Lantun ini yang berisikan tentang pandangan hidup seseorang

Minggu, 01 Juli 2012

Rindu Pameran Pembangunan ala Orde Baru

Oleh Ramadhan Batubara

Tiba-tiba kenangan masih kecil muncul. Beramai-ramai ke kota naik truk. Berdiri di bak terbukanya. Berteriak. Anak kebun turun kota, yeah! Dan, semua itu seakan nyata terulang saat saya mengunjungi sebuah pasar modern yang berada di Jalan Gatot Subroto, Medan.
Begitulah, kemarin, atas nama keinginan untuk menjadi suami yang baik, saya pun menemani istri belanja. Dan, dia memilih pusat perbelanjaan yang saya bilang tadi. Ya sudah ikuti saja.
Terus terang, saya memang jarang ke pusat perbelanjaan itu, selain jauh, di tempat itu terlalu banyak orang. Saya memang tidak suka ramai-ramai, kalau terjebak di keramaian biasanya saya suntuk. Dan, kalau sudah suntuk, apalagi yang bisa dianggap indah bukan?
Nah, lucunya kemarin, ketika pusat perbelanjaan yang memiliki megaswalayan waralaba dari Prancis itu full orang, saya malah tak suntuk. Seperti saya tulis di awal tadi, kenangan masa kecil mengemuka indah. Pikiran saya tak bisa dihambat untuk berselancar ke masa lalu. Saya senyum-senyum sendiri sambil memperhatikan barang yang dipajang di megaswalayan tersebut. Ya, persis dengan stan-stan yang ada pameran pembangunan pada era kepemimpinan Jenderal Besar Soeharto.
Tapi sebelum bicara lebih banyak, harus saya tuliskan dulu latar belakang kenapa saya punya kenangan semacam itu. Saya adalah cakeb alias cah kebun. Hehehe. Jadi, sebelum kelas dua SD, saya ikut orangtua yang tugas di perkebunan di dekat Kuala Simpang; sekarang masuk dalam kabupaten Aceh Tamiang. Setelah kelas dua, saya baru ikut 'ngekos' bersama abang dan kakak saya di ibu kota Aceh Timur: Langsa.
Nah, setahun sekali di ibu kota kabupaten itu diadakan pameran pembangunan. Kebiasaan di perusahaan tempat orangtua saya bekerja setiap ada pameran pembangunan, pegawai dan keluarganya diberikan kesempatan untuk mengunjungi pameran tersebut. Ada fasilitas kantor yang disediakan yakni truk. Dengan truk para pegawai dan keluarga diangkut layaknya hewan ternak. Bayangkan berapa truk yang berkonvoi? Dan semuanya senang. Sama sekali tidak merasa risih atau malu.
Biasanya saya tak pernah mau ikut dalam rombongan itu. Maklumlah, orangtua saya adm perkebunan yang tentunya memiliki kendaraan sendiri dan kendaraan dinas. Apalagi, rumah kami ada di Langsa: dihuni abang dan kakak saya yang sekolah di kota tersebut. Jadi, kenapa repot-repot ke Langsa toh setiap akhir pekan pun kami ke Langsa.
Hingga suatu ketika, bapak saya 'memaksa' saya untuk ikut rombongan. Sendirian. Bapak dan ibu saya tidak ikut. Fiuh. Sempat marah juga saya ketika itu. Tapi sudahlah, namanya anak yang baik, saya ikuti permintaan mereka. Saya pun bergabung dengan rombongan, berangkat ke Langsa naik truk yang biasanya mengangkut kelapa sawit.
Beruntung truk itu ternyata sudah dibersihkan, malah sangat bersih hingga saya bisa duduk santai di lantai gerobaknya. Menariknya lagi, bersama rombongan saya mendapat kenangan yang indah. Yah, pergi ke Langsa dengan cara seperti itu ternyata cukup mengasyikan.
Saya dititipkan oleh orangtua pada seorang mandor. Jadi, selama perjalanan pulang pergi hingga menikmati pameran tersebut, saya dalam pengawasannya.
Dan, kemarin kenangan itu kembali mengemuka. Di megaswalayan itu, saya lihat anak-anak kecil bermain kereta barang. Mereka berkejaran, berlomba, dan seakan lupa berada di tempat perbelanjaan. Gaya mereka pun layaknya kami saat di pameran pembangunan. Ya, sok memperhatikan barang yang dipajang, padahal sama sekali tak membeli. Hingga, ketika sangat ingin pada barang tertentu, salah satu dari mereka berlari menuju orangtuanya. Merengek bahkan hampir menangis sambil menunjuk barang yang diinginkan. Benar-benar mirip anak mandor yang jadi pengawas saya.
Tapi sudahlah, kejadian hingga kenangan itu telah membuat saya berpikir. Ya, bukankah pameran pembangunan yang sempat saya nikmati saat kecil dulu adalah sebuah program yang menarik? Di tempat itu dipamerkan segala hasil produksi di seputaran kabupaten; seperti even untuk mempublikasikan hasil karya. Tidak hanya barang, stan-stan dinas dari pemerintah kabupaten pun seakan pamer dengan kegiatan mereka: foto-foto dan kliping koran dipajang menjadi tontonan yang menggoda. Pemandangan di pameran itu tidak melulu dipenuhi banderol harga. Tidak ada keharusan membeli seperti perasaan saya di megaswalayan ini. Ah...
Terus terang saya rindu pameran pembangunan itu. Saya ingin merasakan lagi semangat membangun itu. Kenapa saat ini terasa hilang -- yang terpajang adalah uang dan untuk meraihnya saya memang harus punya uang.
Saya tahu, beberapa pekan lalu ada pameran di Kota Medan: Pekan Flori dan Flora tingkat nasional. Sayang saya tidak bisa hadir. Entahlah, ada perasaan enggan. Atau mungkin karena saya tidak melihat ada pengunjung yang naik truk? Entahlah...(*)

Sumut Pos, Minggu 1 Juli 2012

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates