Oleh Ramadhan Batubara
Konon Nusantara dianggap kawasan paling menggiurkan di dunia karena
memiliki dua pula yang kaya raya. Pulau yang dimaksud adalah Swarnadwipa dan
Jawadwipa. Pulau yang pertama adalah Sumatera dan pulau kedua adalah Jawa. Dua
pulau ini dianggap menggoda hingga menjadi tujuan bangsa asing.
Soal Sumatera, dalam berbagai prasasti, disebut dengan nama Sansekerta:
Swarnadwipa (pulau emas) atau Swarnabhumi (tanah emas). Nama-nama ini sudah
dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi; Sumatera juga dikenal sebagai
Pulau Andalas. Penyebutan kata 'emas' untuk Sumatera bukan tanpa sebab.
Berbagai sumber mengatakan Sumatera memang mengandung banyak emas dan barang
tambang lainnya.
Sedangkan Jawa, dahulu dikenal dengan nama Jawadwipa. Jawadwipa berasal
dari bahasa Sansekerta yang berarti pulau padi. Menurut banyak pakar, pulau
tersubur di dunia adalah Pulau Jawa. Hal ini masuk akal, karena Pulau Jawa
mempunyai konsentrasi gunung berapi yang sangat tinggi. Banyak gunung berapi
aktif di Pulau Jawa. Gunung inilah yang menyebabkan tanah Pulau Jawa sangat
subur dengan kandungan nutrisi yang di perlukan oleh tanaman. Nah, menyebutkan
'padi' bagi Jawa jelas tidak sembarangan. Pertanian padi banyak terdapat di
Pulau Jawa karena memiliki kesuburan yang luar biasa. Pulau Jawa dikatakan
sebagai lumbung beras Indonesia.
Sayangnya, ketika Nusantara menjelma menjadi Indonesia, sang pulau emas
seakan tertinggal. Pulau padi terus bersolek, meninggalkan kemilau emas yang
sebelumnya lebih diperhitungkan. Senandung Jawadwipa pun begitu merdu
terdengar.
Perbedaan dua pulau itu begitu mencolok dan itu adalah sesuatu yang nyata.
Dari segala sisi, jika ingin dihitung-hitung, Sumatera memang masih tertinggal
dengan Jawa bukan?
Nah, perbedaan kedua pulau yang terkenal sejak zaman dahulu ini tidak
mungkin dibiarkan saja bukan? Mungkin itulah sebab pemerintah seakan ingin
menggabungkan dua pulau ini. Maka, program pun dirancang. Selat Sunda yang
memisahkan dua pulau ini -- yang selama ini sering dijadikan kambing hitam
karena komiditi tak bisa menyeberang -- akan ditutupi dengan sebuah jembatan.
Tidak itu saja, perbedaan sarana jalan raya antara Jawa dan Sumatera pun akan
diseragamkan. Maka, rencana pembangunan jalan tol dari Aceh hingga Lampung
digagas. Kereta api ‘yang tidak begitu dikenal’ di Sumatera pun akan
dipopulerkan lagi dengan membangun rel sepanjang 2.168 kilometer dari Aceh
hingga ke Lampung dengan biaya sekitar Rp70 triliun.
Jika mau dihitung, sebelumnya juga sudah ada rencana sejenis untuk
membangkitkan lagi Swarnadwipa. Pertama, proyek Koridor Trans Sumatera yang
ingin menyambungkan jalan dari Bakeheuni (Lampung)-Aceh dan berbiaya Rp150
triliun. Ada juga mega proyek trans Sumatera High Garde Highway (HGH)
yang mengkoneksi jalan tol Sumut-Sumbar- Riau. Dan biayanya, Rp60 triliun. Setelah
itu, ada juga HGH Trans Sumatera yang
terdiri atas Koridor Bakauheni–Banda Aceh sepanjang Lintas Timur Sumatera
(2.014 km) yang disertai jalan penghubung (feeder) sepanjang 720 km;
menghubungkan 8 pusat kegiatan nasional, 6 pelabuhan udara, dan 7 pelabuhan
utama. Proyek ini menghabiskan Rp99,88 triliun. Menariknya, hingga kini jalan
di Aek Latong atau di pesisir selatan
Sumatera Barat pun belum beres; bandingkan dengan jalan mulus ala Pantai Utara
Jawa.
Tapi begitulah, namanya rencana patut didukung apalagi berkaitan dengan
kebutuhan orang banyak. Soal senandung Swarnadwipa akan sedih atau bahagia, itu
belum bisa ditentukan. Pun, senandung Swarnadwipa akan serupa dengan Jawadwipa,
semuanya masih belum bisa dipastikan. Ya, segala megaproyek itu membutuhkan
waktu tak sedikit. Untuk kereta api saja baru bisa beroperasi pada 2030
mendatang. Jadi, mari berharap sebelum emas di pulau ini habis terkuras. (*)
Sumut Pos, Selasa 3 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar