Oleh Ramadhan
Batubara
Hari buruh, 1
Mei, telah lewat. Hari ini, 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional. Adakah yang masih
ingat?
Tentu masih
banyak yang ingat. Jika tidak, maka Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang
lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara akan sedih. Ya, usahanya dengan
mendirikan Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan
seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda, seakan tersia-siakan.
Pun, dengan semboyan hasil karyanya tut wuri handayani mengawang hingga
tak lagi diterapkan.
Terlepas dari
itu, tut wuri handayani memang menarik jika dikaitkan dengan dunia
pendidikan terkini di Indonesia. Bagaimana tidak, arti kata tut wuri
handayani kini cenderung mengalami penyempit bahkan malah berubah makna.
Sejatinya, tut
wuri handayani tidaklah berdiri sendiri. Dia adalah sebuah semboyan
panjang. Secara utuh bunyinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani. Semua kata yang terangkai tersebut mengarah
kepada peran seorang guru. Kalau diterjemahkan, maka akan tergambar bagaimana
harusnya seorang guru bersikap. Pertama, ing ngarsa sung tulada: ketika
di depan seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik.
Kedua, ing madya mangun karsa: di tengah atau di antara murid, guru
harus menciptakan prakarsa dan ide. Dan ketiga, tut wuri handayani: dari
belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan.
Begitulah, entah
apa sebabnya, semboyan panjang itu hanya diambil penggalan terakhirnya saja
oleh Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia untuk dijadikan slogan. Apakah
karena kepanjangan? Atau karena seorang guru tidak perlu memiliki peran yang
begitu banyak?
Apapun sebabnya,
kini guru dengan tut wuri handayani seakan tak mencerminkan sikap yang
ideal lagi. Contohnya dalam agenda Ujian Nasional beberapa waktu lalui. Sebagai
guru, beberapa pendidik memang masih memegang teguh tut wuri handayani
tadi. Tapi, artinya berbeda dengan yang diharapkan Ki Hajar Dewantara. Oknum
guru memang memberikan dorongan dan arahan. Masalahnya, dorongan arahan yang
dimaksud tidak memancing murid untuk kreatif dan berusaha keras. Di beberapa
tempat, para pendidik malah mengarahkan murid atau siswanya untuk berbuat
curang. Murid diminta datang jauh lebih cepat dari jadwal ujian agar bisa
‘berkoordinasi’ soal jawaban. Nah, adakah hal itu yang diinginkan dari tut
wuri handayani tadi?
Memang, tidak
semua guru yang menjadi sosok tut wuri handayani murtad. Film Laskar
Pelangi yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Andrea Hirata
seakan menyadarkan Indonesia kalau masih ada guru yang berdedikasi tinggi. Ya,
setidaknya Hirata mengangkat kisah nyata yang ada di Bangka Belitong dan
memunculkan karakter seorang guru, Bu Muslimah, yang bermental tut
wuri handayani. Tentu, masih banyak Bu Muslimah lain di Indonesia.
Sayang, adakah yang tahu nasib mereka? Haruskah mereka dinovelkan lebih dahulu
agar Indonesia sadar pentingnya tenaga pengajar?
Sekali lagi, ini
soal tut wuri handayani. Tapi tolong, jangan baca sepenggal. Bacalah
seperti yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara: ing ngarsa sung tulada, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani. Selamat Hari Pendidikan Nasional! (*)
Sumut Pos, Rabu 2 Mei 2012
0 komentar:
Posting Komentar