Jalan Bahagia By
Pass Medan pukul tiga sore, tiga hari lalu. Panas. Lalu lintas tak istimewa,
tetap menawarkan becok motor dan klakson mobil pribadi yang bercat mulus. Saya,
bercelana pendek dan berjaket, berhenti tepat di depan warung buah yang ada di
sana.
Alpukat sekilo
lima belas ribu. Tanpa ditawar, sang penjual mengurangi harga itu seribu
rupiah. "Udah pas itu, Lae. Modalnya cuma tiga belas ribu...," kata
si penjual.
Saya bingung.
Seingat saya, begitu memarkirkan sepeda motor, saya langsung menuju tumpukan
alpukat dan mengatakan, "Sekilo Bang." Itu saja.
Tapi sudahlah,
saya hargai pikiran dia yang merasa dagangannya itu saya tawar harganya.
Sebagai bonusnya, saya melirik beberapa buah melon. Katanya, sekilo melon
dihargai lima ribu rupiah. Saya pilih satu, besarnya seperti bola basket balon
milik anak-anak. Saya timbang dan ukurannya nyaris dua setengah kilogram .
"Tujuh ribu sajalah, Lae" kata si penjual lagi.
Bah, hari ini
serasa saya dihujani diskon oleh si penjual. Benar-benar luar biasa, saya
bangga dikerjainnya. Karena sok bangga, saya pun mencoba peruntungan. Ya,
namanya kalau sudah dikasih hati, kenapa tidak minta jantung kan? "Berarti
dua puluh ribu semuanya kan Bang," pancing saya.
Si penjual
tersenyum. "Kan tadi udah dikurangi, Lae..." jawabnya.
Sekali lagi, luar
biasa. Saya bangga dikerjainya. Dengan perasaan ikhlas yang tertahan, saya
berikan padanya selembar uang seribu dan selembar uang dua puluh ribu rupiah.
Selesai.
Saya berbalik,
memutar arah sepeda motor, penjual itu sama sekali tidak peduli. Dia sibuk
menghitung uangnya. Sedikit pun tidak ada senyum untuk melepas kepergian
pembelinya dengan senyuman. Ayolah, seandainya dia ingin menjaga pelanggan,
harusnya dia pura-pura peduli kan? Ah..., saya nyalakan mesin, dia malah
nyalakan rokok; seperti tidak ada ikatan perbincangan menarik yang telah kami
lewati.
Tapi sudahlah,
urusan jual beli kan sudah selesai. Saya berjanji, tidak akan datang ke warung
buah itu lagi. Bukan karena merasa tak dipedulika atau merasa tertipu dengan
cara trik dagangnya itu, saya hanya merasa warung buah bukan di tempat itu
saja. Tak percaya?
Baiklah, katakan
pada saya, di ruas jalan mana di Medan ini yang tak ada penjual buahnya? Dengan
catatan, buah asli atau buah olahan seperti es buah dan rujak. Bingungkan?
Hebatnya Medan
lagi, di beberapa jalan malah identik dengan buah tertentu. Misalnya ketika
melintasi Jalan Sunggal yang berada di kawasan Seisikambing B, dekat Tomang
Indah. Di jalan itu, sejak dulu kala dikenal sebagai jalan penjual jagung muda.
Para penjual dengan tempat pajang berupa papan bertingkat berjejer di bawah
pohon-pohon besar yang ada di sana. Jagung muda yang mereka tawarkan pun telah
dikupas dan dikemas dalam plastik transparan. Menariknya, setelah matahari
terbenam, dagangan itu berubah menjadi durian. Maka, selain jagung muda, jalan
ini pun dikenal sebagai kawasan durian juga; untuk durian memang baru
berkembang beberapa tahun ke belakang saja.
Jalan lain yang
identik dengan buah tertentu adalah Jalan Menteng VII. Di jalan ini akan
ditemui beberapa penjual yang memiliki tempat mangkal di pinggir jalan dengan
pajangan buah duku yang tergantung. Duku itu juga berplastik. Kalau sedang
tidak musim duku, jalan ini bisa dipastikan tetap menjual duku. Maka tak heran,
untuk satu plastik duku yang ukuran beratnya kurang lebih satu kilogram itu
dihargai hingga lima belas ribu rupiah.
Ada juga jalan
pepaya alias kates. Pergilah ke Jalan Perintis Kemerdekaan. Sebelum sampai
kampus Universitas HKBP Nommensen, di sisi kiri jalan Anda pasti menemukan
barisan penjual pepaya. Mereka bersepeda. Dan, mereka berjualan tanpa mengenal
musim sejak dulu kala di sana.
Kalau soal
durian, wah pasti banyak jalan yang menawarkannya. Kita bisa menyebut Jalan
Iskandar Muda, Brigjen Katamso, atau Jalan Sunggal tadi. Tapi, ada dua jalan
yang diincar penggila durian. Jalan yang dimaksud adalah Jalan Jamin Ginting,
tepatnya di kawasan Simalingkar, dan Jalan Gatot Subroto, tepatnya di
Kampunglalang.
Dengan fasilitas
yang dimiliki Medan soal buah ini, tentu saya tak mau diteken oleh satu penjual
buah saja kan? Untuk mencari buah yang lengkap, sumpah cukup banyak warung buah
seperti itu. Sebut saja di persimpangan Jalan Halat dengan AR Hakim, tepatnya
dekat lampu merah. Lalu, di kawasan Simpang Limun, di Brigjen Katamso dekat
Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jalan Karya Wisata dan Karya Jasa Medan Johor,
serta berpuluh-puluh jalan lain yang ada di Medan.
Tapi sekali lagi,
sudahlah. Kini saya menuju rumah saya yang ada di Medan Amplas. Alpukat dan
melon telah ada dalam plastik yang saya gantungkan di sepeda motor. Matahari
masih saja garang. Terbayang dalam otak saya, segelas jus alpukat dengan es
batu yang banyak. Segar.
Begitu sampai
persimpangan Jalan Selamat Ujung, saya lihat di sisi kiri ada sebuah warung
buah. Langsung saja saya pukul kepala, kenapa tidak di warung buah itu saja
saya membeli buah tadi. Fiuh.
Eit, beberapa
meter dari situ, sebelum jembatan tepatnya di sisi kanan, ada juga warung buah.
Sudahlah... (*)
1 komentar:
makasih informasi dan inspirasinya Tukang Perabot Medan mengucapkan puitis sekali, sukses selalu
Posting Komentar