Lantun ini yang berisikan tentang pandangan hidup seseorang

Kamis, 31 Mei 2012

Corby tak Gaga(L)


Oleh Ramadhan Batubara

Nama Schapelle Leigh Corby mungkin tak setenar dengan Lady Gaga. Tapi, soal perbincangan di Indonesia, Gorby mampu mengimbangi Gaga. Bahkan, gara-gara dia, beberapa anggota DPR RI berniat melakukan interpelasi terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ya, dia adalah warga negeri jiran, Australia. Dia ditangkap pada 8 Oktober 2004 di Bali dengan barang bukti 4,2 kilogram ganja. Pada 27 Mei 2005, ia divonis Pengadilan Negeri Denpasar 20 tahun penjara karena melanggar UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Menariknya, perempuan yang kemudian hari dijuluki 'Ratu Mariyuana' telah mendapat remisi sebanyak 10 kali dengan total 25 bulan pengurangan pidana penjara, kemudian pekan lalu diberikan grasi selama lima tahun oleh Presiden SBY. Praktis Corby tinggal menjalani sisa hukumannya selama 8 tahun.
Ujung-ujungnya, Corby kemungkinan akan diberikan pembebasan bersyarat pada September mendatang. Tak pelak, keistimewaan yang diberikan oleh pemerinta Indonesia pada warga Australia itu dianggap terlalu berlebihan.
Secara teori, bisa saja Corby bebas bersyarat. Undang-undang mengatur, seseorang dapat bebas bersayarat kalau telah menjalani 2/3 masa pidana dengan ketentuan tidak kurang dari sembilan bulan. Kedua, berkelakuan baik selama menjalani masa pidana selama 9 bulan terakhir sebelum tanggal 2/3 masa pidana. Begitupun, sebagai warga asing, Corby harus mengantongi rekomendasi dari Ditjen Imigrasi Kemenkumham mengenai izin tinggal selama menjalani masa bebas bersyarat. Dan, adanya jaminan dari kedutaan besar Australia bahwa Corby tidak akan meninggalkan Indonesia hingga dinyatakan bebas murni. Selain itu, Kedubes Australia juga harus bisa menjamin Corby tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani pembebasan bersayarat.
Tapi masalahnya bukan pada itu, grasi lima tahun dari SBY adalah biangnya. Apalagi, Menkumham Amir Syamsuddin sempat mengatakan pemberian grasi itu merupakan kebijakan diplomasi. Hingga, muncul nuansa dan keyakinan dari banyak pihak bahwa Indonesia terlalu tunduk pada kemauan negara lain. Ini misalnya tercermin dari pandangan Wakil Ketua DPR Pramono Anung  yang menyebut kasus ini tidak lepas dari tekanan dan lobi pemerintah Australia.
Hal ini jadi berbanding terbalik dengan apa yang dialami Lady Gaga bukan? Indonesia seakan tak mau 'ditekan' dengan gaya sang Lady. Bahkan, Gaga harus mengikuti kemauan 'Indonesia' dengan menyesuaikan penampilannya dengan kemauan 'Indonesia'. Seperti diketahui, Gaga berang. Dia batalkan konser yang membuat fansnya di Indonesia sedih. Lalu, bagaimana dengan Corby? Bukankah sang Ratu telah benar-benar melakukan tindak pidana? Mengapa Indonesia seakan takluk?
Bak kata Menkumham, ini adalah kebijakan diplomasi. Seperti dikutip dari internet, menurut ahli diplomasi India kuno Kautilya, dalam upaya mencapai tujuan diplomatik suatu pemerintahan dapat melakukan lewat penerapan satu atau kombinasi beberapa prinsip dari empat prinsip utama instrumen diplomasi, yaitu sama (perdamaian atau negosiasi), dana (memberi hadiah atau konsesi), danda (menciptakan perselisihan), dan bedha (mengancam atau menggunakan kekuatan nyata). Jadi, mengaca pada keterangan tersebut, tentu soal Corby masuk akal. Apalagi, grasi memang merupakan hak konstitusional presiden.
Sayangnya, grasi terhadap Corby menjadi tidak lazim karena selama ini belum pernah terdengar ada pengurangan hukuman sebanyak itu bagi tahanan warga negara sendiri. Apalagi, timing grasi itu dianggap kurang tepat karena saat Indonesia menyatakan perang terhadap narkoba, terutama memerangi jaringan internasional narkoba, SBY malah memberi grasi kepada terpidana kasus narkoba.
Dengan keadaan ini, bukankah akan membuat orang dibalik penyelundupan satu kontainer ekstasi baru-baru ini akan tersenyum? (*)


Sumut Pos, Rabu 30 Mei 2012

Senin, 28 Mei 2012

Dasar Sebuah Gol Tidak Sekadar dari Operan Matang


Oleh Ramadhan Batubara

Kerja tim. Kata kunci dari pertandingan sepak bola adalah mutlak. Saya sepakat dengan itu. Saya juga sepakat, untuk menghasilkan kemenangan dibutuhkan sebuah perjuangan. Sayangnya, Sabtu siang kemarin, semua itu terbantahkan.
 Ya, kemarin siang saya dengan rekan sekantor bermain sepak bola. Tapi, jangan bayangkan sepak bola seperti Piala Eropa yang beberapa waktu ke depan akan digelar; durasi dua kali empat puluh menit; sebelas lawan sebelas; lapangan rumput; penuh dengan tekling keras; dan sebagainya.
Ini futsal. Lima lawan lima. Bermain di lantai semen dan beratap. Tanpa tekling. Pemainnya pun bisa masuk dan keluar – bergantian – sesuka hati. Soal durasi waktu pertandingan, hm, tidak ada. Ini bukan pertandingan resmi. Ini hanya laga suka-suka, jadi waktu disesuaikan dengan durasi menyewa lapangan. Dan, kami memilih satu jam.
Sialnya, siang kemarin komposisi pemain tidak lengkap. Jumlah yang hadir di lapangan futsal di belakang SPBU plat hitam di kawasan Jalan Patimura hanya delapan orang. Maka, empat lawan empat adalah formasi yang terpaksa kami ambil. Bayangkan nikmatnya menguasai bola. Ya, benar-benar melelahkan.
Terlepas dari itu, lapangan yang kami pilih kali ini memang cenderung menarik. Beda dengan lapangan futsal yang biasanya kami sewa. Sebelumnya kami sering main di kawasan Menteng. Di tempat itu memang ada dua lapangan; berlantai semen dan rumput sintetis (sebenarnya lebih mirip dengan karpet). Bedanya, tempat kami di Menteng cenderung tertutup. Dengan kata lain, pemandangan yang didapat hanya lapangan. Lebihnya, pemandangan tempat parkir dan jalan raya.
Di belakang SPBU plat kuning di kawasan Jalan Patimura Medan, meski hanya memiliki satu lapangan, dia memiliki banyak pemandangan. Contohnya, ketika memasuki lokasi – menerobos SPBU – ada sebuah kafetaria lengkap dengan bangku-bangku yang ditata menarik. Tidak itu saja, pemandangan kafetaria itu juga cukup menawan, dia berdampingan dengan aliran sungai kecil. Jarak antara kafetaria dengan sungai dibatasi barisan bambu kuning dan beberapa pohon cerry. Suasana alam begitu terasa. Belum lagi jarak antara kafetaria dengan lapangan sekitar lima puluh meter yang dihiasi dengan rerumputan. 
Jadi, sebelum pertandingan, ada perasaan segar yang menyelimuti kepala.
Tapi, namanya pertandingan tetap saja pertandingan. Apalagi, kami bermain dengan formasi empat lawan empat. Tak pelak, kesegaran suasana alam di sekitar lapangan futsal itu seakan lenyap. Peluh membanjir. Muka terasa panas. Rambut pun basah.
Dalam pertandingan kemarin, sejujurnya tak ada yang menghitung jumlah gol. Mungkin berpuluh-puluh gol kami ciptakan. Bukan karena kami pintar mengolah bola, tapi lapangan itu terasa begitu luas. Menit-menit awal memang pertandingan berlangsung sengit. Tapi, setelah lewat tujuh menit, konsentrasi dan fokus mulai berubah. Kontrol bola makin liar. Operan makin tak terarah. Saya pun bolak-balik menyentuh dengkul dengan tangan; posisi menunduk untuk membuang lelah.
Itulah mengapa di awal lantun ini saya katakan kerja tim dan usaha yang keras untuk memenangkan pertandingan menjadi nihil. Kami sekadar menendang. Kami sekadar menghadang. Dan, kami sekadar bertanding. Ujung-ujungnya, kami tak peduli siapa yang menang atau kalah. Yeah.
Sekali lagi jangan tanya soal kerja tim. Operan tiki-taka ala FC Barcelona nyaris tak ada. Kick and Rush ala Liga Inggris pun  hanya ada dalam kepala. Dan, jangan pula berharap ada disiplin pemain bergaya defensif ala Italia. Fiuh.
Parahnya, beberapa kali bola lewat tanpa ditendang. Bola yang dalam posisi pas untuk ditendang untuk menghasilkan gol pun terlewat begitu saja, padahal kaki sudah mengayun indah ala Ronaldinho. Gocekan Lionel Messi atau atraksi Christiano Ronaldo,  wah, jauh panggang dari api kata orang bijak.
Lalu, bagaimana gol tercipta? Ini dia mengapa saya katakan: dasar sebuah gol tidak sekadar dari operan matang. Ya, sebagian besar dari gol yang kami ciptakan adalah berkat unsur tak sengaja. Contohnya, ketika seorang kawan menendang dan mengenai tubuh kawan lainnya, bola liar itu berada di depan saya. Ya, sudah saya tendang. Bukan tendangan keras, hanya sebuah sepakan ala kadarnya. Tapi, tendangan tiu tidak ditangkap kiper lawan karena dia keletihan. Hahahahaha.
Tapi sudahlah, pertandingan itu memang tak layak untuk diulas. Saking tak layaknya, saya malah berpikir soal lain. Tentu ini soal kesejahteraan warga Indonesia, khususnya Medan. Terus terang saya berpikir kesejahteraan itu layaknya sepak bola. Jadi, ada posisi yang diduduki orang-orang yang pas. Kenapa pas? Jawabnya, agar dia bisa menciptakan suasana nyaman untuk kemenangan. Mereka yang di posisi belakang harus fokus di lini pertahanan, mereka yang di posisi tengah harus fokus mendistribusikan bola, dan mereka yang di posisi depan harus jeli dan aktif dalam mencetak gol.
Ini bukan berarti tidak bisa berganti posisi. Adalah wajar dalam pertandingan tiba-tiba ada penyerang yang bertahan. Tapi, kenapa dia bertahan? Ya, karena saat itu lini pertahanan sedang lowong karena sang bek belum kembali ke posisinya karena sebelumnya dia membantu serangan. Begitu juga sebaliknya, rotasi posisi bisa dilakukan dengan berkaca pada kebutuhan.
Sayangnya, fisik juga menentukan. Kadang, di Medan, operan matang yang dikirimkan oleh rekan tidak bisa dimanfaatkan. Ya, mereka yang mendapat operan itu sudah hilang fokus. Terlalu letih dia berlari tanpa bola. Jadi, ketika bola datang, dia tak sanggup lagi menendang, dia biarkan saja hingga bola keluar lapangan. Ya, pelatih pun langsung menariknya ke bangku cadangan. Ujung-ujungnya, kalah. Kesejahteraan warga yang diharapkan pun tak tersalurkan.
Begitulah, beruntung lapangan futsal belakang SPBU plat hitam itu masih memiliki kafeteria. Usai pertandingan kami pun mengumpul di sana. Sama-sama menikmati minum sehat. Dan, sama-sama menertawakan operan matang yang beberapa kali tak berbuah gol. (*)

Sumut Pos, Minggu 27 Mei 2012

Rabu, 23 Mei 2012

Pantang tak Top


Oleh Ramadhan Batubara

PTT. Sebuah akronim yang marak di Kota Medan. Ya, PTT atawa Pantang tak nge-Top ini cenderung diberikan pada orang-orang yang tak mau kalah; orang yang maunya terus tampil; orang yang harus jadi perhatian; dan lain-lain. Intinya, PTT adalah julukan yang diberikan agar si penerima julukan mau mengurangi ke-PTT-anya tadi.
Tapi, Ini Medan, kata warga Sumatera Utara. Soal sindirian sudah tak lagi ampuh; jangankan sindiran, makian pun kadang tak dipedulikan. Maka, biarkan saja dia PTT.
Soal PTT ini sejatinya bak sudah mendarah daging. Lihatlah, pantang ada produk baru yang dikeluarkan sebuah perusahaan, warga Medan seakan tak mau ketinggalan untuk memilikinya. Buktinya, berbagai jenis otomotif terbaru, elektronika teranyar, dan sebagainya seakan tak luput dari kota ini. Maka, ketika seorang kawan dari seberang melihat mobil Hummer melintas di jalanan Medan, dia geleng-geleng kepala. Ayolah, mobil itu harganya lebih dari tiga miliar rupiah. "Gak haruslah pakai mobil seperti itu. Untuk apa sih? Gaya banget," keluhnya.
Tapi, begitulah, PTT memang soal gaya. Nah, yang namanya gaya, tentunya bisa mencuri perhatian. Maka, bukan sesuatu yang aneh ketika beberapa tokoh ramai-ramai buka suara soal keinginannya untuk mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Utara yang baru. Bukankah gubernur merupakan posisi yang penuh gaya? Dan, seorang gubernur tentu memiliki posisi paling top alias paling tinggi di sebuah provinsi.
Menariknya, beberapa waktu ke belakang, geliat tokoh untuk maju dalam Pilgubsu tidak hanya milik tokoh lokal alias Sumatera Utara semata. Mereka yang berkecimpung di level nasional pun seakan berebut tampil di Sumut. Tambah menarik, di Partai Demokrat, beberapa kader juga PTT. Sebut saja Sutan Bathoegana, Ruhut Sitompul, dan yang terbaru Jhonny Allen serta Kastorius Sinaga. Pertanyaannya, adakah mereka berempat akan bersaing mewakili Demokrat dalam Pilgubsu 2013?
Pasti, jawabannya belum tentu. Sutan Bathoegana mungkin sudah serius untuk menjadi mewakili Demokrat. Setidaknya, dia telah mengembalikan fomulir pendaftaran atau resmi mendaftar dari partai berlambang mercy itu. Ruhut atau si Poltak Raja Minyak dari Medan? Dia belum melakukan gerakan apa pun selain mengklaim paling beken. Sedangkan Jhonny Allen dan Kastoris Sinaga, dua tokoh ini memang belakangan muncul untuk isu Pilgubsu, jadi belum begitu terlihat, meski kabarnya sudah melakukan survey kecil-kecilan.
Karena itulah, sosok Sutan mungkin paling tampak. Apalagi, dia telah mengklaim mendapat restu dari sang ketua partai, Anas Urbaningrum. Sayangnya, klaim itu malah dibantah Kastoris. Kata Kastoris, Sutan memang sudah mendapat restu, tapi Anas juga memberi restu pada siapa saja yang mau maju dalam Pilgubsu mendatang.
Nah, terlepas dari peluang masing-masing tokoh dari Demokrat tadi, unsur PTT tadi memang lebih tampak dalam geliat mereka bukan? Tidak hanya tokoh dari Demokrat, sosok dari partai lain pun sama saja. Semuanya seakan tak mau tak tampil. Semuanya seakan ingin diperhatikan. Dan, semuanya seakan paling mantap.
Itu namanya panggaron, kata seorang kawan. Orang yang panggaron itu memang aneh. Makin dielus, makin jadi. Contohnya, ketika dia dipuji karena makan satu buah cabai rawit, maka dia akan memakan lebih banyak lagi. Meski merasa kepedasan, dia tetap makan cabai itu karena pujian tadi. Nah, menurut kawan saya, seperti itulah PTT tersebut.
Jadi, bisa saja apa yang dilakukan para tokoh tak murni untuk benar-benar maju dalam Pilgubsu. Bukankah bisa diartikan mereka memanfaatkan waktu yang panjang sebelum pendaftaran resmi calon gubsu untuk ajang PTT?  Hm, bagaimana Anda menyikapinya sajalah. (*)

Sumut Pos, Selasa 22 Mei 2012

Minggu, 20 Mei 2012

Mereka Tidur di Jalanan Kota Medan


Oleh Ramadhan Batubara

Pulang kerja dini hari. Bagi sebagian orang mungkin aneh, tapi bagi saya dan teman-teman yang kerja di meja redaksi hal itu sangat biasa. Tidak kami saja, beberapa kawan lain yang kena jam kerja malam, pulang malam juga jadi lumrah.

Tidak seperti pekerja kebanyakan yang pulang sore hari, kami yang pulang dini hari cenderung lebih nyaman. Pasalnya kemacetan Kota Medan sama sekali tak tampak. Jalanan begitu lega. Kami pun bisa sesuka hati melajukan kendaraan kami; saya tentunya tetap nyantai karena si Lena (sepeda motor saya) pemalu; dia tak suka (baca, tak bisa) kencang. Hehehehe...

Berhubung si Lena pemalu, saya memiliki kesempatan yang banyak untuk melihat pemandangan malam. Dan, untuk bagian ini saya jadi sering memuji si Lena. Sumpah, sangat berbeda ketika sore atau siang: saya lebih sering memakinya. Ya, pada dini hari kecepatan si Lena stabil di titik 30 km/jam. Sebuah kecepatan yang nyaman karena dihiasi dengan angin sepoi-sepoi.

Dan, beberapa malam dalam pekan lalu, setiap pulang kerja saya menjumpai beberapa pemandangan yang mengusik kepala. Saya melihat banyak warga Medan yang seperti terjaga di sekitar jalan. Bahkan, beberapa kali saya melihat ada warga yang tidur di sekitar jalan seakan mereka tak punya rumah.

Soal mereka yang seperti terjaga, tentunya bukan para pekerja malam seperti saya. Misalnya, pada Rabu dini hari lalu. Ada seorang laki-laki di perempatan Amplas. Dia berdiri di dekat lampu merah. Sendirian. Dan, saat itu suasana sedang dingin sehabis hujan di sekitar Amplas. Melihatnya, saya jadi ingat lagu yang dipopulerkan Iwan Fals:

Orang gila di lampu penyeberangan//Jam dua malam//Lewat pada saat lampu sedang merah//Tepat di tengah
tengah zebra cross//Irama langkahnya tidak berubah//Seperti lagu lama yang aku dengar menuju pulang//Sendirian.

Ya, lelaki yang saya lihat itu memang menunjukkan tingkah orang yang terganggu mentalnya. Dia berdiri, diam di pinggir lampu merah. Meski tidak berjalan dan menyeberang zebra cross seperti yang disebutkan Iwan Fals, lelaki itu tampak begitu menyedihkan. Pakaiannya hanya celana pendek dan baju yang kusam. Rambutnya panjang dan tak terawat.

Saya tak berhenti. Saya pun tak ingin sekadar berbasa-basi dengannya. Tentu, saya bingung bagaimana cara menegurnya. Tapi sudahlah, setidaknya saya menyadari bahwa di Kota Medan ini masih ada warga yang butuh pertolongan terbiarkan begitu saja. Bayangkan, lelaki itu paling masih berusia tiga puluhan awal; usia produktif. Fiuh, sebegitu
kejamkah hidup ini hingga dia begitu?

Lalu, pada dini hari yang sama, saya pun menemukan orang lain. Mereka tertidur di sekitar jalan. Tepatnya di Kawasan Simpang Limun. Ceritanya, ada keharusan saya untuk mampir di sebuah SPBU. Nah, bukan mengisi premium, tapi saya ingin mengambil uang. Di SPBU itu ada mesin anjungan tunai mandiri. Di saat itulah saya lihat beberapa pekerja SPBU tersebut tertidur. Mereka bersarung dan memakai topi gunung. Kursi plastik seperti di warung mie Aceh pun mereka jadikan tempat. Mereka hanya berdua. Dan mereka mengumpul di dekat salah satu mesin BBM itu. Fiuh, sebegitu
beratkah hidup ini hingga mereka harus begitu?

Tidak sampai di situ saja, keluar dari SPBU, saya menemukan lagi orang yang tertidur. Letaknya di pertigaan Simpang Limun itu. Beberapa abang becak tampak nyaman tidur di jok becaknya. Ah, sebegitu beratkah mencari nafkah hingga mereka harus begitu?

Menyadari beberapa pemandangan tersebut, saya menjadi berpikir untuk memutari Kota Medan secara menyeluruh. Ayolah, yang saya lihat masih di sebagian kecil Kota Medan, jadi bukan tidak mungkin saya akan melihat pemandangan serupa di belahan kota yang lain.

Sayang, tubuh terasa letih. Saya merasa tak sanggup untuk menunaikan keinginan kepala itu. Yang jelas, sekadar menenangkan kepala, saya anggap masih banyak orang seperti itu di Medan. Ya, mereka yang tertidur di sekitar jalanan kota. Dan, mereka yang tampaknya terjaga padahal kesadarannya tertidur seperti lelaki di persimpangan Amplas
tadi.

Begitulah, di jalan menuju pulang, saya berpikir: kota ini memang sedang tertidur. Ya, apa yang dilakukan kota ini bak sebuah tidur panjang. Perhatikanlah, adakah kota ini bergerak layaknya orang yang sadar? Saya tidak melihat gerak itu, kota ini hanya menjalankan apa yang sudah dijalankan. Lihatlah, soal banjir pun masih menjadi
pekerjaan rumah yang belum selesai. Kalau tidak sedang tidur, pasti banjir itu bisa diselesaikan.

Namanya tidur, tentunya bisa menghasilkan mimpi. Dan, mimpi itulah yang terus melenakan Medan. Mimpi buruk untuk mereka yang tak beruntung dan mimpi indah untuk yang beruntung. Dan, setelah bangun nanti, Medan baru sadar kalau sudah banyak tertinggal dibanding kota lain.

Bah, tiba-tiba saya kok persis yang dinyanyikan Iwan Fals:

Melangkah terus lurus kedepan//Melangkah terus lurus kedepan//Kamu sapa siapa saja//Selamat malam//
Selamat malam.

Ya, selamat malam. (*)

Sumut Pos, Minggu 20 Mei 2012

Kamis, 17 Mei 2012

Peluru


Oleh Ramadhan Batubara

Banyak yang mengatakan, Pilgubsu mendatang sudah pasti dengan mekanisme yang sama. Maksudnya, tetap dipilih oleh rakyat. Untuk membuat Undang-undang itu tidak gampang, butuh proses yang panjang. Sudahlah, sudah pasti Pilgubsu 2013 tidak akan dilakukan oleh DPRD. Titik.

Tapi tunggu dulu, untuk urusan politik tampaknya kita memang harus sering meminggirkan rumus dua tambah dua sama dengan empat. Bahasa politik adalah bahasa kepentingan. Menariknya lagi, kepentingan dalam politik juga tidak tercantum dengan pasti di kamus. Kepentingan adalah sesuatu yang terus berubah. Maka, soal Undang-undang Pemilukada bukan barang besar. Dia tinggal diset saja. Apalagi, kabarnya untuk kali ini DPR (baca, sebagian besar anggota DPR) dan pemerintah tampaknya sepaham.

Kesepahaman antara DPR dan pemerintah ini patut diperhatikan dengan baik. Pasalnya, atas nama kesepahaman, Undang-undang Pemilukada bisa dijadikan prioritas. Jika sudah jadi prioritas, maka pemilihan gubernur melalui anggota DPR tinggal ketok palu bukan? Ketika palu sudah diketok, maka Pilgubsu secara langsung oleh rakyat bisa rawan. Tapi, bukankah Pilgubsu bisa diistimewakan? Maksudnya, pemilihan gubernur oleh DPRD dilakukan usai Pemilu 2014. Dengan kata lain, Pilgubsu yang digelar pada 2013 masih pakai mekanisme lama. Tentu, hal itu juga mungkin terjadi.

Tapi, ketika gubernur Sumatera Utara mendatang dianggap penting oleh partai-partai tertentu, bisa saja Pilgubsu ‘dipaksa’ dengan mekanisme baru (padahal sebuah pengulangan dari zaman orde baru), yakni pemilihan oleh DPRD. Kasarnya begini, ketika Sumatera Utara dianggap provinsi penting terkait Pemilu 2014 mendatang, maka partai-partai besar akan meletakkan ‘orang’ sebagai gubernur. Namanya partai besar, meletakkan gubernur melalui pemilihan oleh DPRD kan tinggal bulatkan suara saja kan?

Lalu, bagaimana dengan jadwal yang sudah ditetapkan pada 7 Maret 2013. Apakah skenario itu (menetapkan Undang-undang Pemilukada) bisa dilaksanakan? Jawabnya bisa saja. Pasalnya, ada kesepahaman antara DPR dan pemerintah. Seandainya molor, kan Pilgubsu tinggal ditunda. Soal pemimpin Sumatera Utara yang kosong, kan tinggal tunjuk Plt-nya.

Pemikiran semacam inilah yang keluar beberapa tokoh yang berniat maju dalam Pilgubsu mendatang. Mereka menunggu kabar pasti soal Undang-undang Pemilukada dan kepastian mekanisme Pilgubsu mendatang. Mereka tak mau salah langkah. Mereka tak mau kehabisan peluru. Ya, kini mereka mengurangi pencitraan diri dan berusaha maksimal untuk menghemat pengeluaran. 

Coba bayangkan, ketika mereka sudah mengeluarkan uang banyak dalam pembentukan citra diri di masyarakat, eh, ternyata Pilgubsu malah oleh DPRD. “Bisa habis peluru kita,” kata seorang tokoh yang kabarnya ingin maju ke Pilgubsu mendatang.

Lalu, bagaimana jika tetap dipilih oleh rakyat tapi belum melakukan apapun dalam pencitraan. Bukankah itu bisa juga menjadi bumerang? “Yang penting peluru kita masih ada,” katanya lagi.

Begitulah, soal peluru – baik di dunia politik maupun kriminal – tetap saja menentukan. Karena itu, ketika kepastian mekanisme Pilgubsu masih menggantung, hemat peluru adalah pilihan tokoh tadi. Dan, dia tidak sendiri. Beberapa tokoh yang telah muncul belakangan ini pun belum banyak yang berbuat. Kalaupun ada yang terlihat, pastikanlah bahwa peluru yang dipakai bukan peluru mereka sendiri. (*)

Sumut Pos, Rabu 16 Mei 2012

Minggu, 13 Mei 2012

Kenangan di Seberang DPRD Medan

Oleh Ramadhan Batubara

Ini Medan. Ada suara air yang mengalir. Di tengah kota. Nyaman dan tak bising. Ada pula pemandangan pohon bambu, tidak rapat, namun cukuplah untuk segarkan mata.

Sekali lagi, Ini Medan; tanpa ada kata 'Bung'. Sengaja saya tuliskan kalimat itu tanpa kata 'Bung' karena memang tak ada keangkuhan yang saya lihat di tempat yang saya kunjungi Jumat siang lalu. Di tempat itu, saya tak melihat Medan seperti yang dibayangkan; ya, Medan yang terwakili dengan kata 'Bung' tadi.

Tempat itu hanya sekadar ruang makan. Sebagaimana ruang makan atau rumah makan lainnya, tempat itu pasti menawarkan menu-menu biasa. Sebut saja, nasi dan lauk pauknya. Sangat biasa. Tapi, ketika duduk di tempat itu, Anda pasti merasa beda. Seperti saya, jadi senyum-senyum terus meski hidangan cukup lama disajikan.

Saya tidak akan menyebut merek rumah makan itu. Maklumlah, yang namanya merek, pasti ada 'nilai' bukan? Dan, saat ini saya tidak sedang berpromosi, saya hanya sekadar menuliskan pengalaman di tempat itu.

Baiklah, tempat yang mencuri perhatian saya pekan ini adalah rumah makan yang ada di pinggir Sungai Deli. Dia berada tepat di seberang Kantor DPRD Medan. Ingat: seberang. Namanya seberang berarti terpisah sungai, walau seberang juga bisa dipisahkan apapun juga kan? Nah, rumah makan ini benar-benar di seberang sungai.

Tapi sudahlah, yang jelas Jumat siang lalu, saya terpesona dengan pemandangan di sana. Memilih tempat duduk yang menghadap sungai, saya bisa melihat jelas bagaimana kantor para wakil rakyat itu. Pun, memandang ke serong kanan, maka Kantor Wali Kota Medan pun terpampang jelas. Sebuah sudut pandang yang menyenangkan. Belum lagi, ketika pandangan saya arahkan ke sungai. Memang, airnya agak keruh, tapi dia mengalir deras. Gelombang air itu bak di pegunungan saja. Dan, semak serta beberapa pohon bambu yang ada di pinggir sungai cukup meneduhkan mata.

Sesaat saya lupa, bukankah Medan terkenal dengan kesemerawutannya?

Saya memesan menu nasi putih dengan ikan bawal tauco, telur dadar, sambal teri kacang, sayur santan daun ubi, dan sambal. Tentu saya tak sendirian, mana mungkin saya bisa menghabiskan itu semua. Jumat lalu saya memang ditemani istri. Nah, untuk minuman, saya memilih teh manis hangat dan istri saya memilih es timun serut.

Fiuh, saya dan istri terkejut dengan rasa yang ditawarkan rumah makan itu. Pertama, tauco. Ikan bawal ukuran sedang itu dibalut dengan bumbu sederhana. Rasanya tipis dan menyenangkan. Tak pelak, kami pun lahap. Sudah lama makan dengan bumbu yang berlebihan, jenuh juga kan? Begitu dapat menu seperti itu, kami jadi semangat. Rasa tak berbeda ada di telur, sambal teri, dan sayur daun ubi. Rasa masakan rumah tampaknya menjadi pilihan warung ini. Jadi, ketika makan, tak ada kesan sedang makan di rumah makan yang biasanya kaya dengan rempah-rempah.

Kedua, soal rasa minuman. Sebelumnya beberapa kawan merekomendasikan air kelapa di warung itu. Tapi, entah kenapa saat itu saya memang tak minat. Beruntung, teh yang saya pilih ternyata cukup menyenangkan. Ada nuansa berbeda di air berwarna cokelat kemerahan itu. Tidak sekadar rasa teh. Ada rasa lenkongnya. Sumpah, bagi saya agak aneh karena biasanya teh bernuansa wangi melati atau vanila. Tapi, saya menyukainya. Pun dengan timun serut pilihan istri saya. "Segarnya enak, kayaknya dia nambah jeruk," kata istri saya berlagak sok ahli kuliner.

Akhirnya, kami berdua bertahan di tempat itu hampir satu jam setengah. Selain menimati makanan, kami pun sibuk memandang Medan yang 'lain'. Sumpah, suara air yang mengalir dan pemandangan pohon di sekitar sungai yang berlatar gedung tinggi cukup menawan. Apalagi, tempat ini letaknya agak menjorok ke dalam, jadi kebisingan lalu lintas cenderung tak begitu dominan.

Sayang, di saat pembayaran, angka tak sesuai yang dibayangkan. Sembilan puluh empat ribu untuk semuanya. Fiuh.

Tapi, kata istri saya, nikmati saja. Kan sudah dimakan dan bukankah rasanya enak. Lalu, bukankah tempatnya menyenangkan?

Iya juga ya. Hm, Ini Medan memang harus pakai kata 'Bung'. Kalimat itu sudah pas, jadi jangan dicerai-berai nanti jadi tak afdol.

Baiklah, untuk kenangan di seberang DPRD Medan: Medan tetap Ini Medan Bung! (*)

Sumut Pos, Minggu 13 Mei 2012

Selasa, 08 Mei 2012

Homo Homini Lupus


Oleh: Ramadhan Batubara

Aksi koboy bukan lagi dalam film ala pejuang Amerika Serikat mengejar kaum Indian. Dia telah hadir di Indonesia. Di jalanan protokol. Tanpa malu dan takut, seseorang bisa langsung mengeluarkan pistolnya; menodongkan senjata api (senpi) itu pada lawan.
Tidak itu saja, ada juga yang berlagak santai saat berdebat. Tapi, dia keluarkan pistolnya dan diletakkan agar lawan debat terdiam. Entah apa yang terjadi, yang jelas penggunaan pistol telah begitu bebas. Dan di Sumut, diperkirakan ada 15.000 senpi ilegal yang beredar. Luar biasa.
Tanpa berusaha mengulas soal keberadaan pistol, penggunaan senpi itu dianggap oleh beberapa kalangan sebagai tindakan gagah-gagahan. Istilah kerennya, overacting. Benarkah sebatas itu? Tampaknya tidak. Pasalnya, soal keberanian dan kenekatan orang menggunakan pistol sebagai senjata tidak sekadar untuk menakut-nakuti lawan; apalagi membela diri alias pertahanan. Senpi adalah senjata untuk menyerang. Dan, atas nama menyerang maka nalurinya adalah melumpuhkan lawan.
Pertanyaannya, kenapa seseorang harus melumpuhkan orang lain? Tentu jawabannya karena dia merasa terancam alias tak aman. Pistol dia gunakan sebagai tameng sekaligus senjata mematikan. Maka, ketika mereka merasa tak nyaman, beli saja pistol.
Nah, kecenderungan di atas sangat riskan. Pola pandang manusia yang homo homini socius – manusia sahabat bagi manusia – bisa tergeser. Unsur kehidupan manusia Indonesia yang ramah tamah, gotong royong, hingga toleransi bisa rawan. Bagaimana tidak, ketika manusia tidak lagi jadi sahabat bagi manusia lain, maka manusia akan berubah menjadi homo homini lupus; manusia adalah serigala bagi sesama. Seperti yang ditekankan oleh filsuf Plautus Asinaria (495 M) dengan kalimat lupus est homo homini yang artinya manusia adalah serigala (nya) manusia.  Maksudnya, manusia bukan hanya serigala (yang buas) bagi manusia lain, tetapi juga jati diri serigala menjadi milik manusia satu terhadap lainnya.
Tak ingin berlebihan, tapi sisi kemanusiaan di Indonesia memang cenderung menuju trend tersebut. Tidak hanya soal penggunaan senpi. Berbagai persoalan di negara ini cenderung diselesaikan dengan gaya rimba tersebut. Lihat saja tawuran anak sekolah hingga antarkampung, perebutan tanah, bahkan persaingan kerja dan usaha.
Lucunya, hal ini makin diperparah dengan apa yang dicontohkan kaum elite politik. Mereka terus saja menyajikan adegan perburuan kekuasaan, kepentingan, uang, dan pengaruh. Tambah menarik, dalam kepartaian ada juga yang tidak sekadar untuk melumpuhkan partai lawan. Dalam satu partai pun ada yang sibuk mencari kekuasaan. Sesama kader saling memangsa seakan lupa dengan arti perjuangan partai mereka sendiri.
Itulah, jika tidak segera ada tindakan bijak, Indonesia secara keseluruhan akan mengagungkan hidup ‘siapa kuat dia menang, siapa lemah mati’.
Menurut, filsuf dari  Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679), dalam keadaan seperti ini dibutuhkan kekuatan. Yang dimaksudnya adalah negara. Ya, sebuah lembaga yang mampu mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah.
Nah, di Indonesia telah ada negara seperti yang dimaksud Hobbes, tapi kenapa kecenderungan homo homini lupus makin tampak? (*)

Sumut Pos, Rabu 9 Mei 2012

Minggu, 06 Mei 2012

Demam


Oleh: Ramadhan Batubara

Cuaca tak jelas. Bukan pancaroba tapi anomali. Panas datang dan sesaat kemudian hujan. Hujan deras sesaat kemudian kering dan terik. Mungkin inilah yang membuat beberapa orang langsung demam.
Ujung dari demam adalah kerja jadi tak maksimal. Pimpinan kerja jadi repot, anak buahnya banyak yang mangkir. Demam pun dijadikan antagonis; tokoh yang menjijikkan; tokoh yang jelek; dan, tokoh yang harus dimatikan. Padahal, kalau mau bijak, sosok antagonis adalah tokoh penting dalam sebuah cerita. Dialah yang membangkitkan citra sang tokoh protagonis. Antagonis memang diciptakan jelek agar si protagonis tampak hebat.
Demam sebagai antagonis pun begitu. Ketika di sebuah perusahaan banyak karyawannya yang demam, maka yang sehat akan makin menonjol bukan?
Soal demam memang cukup meresahkan. Dia bukan penyakit hebat, malah istilah kawan saya: demam adalah penyakit kacangan. Tapi, demam mampu membuat seseorang tumbang. Fokus jadi hilang dan bisa membuat kerja berantakan. Itulah sebab hingga muncul demam-demam lainnya seperti demam panggung, demam lapangan, dan sebagainya.
Tapi, kenapa harus demam? Ya, bukankah penyakit tidak hanya demam? Kenapa tak ada malaria panggung atau malaria lapangan?
Mungkin karena demam adalah penyakit kacanganlah dia dijadikan sebutan untuk situasi tersebut. Maksudnya, demam bukanlah penyakit akut. Dia bisa sembuh hanya dengan istirahat sebentar. Paling cuma sehari dua hari saja. Jadi, demam cenderung bersifat sementara.
Nah, belakangan ini muncul juga demam lain. Namanya demam Pilgubsu. Perhatikan saja, beberapa tokoh mulai panas dingin. Mulai meriang melihat tokoh lain yang melakukan pencitraan. Bahkan, sampai ada yang mulai siap-siap pindah perahu partai karena takut kalah dukungan.
Situasi dan kondisi pergerakan tokoh-tokoh ini bak cuaca yang tak jelas. Anomali. Jadi bukan lagi masa pancaroba yang lebih mengarah pada perubahan cuaca yang standar seperti musim hujan ke musim kemarau. Dia mengarah kepada ketidaknormalan cuaca: hujan tiba-tiba dan panas tiba-tiba.
Situasi ini bisa menjadi riskan. Pendaftaran Pilgubsu masih lama, tapi para tokoh sudah sibuk. Bak demam tinggi, para tokoh mulai gemetar, panas dingin, pusing, bahkan sampai ada yang pusing. Tidak mereka saja, para pendukung mereka pun mulai pilek dan sibuk mencari obat agar batuk tak jadi berdahak.
Maka, beberapa tokoh mulai mencari dokter. Ya, dukungan dari dokter agar demam teratasi. Suntikan dari dokter muncul. Lalu, keluarlah pernyataan: tokoh A telah mendapat obat dari dokter B. Istilah politisnya: tokoh A direstui si polan (tokoh penting seperti pimpinan partai atau sosok penting lainnya) untuk memimpin Sumatera Utara.
Begitulah, soal demam memang tak membuat nyaman. Memang dia hanya penyakit kacangan, tapi dia bisa sangat berperan dalam menentukan nasib. Jadi, jangan sampai kena demam. Itu saja. (*)

Sumut Pos, Sabtu 5 Mei 2012

Tut Wuri Handayani


Oleh Ramadhan Batubara

Hari buruh, 1 Mei, telah lewat. Hari ini, 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional. Adakah yang masih ingat?

Tentu masih banyak yang ingat. Jika tidak, maka Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara akan sedih. Ya, usahanya dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda, seakan tersia-siakan. Pun, dengan semboyan hasil karyanya tut wuri handayani mengawang hingga tak lagi diterapkan. 



Terlepas dari itu, tut wuri handayani memang menarik jika dikaitkan dengan dunia pendidikan terkini di Indonesia. Bagaimana tidak, arti kata tut wuri handayani kini cenderung mengalami penyempit bahkan malah berubah makna.

Sejatinya, tut wuri handayani tidaklah berdiri sendiri. Dia adalah sebuah semboyan panjang. Secara utuh bunyinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Semua kata yang terangkai tersebut mengarah kepada peran seorang guru. Kalau diterjemahkan, maka akan tergambar bagaimana harusnya seorang guru bersikap. Pertama, ing ngarsa sung tulada: ketika di depan seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik. Kedua, ing madya mangun karsa: di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide. Dan ketiga, tut wuri handayani: dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan.


Begitulah, entah apa sebabnya, semboyan panjang itu hanya diambil penggalan terakhirnya saja oleh Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia untuk dijadikan slogan. Apakah karena kepanjangan? Atau karena seorang guru tidak perlu memiliki peran yang begitu banyak?

Apapun sebabnya, kini guru dengan tut wuri handayani seakan tak mencerminkan sikap yang ideal lagi. Contohnya dalam agenda Ujian Nasional beberapa waktu lalui. Sebagai guru, beberapa pendidik memang masih memegang teguh tut wuri handayani tadi. Tapi, artinya berbeda dengan yang diharapkan Ki Hajar Dewantara. Oknum guru memang memberikan dorongan dan arahan. Masalahnya, dorongan arahan yang dimaksud tidak memancing murid untuk kreatif dan berusaha keras. Di beberapa tempat, para pendidik malah mengarahkan murid atau siswanya untuk berbuat curang. Murid diminta datang jauh lebih cepat dari jadwal ujian agar bisa ‘berkoordinasi’ soal jawaban. Nah, adakah hal itu yang diinginkan dari tut wuri handayani tadi?

Memang, tidak semua guru yang menjadi sosok tut wuri handayani murtad. Film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Andrea Hirata seakan menyadarkan Indonesia kalau masih ada guru yang berdedikasi tinggi. Ya, setidaknya Hirata mengangkat kisah nyata yang ada di Bangka Belitong dan memunculkan karakter seorang guru, Bu Muslimah, yang bermental tut wuri handayani. Tentu, masih banyak Bu Muslimah lain di Indonesia. Sayang, adakah yang tahu nasib mereka? Haruskah mereka dinovelkan lebih dahulu agar Indonesia sadar pentingnya tenaga pengajar?

Sekali lagi, ini soal tut wuri handayani. Tapi tolong, jangan baca sepenggal. Bacalah seperti yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Selamat Hari Pendidikan Nasional! (*)

Sumut Pos, Rabu 2 Mei 2012
 
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates