Oleh Ramadhan Batubara
Tiba-tiba kenangan masih kecil muncul. Beramai-ramai ke kota naik truk.
Berdiri di bak terbukanya. Berteriak. Anak kebun turun kota, yeah! Dan, semua
itu seakan nyata terulang saat saya mengunjungi sebuah pasar modern yang berada
di Jalan Gatot Subroto, Medan.
Begitulah, kemarin, atas nama keinginan untuk menjadi suami yang baik, saya
pun menemani istri belanja. Dan, dia memilih pusat perbelanjaan yang saya
bilang tadi. Ya sudah ikuti saja.
Terus terang, saya memang jarang ke pusat perbelanjaan itu, selain jauh, di
tempat itu terlalu banyak orang. Saya memang tidak suka ramai-ramai, kalau
terjebak di keramaian biasanya saya suntuk. Dan, kalau sudah suntuk, apalagi
yang bisa dianggap indah bukan?
Nah, lucunya kemarin, ketika pusat perbelanjaan yang memiliki megaswalayan
waralaba dari Prancis itu full orang, saya malah tak suntuk. Seperti saya tulis
di awal tadi, kenangan masa kecil mengemuka indah. Pikiran saya tak bisa
dihambat untuk berselancar ke masa lalu. Saya senyum-senyum sendiri sambil
memperhatikan barang yang dipajang di megaswalayan tersebut. Ya, persis dengan
stan-stan yang ada pameran pembangunan pada era kepemimpinan Jenderal Besar
Soeharto.
Tapi sebelum bicara lebih banyak, harus saya tuliskan dulu latar belakang
kenapa saya punya kenangan semacam itu. Saya adalah cakeb alias cah kebun.
Hehehe. Jadi, sebelum kelas dua SD, saya ikut orangtua yang tugas di perkebunan
di dekat Kuala Simpang; sekarang masuk dalam kabupaten Aceh Tamiang. Setelah
kelas dua, saya baru ikut 'ngekos' bersama abang dan kakak saya di ibu kota
Aceh Timur: Langsa.
Nah, setahun sekali di ibu kota kabupaten itu diadakan pameran pembangunan.
Kebiasaan di perusahaan tempat orangtua saya bekerja setiap ada pameran
pembangunan, pegawai dan keluarganya diberikan kesempatan untuk mengunjungi
pameran tersebut. Ada fasilitas kantor yang disediakan yakni truk. Dengan truk
para pegawai dan keluarga diangkut layaknya hewan ternak. Bayangkan berapa truk
yang berkonvoi? Dan semuanya senang. Sama sekali tidak merasa risih atau malu.
Biasanya saya tak pernah mau ikut dalam rombongan itu. Maklumlah, orangtua
saya adm perkebunan yang tentunya memiliki kendaraan sendiri dan kendaraan
dinas. Apalagi, rumah kami ada di Langsa: dihuni abang dan kakak saya yang
sekolah di kota tersebut. Jadi, kenapa repot-repot ke Langsa toh setiap akhir
pekan pun kami ke Langsa.
Hingga suatu ketika, bapak saya 'memaksa' saya untuk ikut rombongan.
Sendirian. Bapak dan ibu saya tidak ikut. Fiuh. Sempat marah juga saya ketika
itu. Tapi sudahlah, namanya anak yang baik, saya ikuti permintaan mereka. Saya
pun bergabung dengan rombongan, berangkat ke Langsa naik truk yang biasanya
mengangkut kelapa sawit.
Beruntung truk itu ternyata sudah dibersihkan, malah sangat bersih hingga
saya bisa duduk santai di lantai gerobaknya. Menariknya lagi, bersama rombongan
saya mendapat kenangan yang indah. Yah, pergi ke Langsa dengan cara seperti itu
ternyata cukup mengasyikan.
Saya dititipkan oleh orangtua pada seorang mandor. Jadi, selama perjalanan
pulang pergi hingga menikmati pameran tersebut, saya dalam pengawasannya.
Dan, kemarin kenangan itu kembali mengemuka. Di megaswalayan itu, saya
lihat anak-anak kecil bermain kereta barang. Mereka berkejaran, berlomba, dan
seakan lupa berada di tempat perbelanjaan. Gaya mereka pun layaknya kami saat
di pameran pembangunan. Ya, sok memperhatikan barang yang dipajang, padahal
sama sekali tak membeli. Hingga, ketika sangat ingin pada barang tertentu,
salah satu dari mereka berlari menuju orangtuanya. Merengek bahkan hampir
menangis sambil menunjuk barang yang diinginkan. Benar-benar mirip anak mandor
yang jadi pengawas saya.
Tapi sudahlah, kejadian hingga
kenangan itu telah membuat saya berpikir. Ya, bukankah pameran pembangunan yang
sempat saya nikmati saat kecil dulu adalah sebuah program yang menarik? Di
tempat itu dipamerkan segala hasil produksi di seputaran kabupaten; seperti
even untuk mempublikasikan hasil karya. Tidak hanya barang, stan-stan dinas
dari pemerintah kabupaten pun seakan pamer dengan kegiatan mereka: foto-foto
dan kliping koran dipajang menjadi tontonan yang menggoda. Pemandangan di
pameran itu tidak melulu dipenuhi banderol harga. Tidak ada keharusan membeli
seperti perasaan saya di megaswalayan ini. Ah...
Terus terang saya rindu pameran pembangunan itu. Saya ingin merasakan lagi
semangat membangun itu. Kenapa saat ini terasa hilang -- yang terpajang adalah
uang dan untuk meraihnya saya memang harus punya uang.
Saya tahu, beberapa pekan lalu ada pameran di Kota Medan: Pekan Flori dan
Flora tingkat nasional. Sayang saya tidak bisa hadir. Entahlah, ada perasaan
enggan. Atau mungkin karena saya tidak melihat ada pengunjung yang naik truk?
Entahlah...(*)
Sumut Pos, Minggu 1 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar