Oleh Ramadhan batubara
Victor Abdullah (Sam Bimbo) penyanyi tenar Malaysia, berkenalan dan saling
jatuh cinta dengan Sandra mahasiswa dan penyanyi Indonesia yang tengah
mengadakan pertunjukan di Malaysia. Victor ternyata adalah Jarot sementara
Sandra adalah Salimah anak-anak pasangan Marto (Koesno Soedjarwadi) dan Ruminah
(Rina Hasyim) yang terpisah sejak kecil karena kapal Marto dam Jarot yang
mengangkut sapi dagangan mereka kandas di Malaysia.
Di atas adalah petikan sinopsi film Semalam di Malaysia dari laman wikipedia.
Semalam di Malaysia adalah film Indonesia yang dirilis pada 1975 yang
disutradarai oleh Nico Pelamonia. Film ini meraih penghargaan Festival Film
Indonesia 1976 untuk sutradara terbaik (Nico Pelamonia) dan pemeran utama
wanita terbaik (Rina Hasyim).
Terus terang, sengaja saya tampilkan petikan di atas untuk kembali
mengingatkan hubungan Indonesia dan Malaysia yang hangat; terkadang panas dan
terkadang dingin. Sebuah hubungan yang sejatinya penuh dinamika. Sebuah
hubungan yang mampu membangkitkan nasionalisme dari sisi dua negara bertetangga
ini.
Soal keakraban, sudah cukup banyak yang terjalin. Mulai dari hubungan
saling menguntungkan seperti tenaga kerja Indonesia, pertukaran pelajar, hingga
impor dan ekspor. Pun soal budaya, selain film Semalam di Malaysia, ada
film lain yang cukup dikenal di zamannya: Isabella. Film ini dirilis
1990 yang disutradarai oleh Marwan Alkatiri serta dibintangi oleh Nia
Zulkarnaen dan Amy Search. Ke bidang musik juga tidak ketinggalan, ingat
program Titian Muhibah? Atau, kolaborasi andal antara musisi Indonesia
dengan Malaysia, Oddie Agam dam Sheila Madjid yang menelurkan Antara Anyer
dan Jakarta.
Masih banyak lagi keterikatan yang indah antara Indonesia Malaysia. Ya, di
sisi lain, tentunya Anda ingat dengan 'Ganyang Malaysia' ala Soekarno dulu.
Lalu, bagaimana dengan Sipadan dan Ligitan? Tunggu dulu, masih banyak lagi.
Mari sama-sama kita sebut: Reog Ponorogo, Rasa Sayange, Tari Pendet, fiuh
capek deh kalo mo ngitung.
Dan yang teranyar, Tortor dan Gordang Sambilan.
Kenyataan inilah yang saya anggap sebagai hubungan yang hangat; tidak
dingin dan panas selalu; tarik ulur; malu-malu kucing. Mungkin itulah sebab,
jika tidak bijak bisa silap. Contohnya apa yang dilakukan mahasiswa asal
Malaysia yang sedang belajar di Medan. Gara-gara tertabrak sepeda motornya, dia
pun langsung menghina Indonesia secara umum. Langsung saja warga sekitar lokasi
tabrakan langsung emosi. Terbayang hubungan yang panas dengan Malaysia, mereka
langsung menyerang empat warga negeri jiran tadi. Beruntung, pihak kepolisian
cepat tanggap. Warga Malaysia pun selamat.
Tentunya hal ini mengingatkan pelatih karate Indonesia yang mendapat sial
di Malaysia. Adalah Donald Luther Colopita, Ketua Tim Wasit Indonesia untuk
Kejuaraan Karate Asia, dikeroyok empat polisi Malaysia pada Minggu 26 Agustus
2007 lalu, di sela-sela kejuaraan bertaraf internasional di Negeri Sembilan,
Malaysia. Ingat, dikeroyok polisi! Bandingakan dengan polisi yang menyelamatkan
empat mahasiswa Malaysia yang telah menghina Indonesia.
Di hari yang sama, kecepatan tanggap untuk melindungi Malaysia juga
dilakukan Indonesia sebagai negara. Buktinya, dua pendemo klaim Tortor dan
Gordang Sambilan di Kedubes Malaysia ditangkap kepolisian. Alasannya, ada
protes dari pihak Malaysia terkait demo tersebut. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pun langsung menginstruksikan pihak berwajib untuk menindaklanjuti
protes tersebut.
Lucunya, nota diplomatik terkait Tortor dan Gordang Sambilan yang
dikirimkan pemerintah Indonesia sehari sebelumnya belum juga ada balasan.
Mengapa Malaysia tidak setanggap Indonesia dalam menyikapi suara tetangga?
Apakah karena baru 'semalam di Malaysia' nota diplomatik itu tidak layak
diproses oleh pihak Malaysia? Siapa yang bisa jawab? (*)
Sumut Pos, Kamis 28 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar