Oleh Ramadhan
Batubara
Walmiki
menyuratkan dalam epos Ramayana bahwa kejujuran masih bisa disangsikan. Adalah
Shinta yang jujur harus membuktikan sikapnya dengan mempertaruhkan nyawa.
Ya, ini tentang
Shinta yang telah dibebaskan dari cengkeraman Rahwana. Namun, sang kekasih, Rama,
kurang mempercayai kejujuran Shinta. Bagi Rama, bisa saja Shinta telah dinodai.
Nah, Shinta pun harus membuktikan seratus persen kesuciaannya dengan terlebih
dulu dibakar. Jika ternyata Shinta sudah digauli Rahwana maka api akan dengan
mudah membakarnya. Sebaliknya jika dalam cengkeraman Rahwana, Shinta tidak
‘digarap’ maka api tidak akan mampu membakarnya.
Kisah Rama dan
Shinta yang ditulis oleh Walmiki ini tampaknya terus berulang hingga sekarang.
Bukan pada pembakaran itu, tapi pada kesangsian terhadap kejujuran. Jika pada
epos itu, Shinta membuktikan dengan melompat ke api, di zaman sekarang apa yang
harus dilakukan agar bisa dianggap jujur?
Pengadilan sudah
persis panggung sandiwara, lihat saja kasus Wisma Atlet. Bersaksi dengan
bersumpah pun sudah sulit untuk dipercaya. Marwah hingga wibawa pengadilan
diperdayai. Tidak itu saja, lembaga sekolah pun sudah tidak lagi mencerminkan
kejujuran. Atas nama kebanggaan, beberapa sekolah di Indonesia malah berani
merekayasa nilai siswanya agar bisa diterima di perguruan tinggi. Dan, di
Medan, diduga ada satu sekolah seperti itu.
”Sejak awal sudah
diingatkan agar selalu jujur. Jangan berlaku curang dengan merekayasa nilai
siswa. Sudah diberi kesempatan kok malah curang. Harus diberi hukuman,” sesal
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh belum lama ini.
Hukuman yang
dipilih adalah mem-blacklist- sekolah bersangkutan selama tiga tahun. Ya,
selama kurun waktu itu, sekolah yang bermasalah tidak dibenarkan mengikuti
jalur undangan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
Dari kasus ini,
muncul sebuah pertanyaan: kenapa harus direkayasa? Jawabnya, jalur undangan ini
kan jalur khusus. Dia berbeda dengan SNMPTN. Dia tidak perlu mengikuti ujian
tersebut, cukup mengirimkan data dan diteliti oleh perguruan tinggi yang dituju
lalu lulus. Nah, data yang dimaksud adalah nilai siswa untuk beberapa semester
yang telah dilalui. Biasanya, nilai yang grafiknya terus meningkatlah yang
dinyatakan lolos. Nah, SMA pun mengubah itu agar siswanya lolos. Kalau lolos,
kan SMA itu juga yang bangga: alumnis berada di universitas ternama.
Lalu, kenapa bisa
ketahuan? Ketua Panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN), yang juga Rektor Institut Teknologi Bandung, Akhmaloka punya
jawabannya. Katanya, salah satu bukti kecurangan diperoleh panitia SNMPTN dari
pengakuan siswa yang direkomendasikan mengikuti jalur undangan. Menurut
pengakuan siswa itu, nilai-nilai yang diterima panitia bukanlah nilai asli.
Kecurangan ini ditemukan tahun lalu dan sanksi diberikan tahun ini. Beberapa
sekolah curang itu sudah mengklarifikasi temuan itu dan membantah telah berbuat
curang. Yang terjadi semata-mata kesalahan pengisian data.
Jika begitu, mana
yang jujur, pengakuan siswa atau sekolah? Entahlah, soal kejujuran memang harus
terus dibuktikan. Dan, Walmiki telah memilih adegan bakar diri Shinta itu.
Indonesia bagaimana? (*)
0 komentar:
Posting Komentar