Oleh Ramadhan Batubara
Apa kabar radio Indonesia? Hm, baik-baik saja. Masih banyak kok stasiun dan
masih banyak pendengarnya. Sekali di udara tetap di udara bukan?
Ya, radio memang belum mati. Setidaknya, meski sempat diragukan bisa
bertahan ketika muncul televisi, radio tetap saja eksis. Begitulah, saya makin
sadar radio tetap memiliki peminat karena Sabtu lalu seharian saya hidup
bersama radio.
Ceritanya, kemarin, saya dan istri diundang dalam resepsi pernikahan di
berbagai tempat. Nah, karena lokasi pesta yang berjauhan, mengandalkan Lena
(sepeda motor saya) adalah tidak mungkin. Jadi, kami menumpanglah dengan
kendaraan orangtua; kebetulan orangtua dan kami diundang di pernikahan yang
sama. Maka, berangkatlah kami sekira pukul 12 siang.
Nah, begitu masuk dalam kendaraan, terdengar suara dari radio. Cukup
menyenangkan, setidaknya lagu dan ocehan penyiar mampu mengusir jenuh akibat
Medan yang macet.
Lucunya resepsi pernikahan pertama yang kami datangi malah di stasiun radio
plat merah. Pasangan yang berbahagia itu mengadakan pesta di auditorium yang
ada di lingkungan kantor radio tersebut. Jadi, sudah pantas kan kalau saya
lantunkan soal radio?
Tapi sudahlah, poinnya soal radio tetaplah sama dari masa ke masa.
Kehadiran televisi, tape recorder, vcd, dvd, hingga internet tak juga
menggoyahkannya. Radio tetap didengar meski tidak semuanya di rumah-rumah.
Mereka yang memiliki mobil kini jadi konsumennya. Jalanan yang macet menjadi
faktor pendukung keberhasilan radio bukan? Ayolah, ketika di mobil, nyamankah
orang menonton televisi, membaca koran, atau berselancar di dunia maya?
Sekali lagi sudahlah, radio tetap radio; sekali di udara tetap di udara.
Saya malah melihat kecenderungan lain dari perjalanan satu pesta ke pesta
lainnya dengan alunan lagu dari radio, saya merasa ada yang menarik dari warga
Medan. Maksud saya begini, dari sekian pesta yang kami datangi, nyaris tujuh
puluh lima persen tamu yang datang memakai kostum batik. Nah, jika balik ke
beberapa tahu silam, tentunya hal itu masih asing bukan?
Sembari memperhatikan corak batik yang dipakai para tamu, pikiran saya
melayang jauh ke Pulau Jawa. Ya, bukankah batik berasal dari sana. Dan, hingga
kini, setahu saya belum ada batik yang diproduksi di Medan. Saya berpikir,
bagaimana batik bisa masuk Medan dan bagaimana pula hingga warga Medan bisa
nyaman memakainya. Tentu pikiran saya ini tidak berusaha untuk membuat benteng
antara Medan dan Jawa, tapi lebih mengarah pada kenyamanan berpakaian. Dulu,
bukankah batik hanya dipakai 'orangtua' saat ke kondangan?
Kemarin yang saya lihat berbatik malah 'anak muda'. Nah, ini dia
masalahnya. Begini, seperti apa batik bisa mengubah sudut pandang warga Medan.
Jika dirunut ke belakang, saya ingat ada anjuran memakai batik pada hari
Kamis dan Jumat bagi PNS? Yang harus diingat, batik yang disarankan tidaklah
harus seragam. Nah, bayangkan berapa baju batik yang harus tersedia untuk para
PNS di Medan.
Hm, mungkinkah ini salah satu
sebabnya? Setidaknya, posisi PNS masih begitu diminati bukan? Jadi, kenapa
tidak makai batik seperti PNS di saat Kamis dan Jumat? Hehehehe... Jika begitu,
bayangkan lagi berapa pasokan batik untuk mereka yang ingin berlagak PNS.
Bayangkan juga pasokan untuk warga Medan yang akhirnya benar-benar jatuh cinta
pada batik. Ya, batik bisa cocok dengan celana jeans; meski pakai jeans, batik
tetap berkesan formil kan? Nah, kalau begitu, gaya gaul formil batik dan
berjeans cocok untuk kondangan bukan?
Begitulah batik telah hidup dan berkembang di Medan. Namanya Medan tetaplah
Medan. Seperti radio; sekali di udara tetap di udara, Medan tetaplah Medan
meski ada 'serangan' batik yang sejatinya dari Pulau Jawa. Mau bukti? Datanglah
ke kondangan atau resepsi pernikahan, lihat warga Medan memakai batik: tetap
Medan bukan? Sama sekali tidak mengubah warga Medan menjadi Jawa.
Akhirnya, ini bukan soal perbedaan atau membuat perselisihan antara Medan
dan Jawa: warga Medan malah sangat banyak yang bersuku Jawa. Ini tentang eksis.
Seperti radio, dia tetap di udara, Medan masih tetap Medan meski banyak
perubahan yang ada. Dan, semua itu sama sekali tidak salah. (*)
Sumut Pos, Minggu 8 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar