dengan terlebih dulu dibakar. Jika ternyata Shinta sudah digauli Rahwana maka api akan dengan mudah membakarnya. Sebaliknya jika dalam cengkeraman Rahwana, Shinta tidak ‘digarap’ maka api tidak akan mampu membakarnya.
Kisah Rama dan Shinta yang ditulis oleh Walmiki ini tampaknya terus berulang hingga sekarang. Bukan pada pembakaran itu, tapi pada kesangsian terhadap kejujuran. Jika pada epos itu, Shinta membuktikan dengan melompat ke api, di zaman sekarang apa yang harus dilakukan agar bisa dianggap jujur?
Pengadilan sudah persis panggung sandiwara, lihat saja kasus Wisma Atlet. Bersaksi dengan bersumpah pun sudah sulit untuk dipercaya. Marwah hingga wibawa pengadilan diperdayai. Tidak itu saja, lembaga sekolah pun sudah tidak lagi mencerminkan kejujuran. Atas nama kebanggaan, beberapa sekolah di Indonesia malah berani merekayasa nilai siswanya agar bisa diterima di perguruan tinggi. Dan, di Medan, diduga ada satu sekolah seperti itu.
”Sejak awal sudah diingatkan agar selalu jujur. Jangan berlaku curang dengan merekayasa nilai siswa. Sudah diberi kesempatan kok malah curang. Harus diberi hukuman,” sesal Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh belum lama ini.
Hukuman yang dipilih adalah mem-blacklist- sekolah bersangkutan selama tiga tahun. Ya, selama kurun waktu itu, sekolah yang bermasalah tidak dibenarkan mengikuti jalur undangan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
Dari kasus ini, muncul sebuah pertanyaan: kenapa harus direkayasa? Jawabnya, jalur undangan ini kan jalur khusus. Dia berbeda dengan SNMPTN. Dia tidak perlu mengikuti ujian tersebut, cukup mengirimkan data dan diteliti oleh perguruan tinggi yang dituju lalu lulus. Nah, data yang dimaksud adalah nilai siswa untuk beberapa semester yang telah dilalui. Biasanya, nilai yang grafiknya terus meningkatlah yang dinyatakan lolos. Nah, SMA pun mengubah itu agar siswanya lolos. Kalau lolos, kan SMA itu juga yang bangga: alumnis berada di universitas ternama.
Lalu, kenapa bisa ketahuan? Ketua Panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), yang juga Rektor Institut Teknologi Bandung, Akhmaloka punya jawabannya. Katanya, salah satu bukti kecurangan diperoleh panitia SNMPTN dari pengakuan siswa yang direkomendasikan mengikuti jalur undangan. Menurut pengakuan siswa itu, nilai-nilai yang diterima panitia bukanlah nilai asli. Kecurangan ini ditemukan tahun lalu dan sanksi diberikan tahun ini. Beberapa sekolah curang itu sudah mengklarifikasi temuan itu dan membantah telah berbuat curang. Yang terjadi semata-mata kesalahan pengisian data.
Jika begitu, mana yang jujur, pengakuan siswa atau sekolah? Entahlah, soal kejujuran memang harus terus dibuktikan. Dan, Walmiki telah memilih adegan bakar diri Shinta itu. Indonesia bagaimana? (*)

Sumut Pos, 6 Maret 2012

Jalan di Medan Berbuah-buah

Oleh Ramadhan Batubara


Jalan Bahagia By Pass Medan pukul tiga sore, tiga hari lalu. Panas. Lalu lintas tak istimewa, tetap menawarkan becok motor dan klakson mobil pribadi yang bercat mulus. Saya, bercelana pendek dan berjaket, berhenti tepat di depan warung buah yang ada di sana.
Alpukat sekilo lima belas ribu. Tanpa ditawar, sang penjual mengurangi harga itu seribu rupiah. "Udah pas itu, Lae. Modalnya cuma tiga belas ribu...," kata si penjual.
Saya bingung. Seingat saya, begitu memarkirkan sepeda motor, saya langsung menuju tumpukan alpukat dan mengatakan, "Sekilo Bang." Itu saja.
Tapi sudahlah, saya hargai pikiran dia yang merasa dagangannya itu saya tawar harganya. Sebagai bonusnya, saya melirik beberapa buah melon. Katanya, sekilo melon dihargai lima ribu rupiah. Saya pilih satu, besarnya seperti bola basket balon milik anak-anak. Saya timbang dan ukurannya nyaris dua setengah kilogram . "Tujuh ribu sajalah, Lae" kata si penjual lagi.
Bah, hari ini serasa saya dihujani diskon oleh si penjual. Benar-benar luar biasa, saya bangga dikerjainnya. Karena sok bangga, saya pun mencoba peruntungan. Ya, namanya kalau sudah dikasih hati, kenapa tidak minta jantung kan? "Berarti dua puluh ribu semuanya kan Bang," pancing saya.
Si penjual tersenyum. "Kan tadi udah dikurangi, Lae..." jawabnya.
Sekali lagi, luar biasa. Saya bangga dikerjainya. Dengan perasaan ikhlas yang tertahan, saya berikan padanya selembar uang seribu dan selembar uang dua puluh ribu rupiah. Selesai.
Saya berbalik, memutar arah sepeda motor, penjual itu sama sekali tidak peduli. Dia sibuk menghitung uangnya. Sedikit pun tidak ada senyum untuk melepas kepergian pembelinya dengan senyuman. Ayolah, seandainya dia ingin menjaga pelanggan, harusnya dia pura-pura peduli kan? Ah..., saya nyalakan mesin, dia malah nyalakan rokok; seperti tidak ada ikatan perbincangan menarik yang telah kami lewati.
Tapi sudahlah, urusan jual beli kan sudah selesai. Saya berjanji, tidak akan datang ke warung buah itu lagi. Bukan karena merasa tak dipedulika atau merasa tertipu dengan cara trik dagangnya itu, saya hanya merasa warung buah bukan di tempat itu saja. Tak percaya?
Baiklah, katakan pada saya, di ruas jalan mana di Medan ini yang tak ada penjual buahnya? Dengan catatan, buah asli atau buah olahan seperti es buah dan rujak. Bingungkan?
Hebatnya Medan lagi, di beberapa jalan malah identik dengan buah tertentu. Misalnya ketika melintasi Jalan Sunggal yang berada di kawasan Seisikambing B, dekat Tomang Indah. Di jalan itu, sejak dulu kala dikenal sebagai jalan penjual jagung muda. Para penjual dengan tempat pajang berupa papan bertingkat berjejer di bawah pohon-pohon besar yang ada di sana. Jagung muda yang mereka tawarkan pun telah dikupas dan dikemas dalam plastik transparan. Menariknya, setelah matahari terbenam, dagangan itu berubah menjadi durian. Maka, selain jagung muda, jalan ini pun dikenal sebagai kawasan durian juga; untuk durian memang baru berkembang beberapa tahun ke belakang saja.
Jalan lain yang identik dengan buah tertentu adalah Jalan Menteng VII. Di jalan ini akan ditemui beberapa penjual yang memiliki tempat mangkal di pinggir jalan dengan pajangan buah duku yang tergantung. Duku itu juga berplastik. Kalau sedang tidak musim duku, jalan ini bisa dipastikan tetap menjual duku. Maka tak heran, untuk satu plastik duku yang ukuran beratnya kurang lebih satu kilogram itu dihargai hingga lima belas ribu rupiah.   
Ada juga jalan pepaya alias kates. Pergilah ke Jalan Perintis Kemerdekaan. Sebelum sampai kampus Universitas HKBP Nommensen, di sisi kiri jalan Anda pasti menemukan barisan penjual pepaya. Mereka bersepeda. Dan, mereka berjualan tanpa mengenal musim sejak dulu kala di sana.
Kalau soal durian, wah pasti banyak jalan yang menawarkannya. Kita bisa menyebut Jalan Iskandar Muda, Brigjen Katamso, atau Jalan Sunggal tadi. Tapi, ada dua jalan yang diincar penggila durian. Jalan yang dimaksud adalah Jalan Jamin Ginting, tepatnya di kawasan Simalingkar, dan Jalan Gatot Subroto, tepatnya di Kampunglalang.
Dengan fasilitas yang dimiliki Medan soal buah ini, tentu saya tak mau diteken oleh satu penjual buah saja kan? Untuk mencari buah yang lengkap, sumpah cukup banyak warung buah seperti itu. Sebut saja di persimpangan Jalan Halat dengan AR Hakim, tepatnya dekat lampu merah. Lalu, di kawasan Simpang Limun, di Brigjen Katamso dekat Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jalan Karya Wisata dan Karya Jasa Medan Johor, serta berpuluh-puluh jalan lain yang ada di Medan.
Tapi sekali lagi, sudahlah. Kini saya menuju rumah saya yang ada di Medan Amplas. Alpukat dan melon telah ada dalam plastik yang saya gantungkan di sepeda motor. Matahari masih saja garang. Terbayang dalam otak saya, segelas jus alpukat dengan es batu yang banyak. Segar.
Begitu sampai persimpangan Jalan Selamat Ujung, saya lihat di sisi kiri ada sebuah warung buah. Langsung saja saya pukul kepala, kenapa tidak di warung buah itu saja saya membeli buah tadi. Fiuh.
Eit, beberapa meter dari situ, sebelum jembatan tepatnya di sisi kanan, ada juga warung buah. Sudahlah... (*)

Sumut Pos, 4 Maret 2012
       

Rindu Jalur Patimpus

Oleh Ramadhan Batubara

Sulit membayangkan bagaimana Guru Patimpus mengarungi sungai dari Tanah Karo hingga ke satu bandar di hilir Sungai Deli. Adakah dia terhambat seperti jalur macet yang sering dirasakan kini ketika akhir pekan?
Pastinya, saat itu dia menuruni lembah-lembah yang penuh mistis, hutan semak belukar dan binatang buas. Pun, dia mendaki lembah-lembah yang terjal dan curam. Lalu, menelusuri aliran Lau Petani agar sampai ke satu bandar di hilir Sungai Deli.
Terlepas dari pertemuannya dengan Datuk Kota Bangun untuk menguji kesaktian, apa yang dilakukan Guru Patimpus mencuri perhatian saya. Ya, apalagi soal perjalanannya menelusuri aliran Lau Petani tadi. Berbagai pertanyaan muncul tentang proses itu. Misalnya, berapa waktu yang dia tempuh dan seperti apa aliran sungai saat itu. Lalu, ketika dia kembali ke Tanah Karo, apakah dia masih menggunakan jalur air?
Soal waktu, sepertinya tidak begitu penting bagi saya. Pasalnya, mengikuti air yang menuju hilir tentunya bukan sesuatu yang sulit. Dia mengalir begitu saja, bahkan bisa menggunakan sebatang pohon pisang. Kalau pun ada rintangan, mungkin terletak pada binatang buas yang ada di sungai itu. Yang menjadi persoalan bagi saya, terletak pada proses dia kembali ke kampungnya yang ada di Tanah karo sana. Mungkinkah dia menggunakan darat, membelah hutan lebat yang masih perawan?
Baiklah, jika Guru Patimpus kemudian menikah dengan Putri Brayan. Dia pun dikabarkan menetap di kawasan pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura yang di kemudian hari dikenal dengan nama Medan. Tapi, apakah seumur hidupnya dia tidak pernah kembali ke Tanah Karo. Melalui jalur air tampaknya tidak mungkin, di zaman itu belum ditemukan peralatan yang bisa melawan arus air bukan? Atas nama kesaktian, tentu Guru Patimpus mampu. Tapi, tulisan ini bukan untuk membahas kesaktian keturunan Sisingamangara I itu. Ini tentang jalur transportasi.
Ya, sengaja saya tampilkan frangmen di atas untuk menyoroti bentuk jalur transportasi yang bisa diadakan di Kota Medan ini: sungai. Terinspirasi perjalanan Guru Patimpus, saya tertarik untuk membayangkan Medan sebagai kota yang memiliki jalur transportasi air. Dan, Kota Medan memiliki potensi tersebut.
Selain Sungai Deli dan Sungai Babura, di Kota Medan masih ada sungai-sungai lain seperti Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan, dan Sei Sulang Saling atau Sei Kera. Semua sungai tersebut bisa dikatakan saling berkaitan.
Sejarah telah membuktikan, sebelum jalan aspal merajai daratan, sungai adalah satu-satunya jalur yang paling pas untuk perpindahan manusia, barang, dan sebagainya. Bahkan, Sungai Deli dan Sungai Babura di zamannya adalah jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai. Seperti jalan protokol di zaman sekarang, rumah-rumah menghadap ke sungai. Jalur itupun mungkin saja macet ketika banyak perahu yang hilir mudik. Itulah sebab, Medan yang didirikan Guru Patimpus dan istrinya begitu pesat maju.
Sayangnya, kedua sungai itu kini seperti penyakit yang wajib disingkirkan. Fisik sungai sudah tidak menyenangkan. Penuh sampah dan berair dangkal. Jangankan untuk laju perahu dengan nyaman, sampah saja sering tersangkut; tenggelam dan menumpuk.
Harapan merebak, untuk mengatasi kemacetan di jalan darat Kota Medan, kenapa tidak dimanfaatkan jalur sungai yang banyak itu? Konkretnya begini, munculkan lagi jalur Guru Patimpus.
Tentu, jalur yang dimaksud tidak sekadar Tanah Karo dan Medan, tetapi Medan secara menyeluruh. Maka, akan ada jalur transportasi air yang nyaris melayani semua kecamatan. Sebut saja Kecamatan Medan Tuntungan, Medan Johor, Medan Selayang, Medan Polonia, Medan Maimun, Medan Kota, Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Petisah, Medan Barat, Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan, Medan Belawan, Medan Amplas, Medan Tembung, dan sebagainya.
Coba bayangkan, seorang PNS Pemko Medan berangkat dari rumahnya di Titi Kuning dengan boat mungil miliknya menuju kantor yang berada di Jalan Kapten Maulana Lubis. Lalu, setelah sampai di kantor, dia ditugaskan untuk meninjau Kecamatan Amplas. Maka, dia kendarai lagi boatnya untuk menuju aliran Sungai Denai. Begitu sampai, boatnya pun dia sandarkan di dermaga yang sudah tersedia di kecamatan itu. 
Kondisi tersebut memang belum nyata, tapi sangat mungkin menjadi nyata jika pemerintah mau melakukannya. Memang butuh kerja keras dan dana yang tak sedikit. Tapi, jika untuk membuat kota semakin nyaman, hal itu tentunya tidak berat. Jalanan darat yang macet bisa dikurangi dengan stabilnya jalur sungai. Soal kedangkalan sungai kan tinggal dikeruk. Lalu, sampah yang menumpuk dengan sendirinya akan hilang. Ya, adakah sampah yang menumpuk di tengah jalan raya di daratan Kota Medan?
Soal kebersihan sungai, pemerintah tinggal membentuk timnya. Jika di darat ada penyapu jalan, di air kan tinggal ciptakan tim pembersih sungai.  Selain itu, untuk menambahkan kenyamanan, dermaga-dermaga kecil dibangun di aliran sungai masing-masing; seperti halte. Lalu, pemerintah kota pun memunculkan angkutan air umum. Fiuh...
Tidak sampai di situ, sungai yang cenderung kecil diperlebar. Pasalnya, angkutan umum yang dimunculkan tentu mampu membawa banyak penumpang. Ayolah, di kota ini sudah sangat sulit untuk membuat jalan baru atau memperlebar jalan, tapi untuk memperlebar sungai tampaknya tidak sulit. Ujung-ujungnya, banjir yang selama ini jadi momok pun bisa diatasi tanpa harus membuat tanggul di setiap pinggir sungai.
Kisah Guru Patimpus yang menggunakan jalur air menuju bandar di hilir Sungai Deli adalah bijak untuk disikapi. Dari kisah itu, ditekankan, bahwa sungai adalah poin penting di kota ini. Dan, hal itu sejatinya masih berlaku sampai sekarang. Aliran sungai di kota ini melewati semua titik penting kota bukan? Lalu, kenapa tidak diberdayakan?
Saya percaya, ketika semua itu terwujud, rumah dan gedung di sisi sungai di kota ini akan semakin unik dan menarik. Ya, dia memiliki teras depan di dua arah; satu arah menghadap jalan dan satunya lagi menghadap sungai. Tidak seperti sekarang, tak ada satu rumah maupun gedung yang bagian depannya menghadap sungai. Jadi, ketika selama ini semua gedung dan rumah memantati sungai, jangan salahkan sungai jika dia jorok dan penuh sampah! (*) 
Sumut Pos, 4 maret 2012

Selasa, 06 Maret 2012

Awalnya

Sebenarnya sudah banyak yang kucatat. Tapi, biarlah. Kumulai lagi dari sini. Setiap pekan, kawan, minimalnya ada catatan untuk kalian.

Nikmatilah.
 
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates