Lantun ini yang berisikan tentang pandangan hidup seseorang

Rabu, 07 Maret 2012

Rindu Jalur Patimpus

Oleh Ramadhan Batubara

Sulit membayangkan bagaimana Guru Patimpus mengarungi sungai dari Tanah Karo hingga ke satu bandar di hilir Sungai Deli. Adakah dia terhambat seperti jalur macet yang sering dirasakan kini ketika akhir pekan?
Pastinya, saat itu dia menuruni lembah-lembah yang penuh mistis, hutan semak belukar dan binatang buas. Pun, dia mendaki lembah-lembah yang terjal dan curam. Lalu, menelusuri aliran Lau Petani agar sampai ke satu bandar di hilir Sungai Deli.
Terlepas dari pertemuannya dengan Datuk Kota Bangun untuk menguji kesaktian, apa yang dilakukan Guru Patimpus mencuri perhatian saya. Ya, apalagi soal perjalanannya menelusuri aliran Lau Petani tadi. Berbagai pertanyaan muncul tentang proses itu. Misalnya, berapa waktu yang dia tempuh dan seperti apa aliran sungai saat itu. Lalu, ketika dia kembali ke Tanah Karo, apakah dia masih menggunakan jalur air?
Soal waktu, sepertinya tidak begitu penting bagi saya. Pasalnya, mengikuti air yang menuju hilir tentunya bukan sesuatu yang sulit. Dia mengalir begitu saja, bahkan bisa menggunakan sebatang pohon pisang. Kalau pun ada rintangan, mungkin terletak pada binatang buas yang ada di sungai itu. Yang menjadi persoalan bagi saya, terletak pada proses dia kembali ke kampungnya yang ada di Tanah karo sana. Mungkinkah dia menggunakan darat, membelah hutan lebat yang masih perawan?
Baiklah, jika Guru Patimpus kemudian menikah dengan Putri Brayan. Dia pun dikabarkan menetap di kawasan pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura yang di kemudian hari dikenal dengan nama Medan. Tapi, apakah seumur hidupnya dia tidak pernah kembali ke Tanah Karo. Melalui jalur air tampaknya tidak mungkin, di zaman itu belum ditemukan peralatan yang bisa melawan arus air bukan? Atas nama kesaktian, tentu Guru Patimpus mampu. Tapi, tulisan ini bukan untuk membahas kesaktian keturunan Sisingamangara I itu. Ini tentang jalur transportasi.
Ya, sengaja saya tampilkan frangmen di atas untuk menyoroti bentuk jalur transportasi yang bisa diadakan di Kota Medan ini: sungai. Terinspirasi perjalanan Guru Patimpus, saya tertarik untuk membayangkan Medan sebagai kota yang memiliki jalur transportasi air. Dan, Kota Medan memiliki potensi tersebut.
Selain Sungai Deli dan Sungai Babura, di Kota Medan masih ada sungai-sungai lain seperti Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan, dan Sei Sulang Saling atau Sei Kera. Semua sungai tersebut bisa dikatakan saling berkaitan.
Sejarah telah membuktikan, sebelum jalan aspal merajai daratan, sungai adalah satu-satunya jalur yang paling pas untuk perpindahan manusia, barang, dan sebagainya. Bahkan, Sungai Deli dan Sungai Babura di zamannya adalah jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai. Seperti jalan protokol di zaman sekarang, rumah-rumah menghadap ke sungai. Jalur itupun mungkin saja macet ketika banyak perahu yang hilir mudik. Itulah sebab, Medan yang didirikan Guru Patimpus dan istrinya begitu pesat maju.
Sayangnya, kedua sungai itu kini seperti penyakit yang wajib disingkirkan. Fisik sungai sudah tidak menyenangkan. Penuh sampah dan berair dangkal. Jangankan untuk laju perahu dengan nyaman, sampah saja sering tersangkut; tenggelam dan menumpuk.
Harapan merebak, untuk mengatasi kemacetan di jalan darat Kota Medan, kenapa tidak dimanfaatkan jalur sungai yang banyak itu? Konkretnya begini, munculkan lagi jalur Guru Patimpus.
Tentu, jalur yang dimaksud tidak sekadar Tanah Karo dan Medan, tetapi Medan secara menyeluruh. Maka, akan ada jalur transportasi air yang nyaris melayani semua kecamatan. Sebut saja Kecamatan Medan Tuntungan, Medan Johor, Medan Selayang, Medan Polonia, Medan Maimun, Medan Kota, Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Petisah, Medan Barat, Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan, Medan Belawan, Medan Amplas, Medan Tembung, dan sebagainya.
Coba bayangkan, seorang PNS Pemko Medan berangkat dari rumahnya di Titi Kuning dengan boat mungil miliknya menuju kantor yang berada di Jalan Kapten Maulana Lubis. Lalu, setelah sampai di kantor, dia ditugaskan untuk meninjau Kecamatan Amplas. Maka, dia kendarai lagi boatnya untuk menuju aliran Sungai Denai. Begitu sampai, boatnya pun dia sandarkan di dermaga yang sudah tersedia di kecamatan itu. 
Kondisi tersebut memang belum nyata, tapi sangat mungkin menjadi nyata jika pemerintah mau melakukannya. Memang butuh kerja keras dan dana yang tak sedikit. Tapi, jika untuk membuat kota semakin nyaman, hal itu tentunya tidak berat. Jalanan darat yang macet bisa dikurangi dengan stabilnya jalur sungai. Soal kedangkalan sungai kan tinggal dikeruk. Lalu, sampah yang menumpuk dengan sendirinya akan hilang. Ya, adakah sampah yang menumpuk di tengah jalan raya di daratan Kota Medan?
Soal kebersihan sungai, pemerintah tinggal membentuk timnya. Jika di darat ada penyapu jalan, di air kan tinggal ciptakan tim pembersih sungai.  Selain itu, untuk menambahkan kenyamanan, dermaga-dermaga kecil dibangun di aliran sungai masing-masing; seperti halte. Lalu, pemerintah kota pun memunculkan angkutan air umum. Fiuh...
Tidak sampai di situ, sungai yang cenderung kecil diperlebar. Pasalnya, angkutan umum yang dimunculkan tentu mampu membawa banyak penumpang. Ayolah, di kota ini sudah sangat sulit untuk membuat jalan baru atau memperlebar jalan, tapi untuk memperlebar sungai tampaknya tidak sulit. Ujung-ujungnya, banjir yang selama ini jadi momok pun bisa diatasi tanpa harus membuat tanggul di setiap pinggir sungai.
Kisah Guru Patimpus yang menggunakan jalur air menuju bandar di hilir Sungai Deli adalah bijak untuk disikapi. Dari kisah itu, ditekankan, bahwa sungai adalah poin penting di kota ini. Dan, hal itu sejatinya masih berlaku sampai sekarang. Aliran sungai di kota ini melewati semua titik penting kota bukan? Lalu, kenapa tidak diberdayakan?
Saya percaya, ketika semua itu terwujud, rumah dan gedung di sisi sungai di kota ini akan semakin unik dan menarik. Ya, dia memiliki teras depan di dua arah; satu arah menghadap jalan dan satunya lagi menghadap sungai. Tidak seperti sekarang, tak ada satu rumah maupun gedung yang bagian depannya menghadap sungai. Jadi, ketika selama ini semua gedung dan rumah memantati sungai, jangan salahkan sungai jika dia jorok dan penuh sampah! (*) 
Sumut Pos, 4 maret 2012

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates