Oleh Ramadhan
Batubara
Banyak yang
mengatakan, Pilgubsu mendatang sudah pasti dengan mekanisme yang sama.
Maksudnya, tetap dipilih oleh rakyat. Untuk membuat Undang-undang itu tidak
gampang, butuh proses yang panjang. Sudahlah, sudah pasti Pilgubsu 2013 tidak
akan dilakukan oleh DPRD. Titik.
Tapi tunggu dulu,
untuk urusan politik tampaknya kita memang harus sering meminggirkan rumus dua
tambah dua sama dengan empat. Bahasa politik adalah bahasa kepentingan.
Menariknya lagi, kepentingan dalam politik juga tidak tercantum dengan pasti di
kamus. Kepentingan adalah sesuatu yang terus berubah. Maka, soal Undang-undang
Pemilukada bukan barang besar. Dia tinggal diset saja. Apalagi, kabarnya untuk
kali ini DPR (baca, sebagian besar anggota DPR) dan pemerintah tampaknya
sepaham.
Kesepahaman
antara DPR dan pemerintah ini patut diperhatikan dengan baik. Pasalnya, atas
nama kesepahaman, Undang-undang Pemilukada bisa dijadikan prioritas. Jika sudah
jadi prioritas, maka pemilihan gubernur melalui anggota DPR tinggal ketok palu
bukan? Ketika palu sudah diketok, maka Pilgubsu secara langsung oleh rakyat
bisa rawan. Tapi, bukankah Pilgubsu bisa diistimewakan? Maksudnya, pemilihan
gubernur oleh DPRD dilakukan usai Pemilu 2014. Dengan kata lain, Pilgubsu yang
digelar pada 2013 masih pakai mekanisme lama. Tentu, hal itu juga mungkin
terjadi.
Tapi, ketika
gubernur Sumatera Utara mendatang dianggap penting oleh partai-partai tertentu,
bisa saja Pilgubsu ‘dipaksa’ dengan mekanisme baru (padahal sebuah pengulangan
dari zaman orde baru), yakni pemilihan oleh DPRD. Kasarnya begini, ketika
Sumatera Utara dianggap provinsi penting terkait Pemilu 2014 mendatang, maka
partai-partai besar akan meletakkan ‘orang’ sebagai gubernur. Namanya partai
besar, meletakkan gubernur melalui pemilihan oleh DPRD kan tinggal bulatkan
suara saja kan?
Lalu, bagaimana
dengan jadwal yang sudah ditetapkan pada 7 Maret 2013. Apakah skenario itu
(menetapkan Undang-undang Pemilukada) bisa dilaksanakan? Jawabnya bisa saja.
Pasalnya, ada kesepahaman antara DPR dan pemerintah. Seandainya molor, kan
Pilgubsu tinggal ditunda. Soal pemimpin Sumatera Utara yang kosong, kan tinggal
tunjuk Plt-nya.
Pemikiran semacam
inilah yang keluar beberapa tokoh yang berniat maju dalam Pilgubsu mendatang.
Mereka menunggu kabar pasti soal Undang-undang Pemilukada dan kepastian
mekanisme Pilgubsu mendatang. Mereka tak mau salah langkah. Mereka tak mau
kehabisan peluru. Ya, kini mereka mengurangi pencitraan diri dan berusaha
maksimal untuk menghemat pengeluaran.
Coba bayangkan,
ketika mereka sudah mengeluarkan uang banyak dalam pembentukan citra diri di
masyarakat, eh, ternyata Pilgubsu malah oleh DPRD. “Bisa habis peluru kita,”
kata seorang tokoh yang kabarnya ingin maju ke Pilgubsu mendatang.
Lalu, bagaimana
jika tetap dipilih oleh rakyat tapi belum melakukan apapun dalam pencitraan.
Bukankah itu bisa juga menjadi bumerang? “Yang penting peluru kita masih ada,”
katanya lagi.
Begitulah, soal
peluru – baik di dunia politik maupun kriminal – tetap saja menentukan. Karena
itu, ketika kepastian mekanisme Pilgubsu masih menggantung, hemat peluru adalah
pilihan tokoh tadi. Dan, dia tidak sendiri. Beberapa tokoh yang telah muncul
belakangan ini pun belum banyak yang berbuat. Kalaupun ada yang terlihat,
pastikanlah bahwa peluru yang dipakai bukan peluru mereka sendiri. (*)
0 komentar:
Posting Komentar