Lantun ini yang berisikan tentang pandangan hidup seseorang

Jumat, 30 Maret 2012

Tukang Ban dan Tukang Rambutan

Oleh Ramadhan Batubara

Entah apa yang ada dalam otak seorang tukang ban di Jalan Gajah Mada Medan Senin lalu. Bukan maksud tidak mendukung gerombolan mahasiswa yang sedang menyuarakan nasibnya, tapi dia juga butuh makan. Karena itulah, ketika gerombolan mahasiswa itu meminta ban bekas miliknya, dia menolak.
Akibatnya, dia dipukuli. Bibirnya luka. Pipinya lembam.
Ya, fragmen di atas adalah kisah nyata yang terjadi di Medan saat aksi ribuan orang menentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Ironis. Mahasiswa yang lantang menyuarakan nasib ‘orang kecil’ malah melakukan tindakan yang merugikan ‘orang kecil’ itu.
Bisakah tukang ban diartikan sebagai orang yang tidak mau mendukung usaha mahasiswa menolak harga BBM? Tampaknya tidak juga, bisa saja tukang ban mendukung. Ya, bagaimanapun, ketika harga tak jadi naik, dia pasti tertolong bukan? Tapi masalahnya, bisa saja tukang ban tidak suka gaya mahasiswa yang berunjuk rasa dengan membakar ban. Pasalnya, ketika ban dibakar, yang timbul adalah suasana panas dan ujung-ujungnya ricuh. Nah, kalau ricuh, keadaan Medan menjadi tak menyenangkan. Sebagai warga Medan, dia pasti tidak suka hal itu. Apalagi, dasar ricuh karena ban bekas miliknya.
Di sisi lain, apa sebab mahasiswa harus menggunakan ban dalam beraksi. Apa yang ingin dicapai? Bukankah telah ada sajak luar biasa yang berjudul Peringatan karya Wiji Tukul dengan larik khasnya: Hanya satu kata, Lawan! Pun, Jhon Sonny Tobing dan Ahmad Munajat telah mencipta lagu demonstrans yang menumental Darah Juang untuk mewakili rasa. Coba perhatikan sepenggal liriknya: Mereka dirampas haknya//tergusur dan lapar//Bunda, relakan darah juang kami//tuk membebaskan rakyat.
Tapi begitulah, tukang ban dan mahasiswa tampaknya tak sepaham arti aksi Senin lalu. Ada komunikasi yang tak sampai. Mahasiswa tak mampu memberi pengertian dari perjuangan yang mereka perjuangkan dan tukang ban tidak melihat nasibnya sedang diperjuangkan. Dengan kata lain, tukang ban tak mau rugi dan mahasiswa beranggapan tukang ban harus mau rugi karena mereka sedang memperjuangkan nasib orang-orang seperti tukang ban.
Kisah di atas berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan olerh Taufik Ismail dalam sajaknya yang berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya. Sajak yang dihasilkan Taufik pada 1966 lalu itu bercerita bagaimana seorang tukang jualan rambutan melemparkan sepuluh ikat dagangannya kepada para demonstran: Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu// Anak-anak sekolah//Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!//Sampai bensin juga turun harganya//Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula.
Setelah itu, Taufik menulis bait berikutnya. Sebuah bait yang menggambarkan komunikasi terjalin baik antara pendemo dan tukang rambutan tadi: Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu//Biarlah sepuluh ikat juga//Memang sudah rezeki mereka.
Maka, akan ada yang mengatakan 1966 dan 2012 adalah dua waktu yang berbeda. 1966 adalah aksi merobohkan rezim, dia mirip dengan era Darah Juang dan sajak Wiji Tukul yakni 1998 yang juga merobohkan rezim yang dianggap tak benar. Sementara 2012 ‘hanya sekadar’ soal harga BBM. Rezim yang berkuasa pun masih dianggap benar. Setidaknya, kalau tak benar, tukang ban itu akan memberikan ban bekasnya pada sang demonstran bukan? Ya, seperti tukang rambutan ala Taufik Ismail. (*)

Sumut Pos, Kamis 29 Maret 2012

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates