Oleh Ramadhan
Batubara
Sulit
membayangkan bagaimana Guru Patimpus mengarungi sungai dari Tanah Karo hingga
ke satu bandar di hilir Sungai Deli. Adakah dia terhambat seperti jalur macet
yang sering dirasakan kini ketika akhir pekan?
Pastinya, saat
itu dia menuruni lembah-lembah yang penuh mistis, hutan semak belukar dan
binatang buas. Pun, dia mendaki lembah-lembah yang terjal dan curam. Lalu,
menelusuri aliran Lau Petani agar sampai ke satu bandar di hilir Sungai Deli.
Terlepas dari
pertemuannya dengan Datuk Kota Bangun untuk menguji kesaktian, apa yang
dilakukan Guru Patimpus mencuri perhatian saya. Ya, apalagi soal perjalanannya
menelusuri aliran Lau Petani tadi. Berbagai pertanyaan muncul tentang proses
itu. Misalnya, berapa waktu yang dia tempuh dan seperti apa aliran sungai saat
itu. Lalu, ketika dia kembali ke Tanah Karo, apakah dia masih menggunakan jalur
air?
Soal waktu,
sepertinya tidak begitu penting bagi saya. Pasalnya, mengikuti air yang menuju
hilir tentunya bukan sesuatu yang sulit. Dia mengalir begitu saja, bahkan bisa
menggunakan sebatang pohon pisang. Kalau pun ada rintangan, mungkin terletak
pada binatang buas yang ada di sungai itu. Yang menjadi persoalan bagi saya,
terletak pada proses dia kembali ke kampungnya yang ada di Tanah karo sana.
Mungkinkah dia menggunakan darat, membelah hutan lebat yang masih perawan?
Baiklah, jika
Guru Patimpus kemudian menikah dengan Putri Brayan. Dia pun dikabarkan menetap
di kawasan pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura yang di kemudian hari
dikenal dengan nama Medan. Tapi, apakah seumur hidupnya dia tidak pernah
kembali ke Tanah Karo. Melalui jalur air tampaknya tidak mungkin, di zaman itu
belum ditemukan peralatan yang bisa melawan arus air bukan? Atas nama
kesaktian, tentu Guru Patimpus mampu. Tapi, tulisan ini bukan untuk membahas
kesaktian keturunan Sisingamangara I itu. Ini tentang jalur transportasi.
Ya, sengaja
saya tampilkan frangmen di atas untuk menyoroti bentuk jalur transportasi yang
bisa diadakan di Kota Medan ini: sungai. Terinspirasi perjalanan Guru Patimpus,
saya tertarik untuk membayangkan Medan sebagai kota yang memiliki jalur
transportasi air. Dan, Kota Medan memiliki potensi tersebut.
Selain Sungai
Deli dan Sungai Babura, di Kota Medan masih ada sungai-sungai lain seperti Sei
Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan, dan Sei Sulang Saling
atau Sei Kera. Semua sungai tersebut bisa dikatakan saling berkaitan.
Sejarah telah
membuktikan, sebelum jalan aspal merajai daratan, sungai adalah satu-satunya
jalur yang paling pas untuk perpindahan manusia, barang, dan sebagainya.
Bahkan, Sungai Deli dan Sungai Babura di zamannya adalah jalur lalu lintas
perdagangan yang cukup ramai. Seperti jalan protokol di zaman sekarang,
rumah-rumah menghadap ke sungai. Jalur itupun mungkin saja macet ketika banyak
perahu yang hilir mudik. Itulah sebab, Medan yang didirikan Guru Patimpus dan
istrinya begitu pesat maju.
Sayangnya,
kedua sungai itu kini seperti penyakit yang wajib disingkirkan. Fisik sungai
sudah tidak menyenangkan. Penuh sampah dan berair dangkal. Jangankan untuk laju
perahu dengan nyaman, sampah saja sering tersangkut; tenggelam dan menumpuk.
Harapan
merebak, untuk mengatasi kemacetan di jalan darat Kota Medan, kenapa tidak
dimanfaatkan jalur sungai yang banyak itu? Konkretnya begini, munculkan lagi
jalur Guru Patimpus.
Tentu, jalur
yang dimaksud tidak sekadar Tanah Karo dan Medan, tetapi Medan secara
menyeluruh. Maka, akan ada jalur transportasi air yang nyaris melayani semua
kecamatan. Sebut saja Kecamatan Medan Tuntungan, Medan Johor, Medan Selayang,
Medan Polonia, Medan Maimun, Medan Kota, Medan Baru, Medan Sunggal, Medan
Petisah, Medan Barat, Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan, Medan Belawan,
Medan Amplas, Medan Tembung, dan sebagainya.
Coba bayangkan,
seorang PNS Pemko Medan berangkat dari rumahnya di Titi Kuning dengan boat
mungil miliknya menuju kantor yang berada di Jalan Kapten Maulana Lubis. Lalu,
setelah sampai di kantor, dia ditugaskan untuk meninjau Kecamatan Amplas. Maka,
dia kendarai lagi boatnya untuk menuju aliran Sungai Denai. Begitu sampai,
boatnya pun dia sandarkan di dermaga yang sudah tersedia di kecamatan itu.
Kondisi
tersebut memang belum nyata, tapi sangat mungkin menjadi nyata jika pemerintah
mau melakukannya. Memang butuh kerja keras dan dana yang tak sedikit. Tapi,
jika untuk membuat kota semakin nyaman, hal itu tentunya tidak berat. Jalanan
darat yang macet bisa dikurangi dengan stabilnya jalur sungai. Soal kedangkalan
sungai kan tinggal dikeruk. Lalu, sampah yang menumpuk dengan sendirinya akan
hilang. Ya, adakah sampah yang menumpuk di tengah jalan raya di daratan Kota
Medan?
Soal kebersihan
sungai, pemerintah tinggal membentuk timnya. Jika di darat ada penyapu jalan,
di air kan tinggal ciptakan tim pembersih sungai. Selain itu, untuk menambahkan kenyamanan, dermaga-dermaga kecil
dibangun di aliran sungai masing-masing; seperti halte. Lalu, pemerintah kota
pun memunculkan angkutan air umum. Fiuh...
Tidak sampai di
situ, sungai yang cenderung kecil diperlebar. Pasalnya, angkutan umum yang
dimunculkan tentu mampu membawa banyak penumpang. Ayolah, di kota ini sudah
sangat sulit untuk membuat jalan baru atau memperlebar jalan, tapi untuk
memperlebar sungai tampaknya tidak sulit. Ujung-ujungnya, banjir yang selama
ini jadi momok pun bisa diatasi tanpa harus membuat tanggul di setiap pinggir
sungai.
Kisah Guru
Patimpus yang menggunakan jalur air menuju bandar di hilir Sungai Deli adalah
bijak untuk disikapi. Dari kisah itu, ditekankan, bahwa sungai adalah poin
penting di kota ini. Dan, hal itu sejatinya masih berlaku sampai sekarang.
Aliran sungai di kota ini melewati semua titik penting kota bukan? Lalu, kenapa
tidak diberdayakan?
Saya percaya,
ketika semua itu terwujud, rumah dan gedung di sisi sungai di kota ini akan
semakin unik dan menarik. Ya, dia memiliki teras depan di dua arah; satu arah
menghadap jalan dan satunya lagi menghadap sungai. Tidak seperti sekarang, tak
ada satu rumah maupun gedung yang bagian depannya menghadap sungai. Jadi,
ketika selama ini semua gedung dan rumah memantati sungai, jangan salahkan
sungai jika dia jorok dan penuh sampah! (*)
0 komentar:
Posting Komentar