Oleh Ramadhan
batubara
Pernah seorang
kawan bercerita kalau kado yang dia bawa ditolak di sebuah pesta pernikahan.
Padahal, untuk membeli kado itu, dia harus mengorbankan hampir setengah
gajinya. Maklum, yang pesta adalah anak dari atasannya; jadi dia berusaha
memberikan yang terbaik.
Apa mau dikata,
kado tersebut terpaksa dibawa pulang. Sang penerima tamu berkeras tak mau
menerima. Malah, kawan tadi seakan dibentak untuk melihat undangan terlebih
dahulu sebelum menghadiri pesta pernikahan. Sial, undangan tertinggal di rumah.
Sang kawan jadi bingung, apa salah dia?
Setelah sampai di
rumah, sang kawan langsung mencari undangan yang dimaksud. Setelah melihat
undangan itu, dia baru sadar. Di kertas tebal berwarna emas plus gambar hati
itu ada tulisan: tidak menerima kado dan karangan bunga.
Begitulah, sejak
itu kawan tadi selalu memperhatikan undangan sebelum berangkat ke suatu pesta.
Dia tidak mau rugi lagi. Bayangkan saja, setengah gajinya habis karena kado
yang ditolak tersebut. Tidak mungkin dia menyalahkan yang punya hajat karena
kesalahannya itu kan?
Terus terang,
cerita kawan tadi mengingatkan saya pada kasus jalur undangan masuk perguruan
tinggi yang menghebohkan itu. Ya, sebuah SMA di-blacklist di jalur
undangan karena pada tahun lalu dianggap curang oleh panitia pusat Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Ditemui kasus kalau SMA itu
melakukan manipulasi data. Karena itu, SMA ini pun tidak mendapat kesempatan
untuk ikut jalur undangan di tahun ini. Akibatnya, sekian ratus siswa SMA itu
gigit jari. Padahal, ratusan siswa itu sama sekali tidak salah. Dan, ketika itu
diberlakukan selama tiga tahun, berapa siswa lagi yang harus gigit jari. Fiuh.
Pertanyaannya,
apakah pem-blacklist-an itu adalah salah panitia pusat SNMPTN? Wajarkah
pihak orangtua menyalahkan panitia pusat?
Atas nama hak
mendapatkan pendidikan adalah benar sikap orangtua siswa, tapi coba lihat ke
belakang. Maksud saya, seperti kisah kawan tadi, dia tidak membaca undangan
hingga merugi karena membeli kado. Itu adalah kerugian kawan tadi semata. Untuk
SMA tersebut, benarkah lembaga pendidikan itu tak tahu ada blacklist
secara otomatis jika berbuat curang. Jika tahu, kenapa masih mengambil risiko
dengan mengorbankan siswanya yang lain? Jika tidak tahu, kok bisa?
Terus terang,
saya beruntung punya kawan yang berkasus soal kado tadi. Pasalnya, dia itu
adalah mantan mahasiswa yang bisa masuk ke perguruan tinggi melalui jalur
undangan. Dia bercerita, pada akhir 1990-an lalu, dia diterima di universitas
ternama di Indonesia tanpa tes. Istilahnya zaman itu adalah Penelusuran Minat
dan Bakat (PMDK). Meski masuk tanpa tes, dia terikat ‘kontrak’ dengan SMA-nya
dan universitas yang dituju. Isi kontraknya, jika dalam dua tahun indeks
prestasinya (IP) di bawah 2.00, maka sekolahnya akan di-blacklist oleh
universitas tempat dia kuliah. Karena itulah, dia sungguh-sungguh belajar.
Kenapa? Jawabnya, karena dia tidak mau adik kelasnya di tahun berikutnya tidak
bisa kuliah di universitas itu dan sekolahnya mendapat nilai buruk di tingkat
nasional!
Nah, untuk SMA
tadi, sejatinya hal semacam ini kan bukan barang baru. Jadi ketika ada kejadian
seperti sekarang, harusnya pihak sekolah sudah berpikir jauh ke depan. Kasihan
ratusan murid yang sudah memimpikan kesempatan kuliah di perguruan tinggi
negeri bukan? Seperti kata pepatah, gara-gara nila setitik rusak susu
sebelanga.
Lucunya, sang
kepala sekolah SMA itu seolah tak bersalah dengan kesalahan yang dibuat lembaga
yang dipimpinnya itu. Dengan enteng dia berkata, “Ini hanya salah satu jalur
masuk perguruan tinggi negeri. Jalur ujian tulis kan masih ada, jadi saya pikir
ini tidak begitu berpengaruh."
Sial, beberapa
hari setelah dia berucap, pemerintah pusat malah menyatakan kalau tahun depan
SMNPTN jalur ujian tulis dihapus. Praktis, untuk masuk perguruan tinggi hanya
melalui jalur undangan dan mandiri. Lalu, mau dibawa ke mana semua siswa SMA
itu yang memimpikan kuliah perguruan tinggi negeri? (*)
sumut pos, Selasa 13 Maret 2012
sumut pos, Selasa 13 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar