Oleh Ramadhan Batubara
Kerja tim. Kata kunci dari pertandingan sepak bola adalah mutlak. Saya
sepakat dengan itu. Saya juga sepakat, untuk menghasilkan kemenangan dibutuhkan
sebuah perjuangan. Sayangnya, Sabtu siang kemarin, semua itu terbantahkan.
Ya, kemarin siang saya dengan rekan
sekantor bermain sepak bola. Tapi, jangan bayangkan sepak bola seperti Piala
Eropa yang beberapa waktu ke depan akan digelar; durasi dua kali empat puluh
menit; sebelas lawan sebelas; lapangan rumput; penuh dengan tekling keras; dan
sebagainya.
Ini futsal. Lima lawan lima. Bermain di lantai semen dan beratap. Tanpa
tekling. Pemainnya pun bisa masuk dan keluar – bergantian – sesuka hati. Soal
durasi waktu pertandingan, hm, tidak ada. Ini bukan pertandingan resmi. Ini
hanya laga suka-suka, jadi waktu disesuaikan dengan durasi menyewa lapangan.
Dan, kami memilih satu jam.
Sialnya, siang kemarin komposisi
pemain tidak lengkap. Jumlah yang hadir di lapangan futsal di belakang SPBU
plat hitam di kawasan Jalan Patimura hanya delapan orang. Maka, empat lawan
empat adalah formasi yang terpaksa kami ambil. Bayangkan nikmatnya menguasai
bola. Ya, benar-benar melelahkan.
Terlepas dari itu, lapangan yang kami pilih kali ini memang cenderung
menarik. Beda dengan lapangan futsal yang biasanya kami sewa. Sebelumnya kami
sering main di kawasan Menteng. Di tempat itu memang ada dua lapangan;
berlantai semen dan rumput sintetis (sebenarnya lebih mirip dengan karpet).
Bedanya, tempat kami di Menteng cenderung tertutup. Dengan kata lain,
pemandangan yang didapat hanya lapangan. Lebihnya, pemandangan tempat parkir
dan jalan raya.
Di belakang SPBU plat kuning di kawasan Jalan Patimura Medan, meski hanya
memiliki satu lapangan, dia memiliki banyak pemandangan. Contohnya, ketika
memasuki lokasi – menerobos SPBU – ada sebuah kafetaria lengkap dengan
bangku-bangku yang ditata menarik. Tidak itu saja, pemandangan kafetaria itu
juga cukup menawan, dia berdampingan dengan aliran sungai kecil. Jarak antara
kafetaria dengan sungai dibatasi barisan bambu kuning dan beberapa pohon cerry.
Suasana alam begitu terasa. Belum lagi jarak antara kafetaria dengan lapangan
sekitar lima puluh meter yang dihiasi dengan rerumputan.
Jadi, sebelum pertandingan, ada perasaan segar yang menyelimuti kepala.
Tapi, namanya pertandingan tetap saja pertandingan. Apalagi, kami bermain
dengan formasi empat lawan empat. Tak pelak, kesegaran suasana alam di sekitar
lapangan futsal itu seakan lenyap. Peluh membanjir. Muka terasa panas. Rambut
pun basah.
Dalam pertandingan kemarin, sejujurnya tak ada yang menghitung jumlah gol.
Mungkin berpuluh-puluh gol kami ciptakan. Bukan karena kami pintar mengolah
bola, tapi lapangan itu terasa begitu luas. Menit-menit awal memang
pertandingan berlangsung sengit. Tapi, setelah lewat tujuh menit, konsentrasi
dan fokus mulai berubah. Kontrol bola makin liar. Operan makin tak terarah.
Saya pun bolak-balik menyentuh dengkul dengan tangan; posisi menunduk untuk
membuang lelah.
Itulah mengapa di awal lantun ini saya katakan kerja tim dan usaha yang
keras untuk memenangkan pertandingan menjadi nihil. Kami sekadar menendang.
Kami sekadar menghadang. Dan, kami sekadar bertanding. Ujung-ujungnya, kami tak
peduli siapa yang menang atau kalah. Yeah.
Sekali lagi jangan tanya soal kerja tim. Operan tiki-taka ala FC Barcelona
nyaris tak ada. Kick and Rush ala Liga Inggris pun hanya ada dalam kepala. Dan, jangan pula berharap ada disiplin
pemain bergaya defensif ala Italia. Fiuh.
Parahnya, beberapa kali bola lewat tanpa ditendang. Bola yang dalam posisi
pas untuk ditendang untuk menghasilkan gol pun terlewat begitu saja, padahal
kaki sudah mengayun indah ala Ronaldinho. Gocekan Lionel Messi atau atraksi
Christiano Ronaldo, wah, jauh panggang
dari api kata orang bijak.
Lalu, bagaimana gol tercipta? Ini dia mengapa saya katakan: dasar sebuah gol
tidak sekadar dari operan matang. Ya, sebagian besar dari gol yang kami
ciptakan adalah berkat unsur tak sengaja. Contohnya, ketika seorang kawan
menendang dan mengenai tubuh kawan lainnya, bola liar itu berada di depan saya.
Ya, sudah saya tendang. Bukan tendangan keras, hanya sebuah sepakan ala
kadarnya. Tapi, tendangan tiu tidak ditangkap kiper lawan karena dia keletihan.
Hahahahaha.
Tapi sudahlah, pertandingan itu memang tak layak untuk diulas. Saking tak
layaknya, saya malah berpikir soal lain. Tentu ini soal kesejahteraan warga
Indonesia, khususnya Medan. Terus terang saya berpikir kesejahteraan itu
layaknya sepak bola. Jadi, ada posisi yang diduduki orang-orang yang pas.
Kenapa pas? Jawabnya, agar dia bisa menciptakan suasana nyaman untuk kemenangan.
Mereka yang di posisi belakang harus fokus di lini pertahanan, mereka yang di
posisi tengah harus fokus mendistribusikan bola, dan mereka yang di posisi
depan harus jeli dan aktif dalam mencetak gol.
Ini bukan berarti tidak bisa berganti posisi. Adalah wajar dalam
pertandingan tiba-tiba ada penyerang yang bertahan. Tapi, kenapa dia bertahan?
Ya, karena saat itu lini pertahanan sedang lowong karena sang bek belum kembali
ke posisinya karena sebelumnya dia membantu serangan. Begitu juga sebaliknya,
rotasi posisi bisa dilakukan dengan berkaca pada kebutuhan.
Sayangnya, fisik juga menentukan. Kadang, di Medan, operan matang yang
dikirimkan oleh rekan tidak bisa dimanfaatkan. Ya, mereka yang mendapat operan
itu sudah hilang fokus. Terlalu letih dia berlari tanpa bola. Jadi, ketika bola
datang, dia tak sanggup lagi menendang, dia biarkan saja hingga bola keluar
lapangan. Ya, pelatih pun langsung menariknya ke bangku cadangan.
Ujung-ujungnya, kalah. Kesejahteraan warga yang diharapkan pun tak tersalurkan.
Begitulah, beruntung lapangan futsal belakang SPBU plat hitam itu masih
memiliki kafeteria. Usai pertandingan kami pun mengumpul di sana. Sama-sama
menikmati minum sehat. Dan, sama-sama menertawakan operan matang yang beberapa
kali tak berbuah gol. (*)
0 komentar:
Posting Komentar