Oleh Ramadhan
Batubara
Katak Hendak
Menjadi Lembu yang saya
maksud di sini bukanlah novel karya Nur Sutan Iskandar. Ini tentang sebuah
cerita anak yang entah siapa pengarangnya; sudah saya cari nama pengarangnya di
google, tetap saja tidak ditemukan. Akhirnya saya berpikir, bisa saja cerita
ini seperti sastra lisan kebanyakan yang tak jelas siapa pengarangnya.
Yang jelas, saya
memang terkenang dengan cerita anak ini. Bagi saya, cerita ini menarik karena
mengajarkan banyak hal. Kasarnya, kisah ini mengajarkan manusia untuk sadar
diri.
Dan, kisah ini
mengingatkan saya dengan proses Pemilukada di Jakarta. Tidak maksud untuk
menyamakan para kandidat dengan hewan, tapi ada beberapa calon yang kisahnya
mirip dengan cerita anak ini.
Dalam Katak
Hendak Menjadi Lembu dikisahkan ada seekor katak yang begitu iri dengan
lembu. Dia tidak suka melihat lembu yang terlalu dimanja manusia. Bagaimana
tidak, setiap hari si katak melihat pemilik lembu selalu memberikan makanan
rumput segar, memandikan, dan mengajaknya jalan ke padang rumput hijau nan
luas. Hingga suatu ketika, si Katak menegur sang Lembu. "Enak sekali
hidupmu. Setiap hari kau selalu mendapat perhatian dari manusia dan juga selalu
dikasih makan. Kau selalu dirawat dan diajak jalan-jalan di padang rumput
hijau. Semua itu apa karena badanmu yang besar?” kata sang Katak sinis.
Si Lembu tak
menjawab, ia terus makan dan makan. Karena si Lembu tak juga menjawab, maka
Katak emosi. “Hai… Lembu dungu! Kalau hanya karena badanmu yang besar, kau
mendapat perhatian manusia maka aku pun bisa. Nih… lihatlah!” bentak sang
Katak.
Maka, si Katak
pun menggelembungkan badannya. Bermula dari perut, kemudian leher, kaki, dan
seterusnya. Perut katak itu sedikit demi sedikit membesar dan kemudian menjadi
begitu besar. Namun setelah membesarkan perut dan leher, rupanya badannya tak
juga bisa menyamai Lembu. Si Katak sangat penasaran. Perutnya digelembungkan
lagi dan lagi. Dorrrr!!! Perut itu meletus. Isi perut berhamburan ke mana-mana.
Si katak itu pun mati dengan kondisi yang sangat mengenaskan.
Cerita yang
sederhana bukan? Tapi coba perhatikan makna yang tersirat, pasti ada sesuatu
yang akan Anda dapat. Mengapa kisah ini mengingatkan saya pada Pemilukada di
Jakarta? Entahlah, saya hanya heran, kenapa memimpin DKI adalah sebuah tujuan
yang begitu diharapkan. Saking hebatnya, ada gubernur yang rela cuti untuk ikut
pemilihan itu. Adapula wali kota yang berniat memperbaiki ibu kota negara. Ada
lagi seorang pakar, akademisi, yang ingin melayani rakyat. Dari tiga latar
belakang itu saja sejatinya sudah menggugah pikiran bukan?
Pertama yang
gubernur, bukankah Pemilukada DKI juga memilih gubernur? Nah, kenapa dia mau
jadi gubernur di provinsi lain? Kedua, wali kota. Kalau soal ini sejatinya
sudah pas, seperti dari kelas satu naik ke kelas dua. Tapi, dia juga menjadi
wali kota di provinsi lain. Sedangkan yang ketiga, bukankah lebih baik jika dia
lebih banyak membuat penelitian untuk kemajuan bangsa? Tapi sekali lagi, itu
adalah pilihan mereka masing-masing, termasuk dengan mantan ketua lembaga
tertinggi di negara ini yang juga ingin menjadi gubernur DKI.
Hasilnya, sang
gubernur dan akademisi serta ketua lembaga tertinggi tak berhasil menjadi
gubernur DKI. Perut mereka meletus. Lucunya, sang wali kota malah cenderung
berhasil. Ya, dari pemilihan cepat dia malah memimpin. Kok bisa?
Itulah yang
hingga kini menjadi pertanyaan dalam diri saya. Ya, sudah benarkah saya ambil
perbandingan Katak Hendak Menjadi Lembu dengan proses Pemilukada DKI?
Hm, tampaknya salah. Ya, meski analogi Jakarta sebagai Lembu memang sudah pas;
ibu kota Indonesia ini memang seperti Lembu dalam cerita tadi bukan? Dia begitu
dimanja oleh pemerintah pusat, segala hasil dari daerah masuk ke kantungnya.
Bukankah begitu?
Jadi soal Katak,
maaf jika saya salah. (*)
Sumut Pos, Kamis
12 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar