Oleh Ramadhan Batubara
Jangan pakai kacang. Tolong beri lada yang banyak. Dua kalimat ini saya
lontarkan pada penjual bubur ayam ala Cirebon yang ada di seputaran Museum
Sumatera Utara. Ya, saya memang butuh bubur akibat fisik yang tidak fit.
-----
Sang penjual pun sigap. Tak sampai lima menit, pesanan saya sudah ada di
depan mata. Mangkuk putih yang diberikannya penuh dengan kerupuk berwarna
merah. Menggoda. Saya aduk dan satu persatu suapan saya nikmati.
Sayang, lidah memang sedang tidak siap mengecap rasa. Bubur yang biasanya
nikmat terasa hambar. Saya tambahi sambal, tidak lupa kecapnya. Fiuh tetap
saja.
Lalu, saya lihat ada sate kerang (kalau makanan ini jelas khas Medan). Saya
ambil satu tusuk. Saya campur dengan bubur yang sudah berwarna kecoklatan itu.
Akibatnya, bubur berubah warna lagi; agak kemerahan. Sumpah, saya berharap akan
ada rasa berbeda setelah saya makan itu. Tapi, sekali lagi, sayang. Bubur itu
tetap saja hambar.
Nyaris putus asa, saya pun memesan teh manis hangat. Entahlah, saya hanya
berharap pada rasa. Dengan kata lain, jika tak dapat asin dan pedas, kenapa tak
coba manis?
Rupanya, setelah menunggu sekira sepuluh menit --setelah minuman itu
hadir-- rasa bisa saya rasakan. Manis memenuhi lidah, bahkan sampai ke kulit
bibir. Nikmat.
Saya sendokan lagi bubur ayam itu. Tergigit oleh saya daun bawang dan
bawang gorengnya. Tidak menunjukkan rasa luar biasa, memang, tapi cukuplah
menambah semangat makan. Ya, perut harus terisi agar obat bisa diminum.
Tapi, harus saya katakan, cukup lama saya harus menghabiskan semangkuk
bubur ayam itu. Selain soal rasa yang penuh dengan hambar, pikiran saya juga
terbelah. Ini semua karena Sumut Pos edisi pekan lalu mengalami kecelakaan.
Tepatnya di halaman sastra di rubrik puisi.
Begitulah, ada puisi yang begitu mirip dengan karya Kahlil Gibran.
Ceritanya, puisi itu tentang anak. Nah, ketika ada penikmat sastra yang
mengingatkan saya tentang hal itu, saya shock. Ini tentunya sebuah pukulan bagi
saya. Ya dengan kata lain, kenapa puisi karya anak Medan yang begitu mirip
dengan karya penyair Lebanon itu bisa lolos.
Sempat saya berusaha membela diri (tentunya dalam hati) dan mengatakan
kalau dalam dunia sastra ada istilah yang namanya hipogram. Artinya, karya
sastra bisa muncul karena ada keterikatan dengan karya sebelumnya. Dengan kata
lain, bisa saja puisi anak Medan itu berlandaskan teori tersebut. Tapi, setelah
terbit dan saya perhatikan dengan seksama, ternyata sulit juga diterima. Malah,
ini menjurus plagiat.
Saya coba membela diri lagi. Saya katakan pada diri saya: puisi itu tercipta
karena terinspirasi secara berlebihan. Tapi, kalimat khas milik Kahlil begitu
telanjang dipindahkan oleh anak Medan itu. Dia hanya mengganti persona 'mu'
pada Kahlil menjadi 'ku' pada sajaknya. Fiuh.
Satu lagi yang membuat saya shock, sajak Kahlil tentang anak sudah sering
kali saya kutip untuk lantun. Tapi, kenapa ketika meloloskan sajak karya anak
Medan itu saya seperti lupa ingatan? Apakah ini karena saya terlalu percaya
pada mereka yang mengirimkan karya? Entahlah...
Saya harus akui, soal plagiatisme memang sangat sulit dilawan. Cukup banyak
kasus yang telah terjadi. Beberapa redaktur di media yang sudah mapan pun telah
jadi korban. Kali ini mungkin giliran saya. Ya, saya terima itu. Seperti saat
ini, saya sedang makan bubur ayam Cirebon. Pertanyaannya, mungkinkah yang saya
makan ini juga buah dari plagiatisme?
Maksud saya begini, bubur yang terasa hambar karena lidah saya lagi malas
mengecap rasa kan katanya berasal dari Cirebon? Nah, mungkinkah bubur ini
jiplakan dari bubur asli Cirebon yang terkenal itu? Sulit juga saya ambil
kesimpulan, masalahnya ini sangat luas. Apalagi, soal makanan yang berlabel
daerah cenderung tidak dipatenkan. Dia merupakan produk massal. Tercipta
melalui proses panjang. Jadi, siapapun bisa mengklaim. Ayolah, berapa rumah
makan Padang di Jawa sana yang pemiliknya bukan orang Minang?
Persis dengan warung bubur ayam Cirebon, beberapa langkah dari tempat saya
makan ini ada juga warung bubur ayam: namanya warung bubur ayam Jakarta.
Hahahahaha.
Tapi begitulah, selain fisik tidak fit, bubur ayam makin tak nikmat karena
masalah plagiat memang menghantui saya. Saya kecewa dengan diri saya sendiri.
Saya kecewa dengan 'penyair' yang saya percayai. Dan, saya ingin Anda masih
percaya dengan koran ini. Itu saja. (*)
Sumut Pos, Minggu 24 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar