Oleh Ramadhan Batubara
Buku adalah jendela dunia. Sebuah kalimat yang sudah klasik bukan? Tapi
bukan itu masalahnya, yang wajib diperbincangkan adalah bagaimana caranya
membeli sebuah buku di Kota Medan ini? Warga Medan pasti menjawab kalau
pertanyaan itu tidaklah sulit. Ya, bukankah ada Pasar Buku di kota ini?
Begitulah, pertanyaan tadi akan mendapat jawaban yang lebih lengkap lagi.
Yakni, mencari buku di Kota Medan adalah di Pasar Buku di Lapangan Merdeka.
Warga yang lebih tua akan mengatakan: Titi Gantung!
Sejarah mencatat, Pasar Buku di Lapangan Merdeka memang berasal dari Titi
Gantung. Adalah masa kepemimpinan Wali Kota Medan Abdillah yang merelokasi
pedagang buku bekas di Titi Gantung ke kawasan lapangan yang sebelumnya bernama
Lapangan Fukereido itu. Dan kini, di era Wali Kota Rahudman Harahap, Pasar Buku
direncanakan direlokasi lagi. Tempat yang dipilih adalah Lapangan PJKA di Jalan
Mandala By Pass.
Jika berbicara relokasi pertama, yakni perpindahan dari Titi Gantung ke
Lapangan Merdeka, dianggap tidak begitu masalah oleh para pedagang. Pasalnya,
dua lokasi itu memang berdekatan. Kasus ini mirip dengan perpindahan pasar buku
Shopping Center Jogjakarta pada 2005 lalu. Sebelumnya salah satu ikon
Jogjakarta itu berada di bagian belakang gedung Societet Militer atau Taman
Budaya Jogjakarta. Nah, pasar buku itu kemudian dipindahkan sederet dengan
gedung Taman Budaya itu. Jadi, perpindahannya tidak begitu tampak karena jaraknya
memang tidak begitu jauh. Dia pun menjadi kawasan terpadu: Taman
Budaya-Shopping Center-Taman Pintar.
Nah, kembali perpindahan Pasar Buku Medan ke Mandala tentunya berbeda.
Kawasan Mandala tidaklah termasuk kawasan nol kilometer Medan seperti Lapangan
Merdeka dan Titi Gantung. Tak pelak, para pedagang resah. Apalagi, Kota Medan
tidak identik dengan kebutuhan baca yang kuat. Jadi, ada keraguan kalau pasar
itu pindah dan tidak berada di tempat awal, maka keinginan warga untuk
mengunjungi kawasan baru sangat meragukan. Ujung-ujungnya, buku pun bisa
ditinggalkan.
Pemikiran ini bisa saja dianggap berlebihan. Namun, logika sederhananya,
ketika Pasar Buku tidak tampak di mata, apakah ada warga Medan yang mencari.
Belum lagi, bagi pecinta buku atau sekadar ingin tahu dengan buku, letak Pasar
Buku di Lapangan Merdeka atau Titi Gantung sangat tepat. Dia di pusat kota.
Dan, sejatinya ini telah dikenal para pelancong. Misalnya, ketika sang istri
belanja di Pajak Ikan lama untuk membeli barang tekstil, maka sang suami akan
menyingkir ke Pasar Buku. Dua tempat itu adalah berdekatan bukan? Lalu, ketika
sekeluarga bertamasya ke Lapangan Merdeka sambil menikmati jajanan di Merdeka
Walk, maka sang ayah dan ibu bisa memberikan nuansa baru pada sang anak dengan
berburu buku di Pasar Buku tadi.
Tapi sudahlah, atas nama City Cek In -- kemajuan di bidang transportasi
Medan -- Pasar Buku bisa saja harus mengalah. Seperti kata orang bijak: buku
adalah jendela dunia. Jadi, ketika orang sangat butuh melihat dunia kan dia
pasti mencari buku di mana pun tokonya berada.
Sejatinya saya berpikir (sebenarnya ini lontaran ide dari seorang kawan),
jika ingin memindahkan Pasar Buku, kenapa harus ke tempat yang tak teruji di
bidang perbukuan? Maksudnya, kenapa tidak meletakan Pasar Buku itu di sebuah
tempat yang sejatinya telah akrab dengan buku. Tempat yang dimaksud adalah
perpustakaan. Nah, perpustakaan besar di Medan ini adalah di seberang Istana
Maimun. Nah, kenapa Pasar Buku tidak dipindahkan ke kawasan itu saja. Lokasinya
bisa memakai sebagian sisi halaman Istana Maimun itu. Masalah istana akan jelek
atau kotor hingga tak menarik minat pelancong, itu kan soal penataan saja.
Bukankah selama ini ada beberapa stan atau tempat jualan bunga di sisi istana
itu?
Jadi, adakah yang ingin menyambut ide kawan tadi? (*)
Sumut Pos, Rabu 3 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar