Oleh Ramadhan
Batubara
Entah apa yang
ada dalam otak seorang tukang ban di Jalan Gajah Mada Medan Senin lalu. Bukan
maksud tidak mendukung gerombolan mahasiswa yang sedang menyuarakan nasibnya,
tapi dia juga butuh makan. Karena itulah, ketika gerombolan mahasiswa itu
meminta ban bekas miliknya, dia menolak.
Akibatnya, dia
dipukuli. Bibirnya luka. Pipinya lembam.
Ya, fragmen di
atas adalah kisah nyata yang terjadi di Medan saat aksi ribuan orang menentang
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Ironis. Mahasiswa yang lantang menyuarakan
nasib ‘orang kecil’ malah melakukan tindakan yang merugikan ‘orang kecil’ itu.
Bisakah tukang
ban diartikan sebagai orang yang tidak mau mendukung usaha mahasiswa menolak
harga BBM? Tampaknya tidak juga, bisa saja tukang ban mendukung. Ya, bagaimanapun,
ketika harga tak jadi naik, dia pasti tertolong bukan? Tapi masalahnya, bisa
saja tukang ban tidak suka gaya mahasiswa yang berunjuk rasa dengan membakar
ban. Pasalnya, ketika ban dibakar, yang timbul adalah suasana panas dan
ujung-ujungnya ricuh. Nah, kalau ricuh, keadaan Medan menjadi tak menyenangkan.
Sebagai warga Medan, dia pasti tidak suka hal itu. Apalagi, dasar ricuh karena
ban bekas miliknya.
Di sisi lain, apa
sebab mahasiswa harus menggunakan ban dalam beraksi. Apa yang ingin dicapai?
Bukankah telah ada sajak luar biasa yang berjudul Peringatan karya Wiji
Tukul dengan larik khasnya: Hanya satu kata, Lawan! Pun, Jhon Sonny
Tobing dan Ahmad Munajat telah mencipta lagu demonstrans yang menumental Darah
Juang untuk mewakili rasa. Coba perhatikan sepenggal liriknya: Mereka
dirampas haknya//tergusur dan lapar//Bunda, relakan darah juang kami//tuk
membebaskan rakyat.
Tapi begitulah,
tukang ban dan mahasiswa tampaknya tak sepaham arti aksi Senin lalu. Ada
komunikasi yang tak sampai. Mahasiswa tak mampu memberi pengertian dari
perjuangan yang mereka perjuangkan dan tukang ban tidak melihat nasibnya sedang
diperjuangkan. Dengan kata lain, tukang ban tak mau rugi dan mahasiswa
beranggapan tukang ban harus mau rugi karena mereka sedang memperjuangkan nasib
orang-orang seperti tukang ban.
Kisah di atas
berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan olerh Taufik Ismail dalam
sajaknya yang berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya. Sajak yang
dihasilkan Taufik pada 1966 lalu itu bercerita bagaimana seorang tukang jualan
rambutan melemparkan sepuluh ikat dagangannya kepada para demonstran: Ya.
Mahasiswa-mahasiswa itu// Anak-anak sekolah//Yang dulu berteriak: dua ratus,
dua ratus!//Sampai bensin juga turun harganya//Sampai kita bisa naik bis pasar
yang murah pula.
Setelah itu,
Taufik menulis bait berikutnya. Sebuah bait yang menggambarkan komunikasi
terjalin baik antara pendemo dan tukang rambutan tadi: Saya lemparkan
sepuluh ikat rambutan kita, bu//Biarlah sepuluh ikat juga//Memang sudah rezeki
mereka.
Maka, akan ada
yang mengatakan 1966 dan 2012 adalah dua waktu yang berbeda. 1966 adalah aksi
merobohkan rezim, dia mirip dengan era Darah Juang dan sajak Wiji Tukul
yakni 1998 yang juga merobohkan rezim yang dianggap tak benar. Sementara 2012
‘hanya sekadar’ soal harga BBM. Rezim yang berkuasa pun masih dianggap benar.
Setidaknya, kalau tak benar, tukang ban itu akan memberikan ban bekasnya pada
sang demonstran bukan? Ya, seperti tukang rambutan ala Taufik Ismail. (*)
0 komentar:
Posting Komentar