Oleh: Ramadhan Batubara
Cuaca tak jelas. Bukan pancaroba tapi anomali. Panas datang
dan sesaat kemudian hujan. Hujan deras sesaat kemudian kering dan terik.
Mungkin inilah yang membuat beberapa orang langsung demam.
Ujung dari demam adalah kerja jadi tak maksimal. Pimpinan
kerja jadi repot, anak buahnya banyak yang mangkir. Demam pun dijadikan
antagonis; tokoh yang menjijikkan; tokoh yang jelek; dan, tokoh yang harus
dimatikan. Padahal, kalau mau bijak, sosok antagonis adalah tokoh penting dalam
sebuah cerita. Dialah yang membangkitkan citra sang tokoh protagonis. Antagonis
memang diciptakan jelek agar si protagonis tampak hebat.
Demam sebagai antagonis pun begitu. Ketika di sebuah
perusahaan banyak karyawannya yang demam, maka yang sehat akan makin menonjol
bukan?
Soal demam memang cukup meresahkan. Dia bukan penyakit
hebat, malah istilah kawan saya: demam adalah penyakit kacangan. Tapi, demam
mampu membuat seseorang tumbang. Fokus jadi hilang dan bisa membuat kerja
berantakan. Itulah sebab hingga muncul demam-demam lainnya seperti demam
panggung, demam lapangan, dan sebagainya.
Tapi, kenapa harus demam? Ya, bukankah penyakit tidak hanya
demam? Kenapa tak ada malaria panggung atau malaria lapangan?
Mungkin karena demam adalah penyakit kacanganlah dia
dijadikan sebutan untuk situasi tersebut. Maksudnya, demam bukanlah penyakit
akut. Dia bisa sembuh hanya dengan istirahat sebentar. Paling cuma sehari dua
hari saja. Jadi, demam cenderung bersifat sementara.
Nah, belakangan ini muncul juga demam lain. Namanya demam
Pilgubsu. Perhatikan saja, beberapa tokoh mulai panas dingin. Mulai meriang
melihat tokoh lain yang melakukan pencitraan. Bahkan, sampai ada yang mulai
siap-siap pindah perahu partai karena takut kalah dukungan.
Situasi dan kondisi pergerakan tokoh-tokoh ini bak cuaca
yang tak jelas. Anomali. Jadi bukan lagi masa pancaroba yang lebih mengarah
pada perubahan cuaca yang standar seperti musim hujan ke musim kemarau. Dia
mengarah kepada ketidaknormalan cuaca: hujan tiba-tiba dan panas tiba-tiba.
Situasi ini bisa menjadi riskan. Pendaftaran Pilgubsu masih
lama, tapi para tokoh sudah sibuk. Bak demam tinggi, para tokoh mulai gemetar,
panas dingin, pusing, bahkan sampai ada yang pusing. Tidak mereka saja, para
pendukung mereka pun mulai pilek dan sibuk mencari obat agar batuk tak jadi
berdahak.
Maka, beberapa tokoh mulai mencari dokter. Ya, dukungan dari
dokter agar demam teratasi. Suntikan dari dokter muncul. Lalu, keluarlah
pernyataan: tokoh A telah mendapat obat dari dokter B. Istilah politisnya:
tokoh A direstui si polan (tokoh penting seperti pimpinan partai atau sosok
penting lainnya) untuk memimpin Sumatera Utara.
Begitulah, soal demam memang tak membuat nyaman. Memang dia
hanya penyakit kacangan, tapi dia bisa sangat berperan dalam menentukan nasib.
Jadi, jangan sampai kena demam. Itu saja. (*)
Sumut Pos, Sabtu 5 Mei 2012
0 komentar:
Posting Komentar