Oleh Ramadahan Batubara
Sambal udang cuma tiga ribu perak. Sop ceker tiga
ribu perak. Sambal ikan asin dua ribu perak. Sambal teri kacang dua ribu perak.
Total sepuluh ribu perak. Menu makan sehari pun aman. Empat plastik dibawa
pulang. Senyum mengembang.
Menu di atas dipesan tetangga saya kemarin pagi
jelang siang. Tepatnya, di warung yang berada di pojok sebuah jalan bernama
Tuar, Medan Amplas. Kenapa saya letakkan menu itu di lead, jawabnya karena saya
terkejut. Ya, bukankah harga itu cukup terjangkau?
Saking terkejutnya, kemarin saya pun ikuti menu
tetangga tadi. Tentunya dengan harga yang sama. Dan, saya pun tersenyum sambil
membawa empat bungkus menu itu. Lucunya, ketika tersenyum, saya merasa senyum
itu pun sama dengan tetangga. Bagaimana tidak, pelayanan dari dua orang di
warung itu cukup memuaskan. Mereka cukup cekatan menyendokan menu yang dipesan
hingga membungkusnya dalam plastik.
Praktis, cukup lima menit semua menu siap dibawa
pulang. Hal ini sangat menolong pembeli yang mengular mengantre.
Sayangnya, ketika sampai di rumah, senyum saya
langsung hilang. Tadi saya diminta tolong oleh istri untuk membeli lontong.
Fiuh. Tapi sudahlah, yang jelas, ketika menjamurnya warung cepat saji dan aneka
ayam penyet hingga maraknya warung Padang, warung kecil itu benar-benar membuat
saya lega. Bagaimana tidak, biasanya saya terbiasa dengan menu dengan harga
yang sudah dipatok. Di warung kecil di Jalan
Tuar itu, harga benar-benar bisa dinegoisasikan.
Misalnya, ketika saya latah untuk membeli sambal udang tadi. Ketika saya
sampaikan pesanan pada penjual, dia malah balik bertanya: berapa? Tergagap,
saya jawab tiga ribu; persis dengan tetangga tadi.
Nah, angka tiga ribu membuat otak saya bekerja.
Maksud saya begini, jika memang bisa beli seharga tiga ribu, berarti bisa beli
dengan harga dua ribu atau seribu rupiah bukan? Pun, bisa beli sambal udang itu
sepuluh ribu rupiah kan? Tentu, kenyataan ini cukup menyenangkan. Pasalnya,
sebagai keluarga kecil, yang terdiri dari dua orang, kita
kan tak harus membeli sambal udang itu sampai
sepuluh ribu rupiah. Cukup disesuaikan dengan kebutuhan.
Lucunya, kehebatan warung kecil di Medan Amplas
itu makin tampak beberapa jam kemudian. Tepatnya, sehabis saya dan rekan-rekan
bermain futsal di kawasan STM Medan.
Jadi, usai main futsal -- kali ini formasi pemain
bisa dikatakan lengkap -- kami sepakat untuk makan di sebuah warung ayam penyet
di kawasan itu juga. Label warung ini cukup pas mengingat ayam penyet cenderung
berasal dari Pulau Jawa: nama warung ini adalah nama komunitas putra Jawa di
Sumatera. Nah, ketika baru duduk, kami langsung didatangi pelayan; perempuan.
Dia tersenyum ramah layaknya pelayan di mana saja. Kami pun senang sambil
memperhatikan daftar menu lengkap dengan harganya. Meski tidak semurah warung
di Jalan Tuar (hehehehehe), saya melihat harga itu masih sangat wajar. Maka, satu
persatu dari kami mulai ribut memesan.
Saat
memesan inilah terjadi sesuatu yang tak menyenangkan. Pelayanan itu
menghilangkan senyumnya. Malah, dia terlihat marah. Dia tak ramah lagi menunggu
kami memesan. Kesannya, dia ingin buru-buru kami memesan. Hal ini bagi saya
lucu. Pasalnya, kami berjumlah belasan orang, menu yang ditawarkan juga banyak,
mengapa dia tidak sabar.
Melihat itu, saya jadi batal memesan. Entahlah,
mungkin karena masih terbayang kenikmatan belanja di warung kecil tadi, saya
jadi malas memesan di ayam penyet ini. Pelayannya kurang menyenangkan. Padahal,
kami tidak menggodanya, kami hanya lama memilih. Eh, kok marah. Ya sudah, saya
saja yang marah.
Kawan-kawan tetap memilih. Saya bertahan tidak.
Parahnya, ketika pesanan datang, si pelayan tadi malah menghilangkan keramahan.
Dia letakkan pesanan begitu saja. Tanpa senyum, seakan kami ke warung itu bukan
untuk membeli. Tapi sudahlah, mungkin kami dilihatnya tak menyenangkan; meski
hal ini tak boleh dilakukan pelayan bukan?
Belum lagi kesal saya hilang, eh, si pelayan malah
buat kesalahan lagi. Minuman pesanan seorang kawan malah salah. Fiuh.
Beruntung sang kawan tetap menerima. Nah, ketika
sudah begitu, si pelayan tetap tak tersenyum! Bukankah seharusnya dia bersyukur
dengan sikap kawan saya tadi hingga dia tak harus menanggung kesalahan itu?
Tapi, sekali lagi, sudahlah. Dua ratus dua belas
ribu berpindah ke warung itu. Tak masalah. Makanan di warung itu memang sudah
ada harga standar. Tidak bisa ditawar. Tidak bisa dibeli setengah-setangah. Dan,
kalau anak kecil yang belanja, ya jumlah makanan dan harga pun tidak bisa
disesuaikan: tetap ikut porsi orang dewasa.
Begitulah, soal makanan memang tak hanya sekadar
soal rasa dan harga. Ada bahasa lain terkait hal itu, yakni kenyamanan. Dan,
mungkin hal ini yang dilupakan pelayan tadi. Namun, sudahlah .... (*)
1 komentar:
wkokokokokokokokokok....hanya bisa tertawa...
rupanya gara2 itu bang muram akhirnya cuman memesan jus sirsak saja,,,,hehehehe
Posting Komentar