Oleh Ramadhan Batubara
Lalu, ibu itu menatap haru. Tidak sedih, tapi lebih mengarah pada haru yang
penuh harap.
"Cepat besar ya Nak, cepat kembali kemari," katanya.
Ibu itu menatap dengan pandangan yang syahdu. Di depannya, seorang remaja
berusia tiga belas tahun tersenyum. "Ya, saya akan kembali lagi kemari.
Itu pasti," seperti itulah jawaban anak baru gede yang berkostum bangsawan
Melayu.
Fragmen di atas, sedikit banyak adalah kisah nyata yang terjadi di Medan
beberapa hari lalu. Ya, kisah di atas adalah ketika Sultan Deli XIV, Tuanku
Mahmud Lamandjidji Perkasa Alam hadir di Medan, tepatnya di Lapangan Merdeka saat
Festival Budaya Melayu Agung. Sultan yang akrab dipanggil Jiji itu memang masih
kecil, masih berusia 13 tahun. Dia mendapat singgasananya saat berusia tujuh
tahun sesaat setelah sang ayah, Sultan Deli XIII Tuanku Tito Othman Mahmud
Padrap mangkat dalam kecelakaan pesawat yang terjadi 2005 yang lalu.
Setelah menjadi sultan, Jiji tidaklah
berada di Tanah Deli. Dia ikut sang bunda ke Makassar; tanah air sang bunda, Ir
Hj Siska Marabintang. Karena itu, untuk urusan Kesultanan Deli dengan Istana
Maimunnya, Jiji sangat mengandalkan pemangku adat kesultanan yang berada di
Medan.
Memang lumayan menarik berbicara tentang raja atau sultan yang diangkat
saat masih belia. Sejarah mencatat, kejadian serupa adalah sebuah pengulangan.
Sebut saja di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Adalah Hamengkubuwono IV (3
April 1804–6 Desember 1822) sewaktu kecil bernama BRM Ibnu Jarot, diangkat
sebagai raja pada usia 10 tahun, karenanya dalam memerintah didampingi wali
yaitu Paku Alam I hingga tahun 1820. Ada juga di Korea, tepatnya Kerajaan
Silla. Dia adalah Raja Jinheung. Dia naik tahta pada usianya yang masih muda (7
tahun) ketika yang mewarisi dan pamannya, Beopheung, wafat. Karena ia masih
terlalu muda untuk memerintah sebuah kerajaan pada saat itu, ibunya bertindak
sebagai walinya.
Masih banyak lagi catatan soal naik tahta ketika masa belia. Melihat dua
catatan di atas, Sultan Hamengkubowono IV dan Raja Jinheung, dalam memimpin
akhirnya mereka dibantu pihak lain. Hamengkubowono dibantu ‘raja’ lain yakni
Paku Alam 1 dan Jinheung dibantu sang bunda. Keduanya tidaklah berbeda dengan
Jiji bukan? Perbedaannya ketika di kesultanan atau kerajaan lain sang sultan
atau raja yang diangkat tetap berada di daerahnya, sedangkan di Deli sang
sultan malah merantau.
Tapi sudahlah, Jiji memang hidup di masa yang berbeda dengan Sultan
Hamengkubowono IV dan Raja Jinheung. Dia hidup ketika kesultanan atau kerajaan
tidak lagi memegang tampuk pemerintahan. Kini, Deli termasuk dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan termasuk dalam Provinsi Sumatera Utara serta
masuk dalam Kota Medan. Itulah sebab, ketika berada di Lapangan Merdeka, Jiji
bak tamu saja. Lihatlah, apa bedanya kehadiran Jiji dibanding Sultan
Hamengkubuwono X dari Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Iskandar Mahmud
Badaruddin dari Kesultanan Palembang Darussalam, dan lainnya. Jiji memang
didaulat memiliki posisi penting, namun dia terkesan bukan sebagai tuan rumah,
padahal acara dibuat di ‘wilayah’-nya.
Sekali lagi sudahlah, ini memang bukan zaman kerajaan. Harap maklum,
sebagai sultan, Jiji pun tidak begitu hadir di kesultanannya. Dan, dia tidak
salah.
Begitu juga dengan sang ibu yang penuh harap pada Jiji tadi. Dia juga tidak
salah. Bukankah bisa saja dia merasa Tanah Deli butuh pemimpin yang pas; yang
seperti kerajaan dulu. Ya, bisa saja dia rindu kehidupan ala kerajaan zaman
dulu meski dia sendiri tak pernah merasakan.
Kenyataan ini mengingatkan saya pada kalimat Plt Golkar Sumut, Andi Achmad
Dara. Lelaki yang akrab dipanggil Aday ini malah mengklaim rakyat sudah rindu
dengan kepemimpinan dari Partai Gokar.
Hm, benarkah? (*)
Sumut Pos, Senin 9 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar