Oleh Ramadhan
Batubara
Akhir pekan lalu
saya berkesempatan mengunjungi Pusat Industri Kecil yang ada di Menteng
Kecamatan Medan Denai. Begitu memasuki komplek itu, saya sedikit bingung. Ya,
kemana saja saya selama ini, kenapa tempat tersebut jarang terlihat?
Jujur saja, saya
bertambah shock ketika menyadari Pusat Industri Kecil itu ternyata tidak
seperti saya bayangkan. Maksud saya begini, ketika seorang kawan mengajak saya
ke sana, maka dalam bayangan saya adalah pusat industri yang menyegarkan.
Teringat oleh saya kawasan Kasongan dan Kota Gede di Jogjakarta sana. Ternyata
di Menteng yang saya temukan adalah kumpulan rumah toko; kebanyakan malah
kosong.
Memang, ada
beberapa pengerajin sepatu dan kulit terlihat beraktivitas, namun tidak
mendominasi. Suasana pertokoan tersebut malah terlihat seperti pemukiman. Ada
anak yang bermain. Ada jemuran di sisi depan. Ada pula, di ruko itu, menjual
sayur-sayuran. Sementara, beberapa warganya duduk di depan ruko sambil
berbincang. Tak terbayangkan kalau tempat itu sejatinya adalah sentra industri
kerajinan rumah tangga yang andal.
Padahal, menurut
Ismed, ketua koperasi di tempat itu, awalnya komplek itu cukup ramai. Ya, pada 1996 silam, PIK Menteng yang
dibangun di Jalan Menteng VII, Medan melalui Wali Kota Bachtiar Djafar melalui
Dinas Perindustrian dan Perdagangan mulai berhasil membangkitkan gelora
industri rumah tangga. Berbagai macam produk pun berhasil diciptakan dengan
pendapatan yang cukup memuaskan. Ekonomi masyarakat menengah ke bawah mulai
dapat diperbaiki. Sayang, hal itu tidak bertahan lama. Ketika 1998 Indonesia
dihantam krisis moneter, laju industri kecil di kawasan Menteng inipun kena
imbas.
Begitupun ketika
era Abdillah memimpin Medan. PIK Medan tak beranjak menuju peningkatan. Kata
Ismed, wali kota itu terlalu peduli dengan pengusaha besar. Sementara, PIK
semakin ditinggalkan. Ismed pun menceritakan PIK ini berupa sepatu, sendal
pakaian, tas, bordir dan masih banyak lagi akhirnya 'punah' satu-persatu.
Kawasan PIK yang terdiri dari 100 ruko ini juga kini banyak beralih fungsi
sebagai rumah pribadi yang sudah dijual kepada orang lain.
Hal ini makin
diperparah dengan kehadiran barang impor. Setidaknya, sepatu asal China,
Thailand, dan Korea masuk bebas ke Sumut. Ujung-ujungnya memang soal uang.
Pengusaha kecil yang masih berkecimpung di usaha kulit dan sepatu di PIK Medan
memang masih bermasalah dengan modal.
Nah, soal uang
dan sepatu ini mengingatkan saya pada sebuah film Iran. Film ini berjudul Children
of Heavens diproduksi pada 1997 lalu. Film ini dinominasikan dalam Academy
Award untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik pada 1998. Selain itu, film
ini juga meraih penghargaan pada Montreal World Film Festival, Newport
International Film Festival, dan Silver Screen Awards di Singapore
International Film Festival.
Kisah dalam film
ini memang tentang uang dan sepatu. Sebuah kisah yang mengharukan. Bayangkan
saja, kakak beradik yang karena miskinnya harus bergantian mengenakan sepatu ke
sekolah. Si adik yang perempuan pun terpaksa menggunakan sepatu boot milik
kakaknya yang laki-laki. Nah, di akhir cerita, sang kakak mengikuti kontes
lari. Hadiahnya adalah sepatu. Si kakak pun mengincar juara tiga yang berhadiah
sepatu karet. Rencananya, sepatu hadiah itu akan diberikan pada sang adik.
Sayang, sang kakak malah meraih juara satu. Peringkat pertama ini meraih sepatu
olahraga untuk laki-laki. Sepatu karet untuk adiknya pun gagal teraih.
Ironi. Memang,
seperti film tadi, usaha sepatu di PIK Menteng jelas menyisakan ironi. Bagi
saya, PIK harus memiliki suatu modal lebih. Ini bukan sekadar soal uang, tapi
soal kreativitas. Sebagai sentra industri kecil, komplek itu kan sejatinya bisa
diset tidak hanya untuk memproduksi barang. Dia bisa menjelma menjadi tempat
tujuan wisata. Seperti yang saya katakan di awal tadi tentang Kasongan dan Kota
Gede. Begini, ketika orang ke Jogja dan terpikir tentang gerabah, maka dia akan
langsung menuju Kasongan. Begitu pun ketika teringat tentang perak, maka Kota
Gede bisa jadi tujuan.
Tentu ini tentang
imej yang harus dibangun PIK Menteng. Ismed sempat mengatakan kalau di lokasi
itu memang cenderung mengarah pada kerajinan kulit dan sepatu. Nah, kenapa
tidak dipromosikan oleh Pemko Medan? Jadikan Menteng sebagai kawasan wisata
sepatu dan kerajinan kulit. Dan, pengerajin pun harus siap bersaing dengan
sepatu dan kerajinan kulit dari daerah atau negara lain. Harus ada ciri khas.
Harus ada keunikan.
Terbayang di otak
saya, suatu saat ke depan, ketika ada seorang tamu dari luar kota memaksa saya
untuk ke Menteng. Atau, ada seorang kawan di luar daerah yang sibuk menghubungi
saya agar dikirimkan sepatu dan kerajinan kulit dari Menteng. Ah...
Tapi sudahlah,
sore di pekan lalu itu memang menjadi pengetahuan baru bagi saya. Setidaknya,
ketika berbincang dengan Ismed, saya tersadar kalau sepatu yang saya kenakan
malah buatan China.... ups. (*)
Sumut Pos, Minggu 11 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar