Oleh Ramadhan
Batubara
Nama Schapelle
Leigh Corby mungkin tak setenar dengan Lady Gaga. Tapi, soal perbincangan di
Indonesia, Gorby mampu mengimbangi Gaga. Bahkan, gara-gara dia, beberapa
anggota DPR RI berniat melakukan interpelasi terhadap Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY).
Ya, dia adalah
warga negeri jiran, Australia. Dia ditangkap pada 8 Oktober 2004 di Bali dengan
barang bukti 4,2 kilogram ganja. Pada 27 Mei 2005, ia divonis Pengadilan Negeri
Denpasar 20 tahun penjara karena melanggar UU No 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika.
Menariknya,
perempuan yang kemudian hari dijuluki 'Ratu Mariyuana' telah mendapat remisi
sebanyak 10 kali dengan total 25 bulan pengurangan pidana penjara, kemudian
pekan lalu diberikan grasi selama lima tahun oleh Presiden SBY. Praktis Corby
tinggal menjalani sisa hukumannya selama 8 tahun.
Ujung-ujungnya,
Corby kemungkinan akan diberikan pembebasan bersyarat pada September mendatang.
Tak pelak, keistimewaan yang diberikan oleh pemerinta Indonesia pada warga
Australia itu dianggap terlalu berlebihan.
Secara teori,
bisa saja Corby bebas bersyarat. Undang-undang mengatur, seseorang dapat bebas
bersayarat kalau telah menjalani 2/3 masa pidana dengan ketentuan tidak kurang
dari sembilan bulan. Kedua, berkelakuan baik selama menjalani masa pidana
selama 9 bulan terakhir sebelum tanggal 2/3 masa pidana. Begitupun, sebagai
warga asing, Corby harus mengantongi rekomendasi dari Ditjen Imigrasi
Kemenkumham mengenai izin tinggal selama menjalani masa bebas bersyarat. Dan,
adanya jaminan dari kedutaan besar Australia bahwa Corby tidak akan
meninggalkan Indonesia hingga dinyatakan bebas murni. Selain itu, Kedubes
Australia juga harus bisa menjamin Corby tidak akan melakukan tindak pidana
lagi selama menjalani pembebasan bersayarat.
Tapi masalahnya
bukan pada itu, grasi lima tahun dari SBY adalah biangnya. Apalagi, Menkumham
Amir Syamsuddin sempat mengatakan pemberian grasi itu merupakan kebijakan
diplomasi. Hingga, muncul nuansa dan keyakinan dari banyak pihak bahwa
Indonesia terlalu tunduk pada kemauan negara lain. Ini misalnya tercermin dari
pandangan Wakil Ketua DPR Pramono Anung
yang menyebut kasus ini tidak lepas dari tekanan dan lobi pemerintah
Australia.
Hal ini jadi
berbanding terbalik dengan apa yang dialami Lady Gaga bukan? Indonesia seakan
tak mau 'ditekan' dengan gaya sang Lady. Bahkan, Gaga harus mengikuti kemauan
'Indonesia' dengan menyesuaikan penampilannya dengan kemauan 'Indonesia'.
Seperti diketahui, Gaga berang. Dia batalkan konser yang membuat fansnya di
Indonesia sedih. Lalu, bagaimana dengan Corby? Bukankah sang Ratu telah
benar-benar melakukan tindak pidana? Mengapa Indonesia seakan takluk?
Bak kata
Menkumham, ini adalah kebijakan diplomasi. Seperti dikutip dari internet,
menurut ahli diplomasi India kuno Kautilya, dalam upaya mencapai tujuan
diplomatik suatu pemerintahan dapat melakukan lewat penerapan satu atau
kombinasi beberapa prinsip dari empat prinsip utama instrumen diplomasi, yaitu sama
(perdamaian atau negosiasi), dana (memberi hadiah atau konsesi), danda
(menciptakan perselisihan), dan bedha (mengancam atau menggunakan
kekuatan nyata). Jadi, mengaca pada keterangan tersebut, tentu soal Corby masuk
akal. Apalagi, grasi memang merupakan hak konstitusional presiden.
Sayangnya, grasi
terhadap Corby menjadi tidak lazim karena selama ini belum pernah terdengar ada
pengurangan hukuman sebanyak itu bagi tahanan warga negara sendiri. Apalagi, timing
grasi itu dianggap kurang tepat karena saat Indonesia menyatakan perang
terhadap narkoba, terutama memerangi jaringan internasional narkoba, SBY malah
memberi grasi kepada terpidana kasus narkoba.
Dengan keadaan
ini, bukankah akan membuat orang dibalik penyelundupan satu kontainer ekstasi
baru-baru ini akan tersenyum? (*)
Sumut Pos, Rabu 30 Mei 2012
0 komentar:
Posting Komentar