Oleh: Ramadhan
Batubara
Aksi koboy bukan
lagi dalam film ala pejuang Amerika Serikat mengejar kaum Indian. Dia telah
hadir di Indonesia. Di jalanan protokol. Tanpa malu dan takut, seseorang bisa
langsung mengeluarkan pistolnya; menodongkan senjata api (senpi) itu pada
lawan.
Tidak itu saja,
ada juga yang berlagak santai saat berdebat. Tapi, dia keluarkan pistolnya dan
diletakkan agar lawan debat terdiam. Entah apa yang terjadi, yang jelas
penggunaan pistol telah begitu bebas. Dan di Sumut, diperkirakan ada 15.000
senpi ilegal yang beredar. Luar biasa.
Tanpa berusaha
mengulas soal keberadaan pistol, penggunaan senpi itu dianggap oleh beberapa
kalangan sebagai tindakan gagah-gagahan. Istilah kerennya, overacting.
Benarkah sebatas itu? Tampaknya tidak. Pasalnya, soal keberanian dan kenekatan
orang menggunakan pistol sebagai senjata tidak sekadar untuk menakut-nakuti
lawan; apalagi membela diri alias pertahanan. Senpi adalah senjata untuk
menyerang. Dan, atas nama menyerang maka nalurinya adalah melumpuhkan lawan.
Pertanyaannya,
kenapa seseorang harus melumpuhkan orang lain? Tentu jawabannya karena dia
merasa terancam alias tak aman. Pistol dia gunakan sebagai tameng sekaligus
senjata mematikan. Maka, ketika mereka merasa tak nyaman, beli saja pistol.
Nah,
kecenderungan di atas sangat riskan. Pola pandang manusia yang homo homini
socius – manusia sahabat bagi manusia – bisa tergeser. Unsur kehidupan
manusia Indonesia yang ramah tamah, gotong royong, hingga toleransi bisa rawan.
Bagaimana tidak, ketika manusia tidak lagi jadi sahabat bagi manusia lain, maka
manusia akan berubah menjadi homo homini lupus; manusia adalah serigala
bagi sesama. Seperti yang ditekankan oleh filsuf Plautus Asinaria (495 M)
dengan kalimat lupus est homo homini yang artinya manusia adalah
serigala (nya) manusia. Maksudnya,
manusia bukan hanya serigala (yang buas) bagi manusia lain, tetapi juga jati
diri serigala menjadi milik manusia satu terhadap lainnya.
Tak ingin
berlebihan, tapi sisi kemanusiaan di Indonesia memang cenderung menuju trend
tersebut. Tidak hanya soal penggunaan senpi. Berbagai persoalan di negara ini
cenderung diselesaikan dengan gaya rimba tersebut. Lihat saja tawuran anak
sekolah hingga antarkampung, perebutan tanah, bahkan persaingan kerja dan
usaha.
Lucunya, hal ini
makin diperparah dengan apa yang dicontohkan kaum elite politik. Mereka terus
saja menyajikan adegan perburuan kekuasaan, kepentingan, uang, dan pengaruh.
Tambah menarik, dalam kepartaian ada juga yang tidak sekadar untuk melumpuhkan
partai lawan. Dalam satu partai pun ada yang sibuk mencari kekuasaan. Sesama
kader saling memangsa seakan lupa dengan arti perjuangan partai mereka sendiri.
Itulah, jika
tidak segera ada tindakan bijak, Indonesia secara keseluruhan akan mengagungkan
hidup ‘siapa kuat dia menang, siapa lemah mati’.
Menurut, filsuf
dari Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679), dalam keadaan seperti ini
dibutuhkan kekuatan. Yang dimaksudnya adalah negara. Ya, sebuah lembaga yang
mampu mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan
kekuasaan terhadap rakyat yang lemah.
Nah, di Indonesia
telah ada negara seperti yang dimaksud Hobbes, tapi kenapa kecenderungan homo
homini lupus makin tampak? (*)
0 komentar:
Posting Komentar