Catatan dan lantun saya sudah beberapa waktu tak termuat di blog ini. Namun, jika ingin melihat beberapa tulisan yang tidak termasukan ke blog ini, bisa buka hariansumutpos.com klik 'catatan' dan 'lantun'. Khusus lantun ada di halaman sastra. Selain itu, tentunya ada di harian sumut pos edisi cetak setiap terbitan senin hingga sabtu (kecuali Jumat) untuk rubrik catatan dan setiap hari minggu untuk rubrik lantun.
Maafkan lagi jika hal ini merepotkan. Saya berusaha untuk memasukan tulisan-tulisan berikutnya, mulai Minggu 26 Agustus 2012 mendatang. Dan, saya berusaha melakukannya setiap hari (maklumlah, kerja sendiri, heheheheh).
Katak Hendak
Menjadi Lembu yang saya
maksud di sini bukanlah novel karya Nur Sutan Iskandar. Ini tentang sebuah
cerita anak yang entah siapa pengarangnya; sudah saya cari nama pengarangnya di
google, tetap saja tidak ditemukan. Akhirnya saya berpikir, bisa saja cerita
ini seperti sastra lisan kebanyakan yang tak jelas siapa pengarangnya.
Yang jelas, saya
memang terkenang dengan cerita anak ini. Bagi saya, cerita ini menarik karena
mengajarkan banyak hal. Kasarnya, kisah ini mengajarkan manusia untuk sadar
diri.
Dan, kisah ini
mengingatkan saya dengan proses Pemilukada di Jakarta. Tidak maksud untuk
menyamakan para kandidat dengan hewan, tapi ada beberapa calon yang kisahnya
mirip dengan cerita anak ini.
Dalam Katak
Hendak Menjadi Lembu dikisahkan ada seekor katak yang begitu iri dengan
lembu. Dia tidak suka melihat lembu yang terlalu dimanja manusia. Bagaimana
tidak, setiap hari si katak melihat pemilik lembu selalu memberikan makanan
rumput segar, memandikan, dan mengajaknya jalan ke padang rumput hijau nan
luas. Hingga suatu ketika, si Katak menegur sang Lembu. "Enak sekali
hidupmu. Setiap hari kau selalu mendapat perhatian dari manusia dan juga selalu
dikasih makan. Kau selalu dirawat dan diajak jalan-jalan di padang rumput
hijau. Semua itu apa karena badanmu yang besar?” kata sang Katak sinis.
Si Lembu tak
menjawab, ia terus makan dan makan. Karena si Lembu tak juga menjawab, maka
Katak emosi. “Hai… Lembu dungu! Kalau hanya karena badanmu yang besar, kau
mendapat perhatian manusia maka aku pun bisa. Nih… lihatlah!” bentak sang
Katak.
Maka, si Katak
pun menggelembungkan badannya. Bermula dari perut, kemudian leher, kaki, dan
seterusnya. Perut katak itu sedikit demi sedikit membesar dan kemudian menjadi
begitu besar. Namun setelah membesarkan perut dan leher, rupanya badannya tak
juga bisa menyamai Lembu. Si Katak sangat penasaran. Perutnya digelembungkan
lagi dan lagi. Dorrrr!!! Perut itu meletus. Isi perut berhamburan ke mana-mana.
Si katak itu pun mati dengan kondisi yang sangat mengenaskan.
Cerita yang
sederhana bukan? Tapi coba perhatikan makna yang tersirat, pasti ada sesuatu
yang akan Anda dapat. Mengapa kisah ini mengingatkan saya pada Pemilukada di
Jakarta? Entahlah, saya hanya heran, kenapa memimpin DKI adalah sebuah tujuan
yang begitu diharapkan. Saking hebatnya, ada gubernur yang rela cuti untuk ikut
pemilihan itu. Adapula wali kota yang berniat memperbaiki ibu kota negara. Ada
lagi seorang pakar, akademisi, yang ingin melayani rakyat. Dari tiga latar
belakang itu saja sejatinya sudah menggugah pikiran bukan?
Pertama yang
gubernur, bukankah Pemilukada DKI juga memilih gubernur? Nah, kenapa dia mau
jadi gubernur di provinsi lain? Kedua, wali kota. Kalau soal ini sejatinya
sudah pas, seperti dari kelas satu naik ke kelas dua. Tapi, dia juga menjadi
wali kota di provinsi lain. Sedangkan yang ketiga, bukankah lebih baik jika dia
lebih banyak membuat penelitian untuk kemajuan bangsa? Tapi sekali lagi, itu
adalah pilihan mereka masing-masing, termasuk dengan mantan ketua lembaga
tertinggi di negara ini yang juga ingin menjadi gubernur DKI.
Hasilnya, sang
gubernur dan akademisi serta ketua lembaga tertinggi tak berhasil menjadi
gubernur DKI. Perut mereka meletus. Lucunya, sang wali kota malah cenderung
berhasil. Ya, dari pemilihan cepat dia malah memimpin. Kok bisa?
Itulah yang
hingga kini menjadi pertanyaan dalam diri saya. Ya, sudah benarkah saya ambil
perbandingan Katak Hendak Menjadi Lembu dengan proses Pemilukada DKI?
Hm, tampaknya salah. Ya, meski analogi Jakarta sebagai Lembu memang sudah pas;
ibu kota Indonesia ini memang seperti Lembu dalam cerita tadi bukan? Dia begitu
dimanja oleh pemerintah pusat, segala hasil dari daerah masuk ke kantungnya.
Bukankah begitu?
Masih ingat dengan film Mendadak Dangdut? Semoga. Pasalnya, film
tersebut cukup menggugah para pecinta seni di Indonesia. Bagaimana tidak,
proses pembuatan film hanya tujuh hari. Hasilnya, film itu pun sempat booming.
Mendadak Dangdut
adalah film ini sangat sukses pada zamannya. Berhasil menyedot lebih dari dua
juta penonton saat masa rilisnya, juga disambut meriah oleh para kritikus dalam
negeri. Film yang diproduksi Sinemart ini diputar mulai 10 Agustus 2006.
Soundtrack film ini berjudul Jablay dinyanyikan sendiri oleh Titi Kamal
sempat menjadi hits di tangga lagu Indonesia. Tidak itu saja, film ini mendapat
8 nominasi Festival Film Indonesia 2006, memenangkan satu. Walaupun termasuk
salah satu pemeran utama, Kinaryosih memenangkan piala FFI untuk kategori
Aktris Pendukung Terbaik. Nominasi lainnya adalah sebagai Film Terbaik, Aktor
Terbaik (Dwi Sasono), Aktris Terbaik (Titi Kamal), Aktor Pendukung Terbaik
(Sakurta Ginting), Skenario Asli Terbaik (Monty Tiwa), Tata Suara Terbaik(Adityawan Susanto dan Trisno), dan Tata
Musik Terbaik (Andi Rianto).
Menariknya film ini bagi saya adalah soal 'mendadaknya' itu. Bayangkan
saja, film itu hanya digarap dalam tujuh hari. Lalu, ceritanya juga soal 'mendadak'.
Ya, film ini berkisah tentang petualangan penyanyi alternative rock bernama
Petris (Titi Kamal) yang karena suatu kejadian, tiba-tiba berganti karier
menjadi penyanyi dangdut.
Dengan kata lain, 'mendadak' benar-benar membuat orang terperangah. Hal ini
tentunya mirip dengan meninggalnya Mantan Ketua DPRD Binjai dari Partai Golkar
Ir H Haris Harto. Masuk Rumah Sakit Chichio Binjai sekitar pukul 19.00 WIB,
sekitar pukul 03.00 WIB Haris Harto pun dirujuk ke Rumah Sakit Columbia Asia di
Jalan Listrik, Medan. Dua jam kemudian dia pun meninggal dunia. Itulah sebab,
spekulasi kabar merebak. Ada yang bercerita kalau Haris Harto over dosis,
ada pula yang mengatakan dia depresi. 'Mendadaknya' kabar ini jelas merugikan
pihak keluarga. Mereka pun langsung memberikan pernyataan: Haris Harto
meninggal karena sakit. Dia komplikasi. Gulanya tinggi hingga mencapai 400 hb.
Dia sudah sakit selama seminggu. Hm, pihak keluarga pun harus memberikan
pernyataan yang mendadak kan?
Dari dua kisah mendadak di atas jelas memiliki perbedaan. Yang pertama
adalah dunia fiksi yang berhasil di dalam dunia nyata. Artinya, sesuatu memang
diset agar bisa berhasil. Kenyataannya, kisah itu memang berhasil. Yang kedua
dunia nyata yang seolah difiksikan; dengan berbagai isu yang berkembang tadi.
Artinya, kematian Haris Harto -- yang dianggap mendadak -- diolah sedemikian
rupa oleh pengumbar isu agar menjadi kabar hangat. Apalagi, Haris Harto adalah
sosok yang tersangkut kasus korupsi dan merupakan mantan ketua DPRD Binjai.
Jadi, mengandalkan gosip; semakin digosok makin sip.
Nah, terlepas dari itu, kabar memang harus disebarluaskan. Kematian Haris
Harto wajib disebarluaskan, termasuk soal isu itu bukan?
Soal mendadak, ada pula yang mendadak jadi juara dalam Rida Award tadi
malam. Adalah fotografer Sumut Pos yang menjadi juara satu; mengalahkan
fotografer dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, dan Riau.
Kenapa mendadak? Jawabnya, Triadi Wibowo (fotografer yang dimaksud) baru
pertama kali ini ikut lomba foto media di grup Riau Pos ini. Begitu pun
karyanya yang menang, tentang seorang jaksa yang mendadak kena jotos dalam
sebuah demonstrasi di depan Gedung Kejatisu pada 14 Juli 2011 lalu. Dan, sang
Triadi pun mendadak menjepret; semuanya tanpa rekayasa.
Begitulah, hasil dari ‘mendadak’ memang tidak bisa diprediksi. Bagi film Mendadak
Dangdut dan Triadibisa diartikan prestasi. Bagi Haris Harto dan
sang jaksa malah sebaliknya.
Bagi saya, semuanya memang mendadak hari ini. Fiuh! (*)
Lalu, ibu itu menatap haru. Tidak sedih, tapi lebih mengarah pada haru yang
penuh harap.
"Cepat besar ya Nak, cepat kembali kemari," katanya.
Ibu itu menatap dengan pandangan yang syahdu. Di depannya, seorang remaja
berusia tiga belas tahun tersenyum. "Ya, saya akan kembali lagi kemari.
Itu pasti," seperti itulah jawaban anak baru gede yang berkostum bangsawan
Melayu.
Fragmen di atas, sedikit banyak adalah kisah nyata yang terjadi di Medan
beberapa hari lalu. Ya, kisah di atas adalah ketika Sultan Deli XIV, Tuanku
Mahmud Lamandjidji Perkasa Alam hadir di Medan, tepatnya di Lapangan Merdeka saat
Festival Budaya Melayu Agung. Sultan yang akrab dipanggil Jiji itu memang masih
kecil, masih berusia 13 tahun. Dia mendapat singgasananya saat berusia tujuh
tahun sesaat setelah sang ayah, Sultan Deli XIII Tuanku Tito Othman Mahmud
Padrap mangkat dalam kecelakaan pesawat yang terjadi 2005 yang lalu.
Setelah menjadi sultan, Jiji tidaklah
berada di Tanah Deli. Dia ikut sang bunda ke Makassar; tanah air sang bunda, Ir
Hj Siska Marabintang. Karena itu, untuk urusan Kesultanan Deli dengan Istana
Maimunnya, Jiji sangat mengandalkan pemangku adat kesultanan yang berada di
Medan.
Memang lumayan menarik berbicara tentang raja atau sultan yang diangkat
saat masih belia. Sejarah mencatat, kejadian serupa adalah sebuah pengulangan.
Sebut saja di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Adalah Hamengkubuwono IV (3
April 1804–6 Desember 1822) sewaktu kecil bernama BRM Ibnu Jarot, diangkat
sebagai raja pada usia 10 tahun, karenanya dalam memerintah didampingi wali
yaitu Paku Alam I hingga tahun 1820. Ada juga di Korea, tepatnya Kerajaan
Silla. Dia adalah Raja Jinheung. Dia naik tahta pada usianya yang masih muda (7
tahun) ketika yang mewarisi dan pamannya, Beopheung, wafat. Karena ia masih
terlalu muda untuk memerintah sebuah kerajaan pada saat itu, ibunya bertindak
sebagai walinya.
Masih banyak lagi catatan soal naik tahta ketika masa belia. Melihat dua
catatan di atas, Sultan Hamengkubowono IV dan Raja Jinheung, dalam memimpin
akhirnya mereka dibantu pihak lain. Hamengkubowono dibantu ‘raja’ lain yakni
Paku Alam 1 dan Jinheung dibantu sang bunda. Keduanya tidaklah berbeda dengan
Jiji bukan? Perbedaannya ketika di kesultanan atau kerajaan lain sang sultan
atau raja yang diangkat tetap berada di daerahnya, sedangkan di Deli sang
sultan malah merantau.
Tapi sudahlah, Jiji memang hidup di masa yang berbeda dengan Sultan
Hamengkubowono IV dan Raja Jinheung. Dia hidup ketika kesultanan atau kerajaan
tidak lagi memegang tampuk pemerintahan. Kini, Deli termasuk dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan termasuk dalam Provinsi Sumatera Utara serta
masuk dalam Kota Medan. Itulah sebab, ketika berada di Lapangan Merdeka, Jiji
bak tamu saja. Lihatlah, apa bedanya kehadiran Jiji dibanding Sultan
Hamengkubuwono X dari Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Iskandar Mahmud
Badaruddin dari Kesultanan Palembang Darussalam, dan lainnya. Jiji memang
didaulat memiliki posisi penting, namun dia terkesan bukan sebagai tuan rumah,
padahal acara dibuat di ‘wilayah’-nya.
Sekali lagi sudahlah, ini memang bukan zaman kerajaan. Harap maklum,
sebagai sultan, Jiji pun tidak begitu hadir di kesultanannya. Dan, dia tidak
salah.
Begitu juga dengan sang ibu yang penuh harap pada Jiji tadi. Dia juga tidak
salah. Bukankah bisa saja dia merasa Tanah Deli butuh pemimpin yang pas; yang
seperti kerajaan dulu. Ya, bisa saja dia rindu kehidupan ala kerajaan zaman
dulu meski dia sendiri tak pernah merasakan.
Kenyataan ini mengingatkan saya pada kalimat Plt Golkar Sumut, Andi Achmad
Dara. Lelaki yang akrab dipanggil Aday ini malah mengklaim rakyat sudah rindu
dengan kepemimpinandari Partai Gokar.
Hm, benarkah? (*)
Apa kabar radio Indonesia? Hm, baik-baik saja. Masih banyak kok stasiun dan
masih banyak pendengarnya. Sekali di udara tetap di udara bukan?
Ya, radio memang belum mati. Setidaknya, meski sempat diragukan bisa
bertahan ketika muncul televisi, radio tetap saja eksis. Begitulah, saya makin
sadar radio tetap memiliki peminat karena Sabtu lalu seharian saya hidup
bersama radio.
Ceritanya, kemarin, saya dan istri diundang dalam resepsi pernikahan di
berbagai tempat. Nah, karena lokasi pesta yang berjauhan, mengandalkan Lena
(sepeda motor saya) adalah tidak mungkin. Jadi, kami menumpanglah dengan
kendaraan orangtua; kebetulan orangtua dan kami diundang di pernikahan yang
sama. Maka, berangkatlah kami sekira pukul 12 siang.
Nah, begitu masuk dalam kendaraan, terdengar suara dari radio. Cukup
menyenangkan, setidaknya lagu dan ocehan penyiar mampu mengusir jenuh akibat
Medan yang macet.
Lucunya resepsi pernikahan pertama yang kami datangi malah di stasiun radio
plat merah. Pasangan yang berbahagia itu mengadakan pesta di auditorium yang
ada di lingkungan kantor radio tersebut. Jadi, sudah pantas kan kalau saya
lantunkan soal radio?
Tapi sudahlah, poinnya soal radio tetaplah sama dari masa ke masa.
Kehadiran televisi, tape recorder, vcd, dvd, hingga internet tak juga
menggoyahkannya. Radio tetap didengar meski tidak semuanya di rumah-rumah.
Mereka yang memiliki mobil kini jadi konsumennya. Jalanan yang macet menjadi
faktor pendukung keberhasilan radio bukan? Ayolah, ketika di mobil, nyamankah
orang menonton televisi, membaca koran, atau berselancar di dunia maya?
Sekali lagi sudahlah, radio tetap radio; sekali di udara tetap di udara.
Saya malah melihat kecenderungan lain dari perjalanan satu pesta ke pesta
lainnya dengan alunan lagu dari radio, saya merasa ada yang menarik dari warga
Medan. Maksud saya begini, dari sekian pesta yang kami datangi, nyaris tujuh
puluh lima persen tamu yang datang memakai kostum batik. Nah, jika balik ke
beberapa tahu silam, tentunya hal itu masih asing bukan?
Sembari memperhatikan corak batik yang dipakai para tamu, pikiran saya
melayang jauh ke Pulau Jawa. Ya, bukankah batik berasal dari sana. Dan, hingga
kini, setahu saya belum ada batik yang diproduksi di Medan. Saya berpikir,
bagaimana batik bisa masuk Medan dan bagaimana pula hingga warga Medan bisa
nyaman memakainya. Tentu pikiran saya ini tidak berusaha untuk membuat benteng
antara Medan dan Jawa, tapi lebih mengarah pada kenyamanan berpakaian. Dulu,
bukankah batik hanya dipakai 'orangtua' saat ke kondangan?
Kemarin yang saya lihat berbatik malah 'anak muda'. Nah, ini dia
masalahnya. Begini, seperti apa batik bisa mengubah sudut pandang warga Medan.
Jika dirunut ke belakang, saya ingat ada anjuran memakai batik pada hari
Kamis dan Jumat bagi PNS? Yang harus diingat, batik yang disarankan tidaklah
harus seragam. Nah, bayangkan berapa baju batik yang harus tersedia untuk para
PNS di Medan.
Hm, mungkinkah ini salah satu
sebabnya? Setidaknya, posisi PNS masih begitu diminati bukan? Jadi, kenapa
tidak makai batik seperti PNS di saat Kamis dan Jumat? Hehehehe... Jika begitu,
bayangkan lagi berapa pasokan batik untuk mereka yang ingin berlagak PNS.
Bayangkan juga pasokan untuk warga Medan yang akhirnya benar-benar jatuh cinta
pada batik. Ya, batik bisa cocok dengan celana jeans; meski pakai jeans, batik
tetap berkesan formil kan? Nah, kalau begitu, gaya gaul formil batik dan
berjeans cocok untuk kondangan bukan?
Begitulah batik telah hidup dan berkembang di Medan. Namanya Medan tetaplah
Medan. Seperti radio; sekali di udara tetap di udara, Medan tetaplah Medan
meski ada 'serangan' batik yang sejatinya dari Pulau Jawa. Mau bukti? Datanglah
ke kondangan atau resepsi pernikahan, lihat warga Medan memakai batik: tetap
Medan bukan? Sama sekali tidak mengubah warga Medan menjadi Jawa.
Akhirnya, ini bukan soal perbedaan atau membuat perselisihan antara Medan
dan Jawa: warga Medan malah sangat banyak yang bersuku Jawa. Ini tentang eksis.
Seperti radio, dia tetap di udara, Medan masih tetap Medan meski banyak
perubahan yang ada. Dan, semua itu sama sekali tidak salah. (*)
Uang senilai tujuh puluh miliar lebih yang katanya hasil korupsi Syamsul
Arifin dan kawan-kawan dikembalikan ke Kabupaten Langkat. Sebelumnya dana itu
disita oleh KPK. Nah, setelah ada putusan terhadap kasus Syamsul Arifin, maka
KPK pun mengembalikan uang tersebut ke Pemkab Langkat. Wajar, pasalnya dana
yang dikorupsi memang bersumber dari kabupaten tersebut.
Sayangnya, pengembalian dana itu ternyata tidak selesai begitu saja. Muncul
pertanyaan sederhana, setelah dikembalikan dana itu mau digunakan untuk apa?
Maka, ada yang menjawab, gunakan saja untuk kepentingan rakyat; bangun
fasilitas dan berikan pelayanan maksimal. Tentu saja jawaban itu sangat bijak.
Makin bijak karena yang mengungkapkan ide itu adalah seorang anggota dewan di
kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Naggroe Aceh Darussalam tersebut.
Sang anggota dewan pun tegas menggarisbawahi agar dana tersebut jangan
digunakan untuk belanja pegawai. Maksudnya, bayar gaji PNS dan sebagainya.
Setidaknya, bagi sang anggota dewan, kebutuhan publik lebih urgen. Ya, seorang
kawan juga anggap begitu, setidaknya ketika uang korupsi tersebut belum
dikembalikan, PNS tetap gajian bukan?
Menariknya, kawan lain sempat berkata kalau PNS dan honorer di Kabupaten
Langkat memang menunggu pengembalian dana tersebut. Katanya, abdi negara di
sana terancam tak gajian.
Di sisi lain, dari Jakarta malah ada suara agar dana tersebut ditahan dulu.
Artinya, jangan digunakan. Pasalnya, Syamsul masih memiliki peluang untuk bebas
murni dalam PK. Nah, jika bebas murni, maka uang itu akan kembali ke Syamsul.
Bah, entah mana yang benar, yang jelas kasus ini bagi saya mirip dengan
harta rampasan perang. Seperti sama-sama kita paham, harta rampasan perang
adalah segala barang, benda berharga dan perabotan yang diambil secara paksa dari
pemiliknya yang sah melalui penjarahan selama atau setelah peperangan. Biasa
rampasan perang juga diakukan berdasarkan keinginan para prajurit yang sedang
terlibat langsung dalam peperangan dan bukan oleh kesepakatan dari kedua belah
pihak.
Pertanyaannya, apakah dana yang dikembalikan ke Pemkab Langkat merupakan
harta rampasan perang dari Syamsul Arifin? Sekilas tampaknya begitu, setidak
pihak pemerintah daerah dan anggota dewan daerah bak prajurit di dapur umum
yang menyambut prajurit lainnya yang baru pulang perang dengan harta rampasan
yang banyak. Dan, prajurit yang melakukan perampasan adalah KPK.
Padahal, harta itu bukan milik Syamsul Arifin. Dari berita yang beredar
hingga kini dan putusan pengadilan, harta itu adalah milik Pemkab Langkat. Jika
begitu Syamsul adalah prajurit di medan perang yang melakukan perampasan
sekehendak hati dan terjadi secara cepat. Jadi, Pemkab Langkat adalah sosok
yang 'kalah' perang.
Lucunya, suara dari Jakarta malah mengaburkan itu lagi. Ya, seperti yang
saya katakan tadi, Pemkab Langkat diminta untuk menunda penggunaan dana
tersebut karena Syamsul memiliki peluang bebas murni. Dengan kalimat itu,
bukankah Syamsul bak sosok yang kalah perang; dana yang dikembalikan ke Pemkab
Langkat adalah rampasan perang bukan? Akhirnya, negara atau yang lebih tepatnya
KPK adalah prajurit yang melakukan perampasan.
Tapi sudahlah, yang jelas, dana sebanyak puluhan miliar itu kini bisa
menjadi sangat menggiurkan bukan? Ayolah, setidaknya dana itu sempat dianggap
hilang dan banyak kasus korupsi yang dananya entah berada di mana.
Kelebihan Syamsul adalah mengembalikan
dana itu. Dan, kelebihan Syamsul lagi adalah membuat khalayak bingung untuk
menggunakan uang itu. Seorang kawan malah mengatakan Syamsul memang pintar.
Bayangkan saja, dia tidak hanya membuat pemerintah repot dengan uang yang
dikorupsinya, tapi dia juga mampu membuat pemerintah repot dengan uang yang
dikembalikannya. (*)
Buku adalah jendela dunia. Sebuah kalimat yang sudah klasik bukan? Tapi
bukan itu masalahnya, yang wajib diperbincangkan adalah bagaimana caranya
membeli sebuah buku di Kota Medan ini? Warga Medan pasti menjawab kalau
pertanyaan itu tidaklah sulit. Ya, bukankah ada Pasar Buku di kota ini?
Begitulah, pertanyaan tadi akan mendapat jawaban yang lebih lengkap lagi.
Yakni, mencari buku di Kota Medan adalah di Pasar Buku di Lapangan Merdeka.
Warga yang lebih tua akan mengatakan: Titi Gantung!
Sejarah mencatat, Pasar Buku di Lapangan Merdeka memang berasal dari Titi
Gantung. Adalah masa kepemimpinan Wali Kota Medan Abdillah yang merelokasi
pedagang buku bekas di Titi Gantung ke kawasan lapangan yang sebelumnya bernama
Lapangan Fukereido itu. Dan kini, di era Wali Kota Rahudman Harahap, Pasar Buku
direncanakan direlokasi lagi. Tempat yang dipilih adalah Lapangan PJKA di Jalan
Mandala By Pass.
Jika berbicara relokasi pertama, yakni perpindahan dari Titi Gantung ke
Lapangan Merdeka, dianggap tidak begitu masalah oleh para pedagang. Pasalnya,
dua lokasi itu memang berdekatan. Kasus ini mirip dengan perpindahan pasar buku
Shopping Center Jogjakarta pada 2005 lalu. Sebelumnya salah satu ikon
Jogjakarta itu berada di bagian belakang gedung Societet Militer atau Taman
Budaya Jogjakarta. Nah, pasar buku itu kemudian dipindahkan sederet dengan
gedung Taman Budaya itu. Jadi, perpindahannya tidak begitu tampak karena jaraknya
memang tidak begitu jauh. Dia pun menjadi kawasan terpadu: Taman
Budaya-Shopping Center-Taman Pintar.
Nah, kembali perpindahan Pasar Buku Medan ke Mandala tentunya berbeda.
Kawasan Mandala tidaklah termasuk kawasan nol kilometer Medan seperti Lapangan
Merdeka dan Titi Gantung. Tak pelak, para pedagang resah. Apalagi, Kota Medan
tidak identik dengan kebutuhan baca yang kuat. Jadi, ada keraguan kalau pasar
itu pindah dan tidak berada di tempat awal, maka keinginan warga untuk
mengunjungi kawasan baru sangat meragukan. Ujung-ujungnya, buku pun bisa
ditinggalkan.
Pemikiran ini bisa saja dianggap berlebihan. Namun, logika sederhananya,
ketika Pasar Buku tidak tampak di mata, apakah ada warga Medan yang mencari.
Belum lagi, bagi pecinta buku atau sekadar ingin tahu dengan buku, letak Pasar
Buku di Lapangan Merdeka atau Titi Gantung sangat tepat. Dia di pusat kota.
Dan, sejatinya ini telah dikenal para pelancong. Misalnya, ketika sang istri
belanja di Pajak Ikan lama untuk membeli barang tekstil, maka sang suami akan
menyingkir ke Pasar Buku. Dua tempat itu adalah berdekatan bukan? Lalu, ketika
sekeluarga bertamasya ke Lapangan Merdeka sambil menikmati jajanan di Merdeka
Walk, maka sang ayah dan ibu bisa memberikan nuansa baru pada sang anak dengan
berburu buku di Pasar Buku tadi.
Tapi sudahlah, atas nama City Cek In -- kemajuan di bidang transportasi
Medan -- Pasar Buku bisa saja harus mengalah. Seperti kata orang bijak: buku
adalah jendela dunia. Jadi, ketika orang sangat butuh melihat dunia kan dia
pasti mencari buku di mana pun tokonya berada.
Sejatinya saya berpikir (sebenarnya ini lontaran ide dari seorang kawan),
jika ingin memindahkan Pasar Buku, kenapa harus ke tempat yang tak teruji di
bidang perbukuan? Maksudnya, kenapa tidak meletakan Pasar Buku itu di sebuah
tempat yang sejatinya telah akrab dengan buku. Tempat yang dimaksud adalah
perpustakaan. Nah, perpustakaan besar di Medan ini adalah di seberang Istana
Maimun. Nah, kenapa Pasar Buku tidak dipindahkan ke kawasan itu saja. Lokasinya
bisa memakai sebagian sisi halaman Istana Maimun itu. Masalah istana akan jelek
atau kotor hingga tak menarik minat pelancong, itu kan soal penataan saja.
Bukankah selama ini ada beberapa stan atau tempat jualan bunga di sisi istana
itu?
Jadi, adakah yang ingin menyambut ide kawan tadi? (*)
Konon Nusantara dianggap kawasan paling menggiurkan di dunia karena
memiliki dua pula yang kaya raya. Pulau yang dimaksud adalah Swarnadwipa dan
Jawadwipa. Pulau yang pertama adalah Sumatera dan pulau kedua adalah Jawa. Dua
pulau ini dianggap menggoda hingga menjadi tujuan bangsa asing.
Soal Sumatera, dalam berbagai prasasti, disebut dengan nama Sansekerta:
Swarnadwipa (pulau emas) atau Swarnabhumi (tanah emas). Nama-nama ini sudah
dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi; Sumatera juga dikenal sebagai
Pulau Andalas. Penyebutan kata 'emas' untuk Sumatera bukan tanpa sebab.
Berbagai sumber mengatakan Sumatera memang mengandung banyak emas dan barang
tambang lainnya.
Sedangkan Jawa, dahulu dikenal dengan nama Jawadwipa. Jawadwipa berasal
dari bahasa Sansekerta yang berarti pulau padi. Menurut banyak pakar, pulau
tersubur di dunia adalah Pulau Jawa. Hal ini masuk akal, karena Pulau Jawa
mempunyai konsentrasi gunung berapi yang sangat tinggi. Banyak gunung berapi
aktif di Pulau Jawa. Gunung inilah yang menyebabkan tanah Pulau Jawa sangat
subur dengan kandungan nutrisi yang di perlukan oleh tanaman. Nah, menyebutkan
'padi' bagi Jawa jelas tidak sembarangan. Pertanian padi banyak terdapat di
Pulau Jawa karena memiliki kesuburan yang luar biasa. Pulau Jawa dikatakan
sebagai lumbung beras Indonesia.
Sayangnya, ketika Nusantara menjelma menjadi Indonesia, sang pulau emas
seakan tertinggal. Pulau padi terus bersolek, meninggalkan kemilau emas yang
sebelumnya lebih diperhitungkan. Senandung Jawadwipa pun begitu merdu
terdengar.
Perbedaan dua pulau itu begitu mencolok dan itu adalah sesuatu yang nyata.
Dari segala sisi, jika ingin dihitung-hitung, Sumatera memang masih tertinggal
dengan Jawa bukan?
Nah, perbedaan kedua pulau yang terkenal sejak zaman dahulu ini tidak
mungkin dibiarkan saja bukan? Mungkin itulah sebab pemerintah seakan ingin
menggabungkan dua pulau ini. Maka, program pun dirancang. Selat Sunda yang
memisahkan dua pulau ini -- yang selama ini sering dijadikan kambing hitam
karena komiditi tak bisa menyeberang -- akan ditutupi dengan sebuah jembatan.
Tidak itu saja, perbedaan sarana jalan raya antara Jawa dan Sumatera pun akan
diseragamkan. Maka, rencana pembangunan jalan tol dari Aceh hingga Lampung
digagas. Kereta api ‘yang tidak begitu dikenal’ di Sumatera pun akan
dipopulerkan lagi dengan membangun rel sepanjang 2.168 kilometer dari Aceh
hingga ke Lampung dengan biaya sekitar Rp70 triliun.
Jika mau dihitung, sebelumnya juga sudah ada rencana sejenis untuk
membangkitkan lagi Swarnadwipa. Pertama, proyek Koridor Trans Sumatera yang
ingin menyambungkan jalan dari Bakeheuni (Lampung)-Aceh dan berbiaya Rp150
triliun. Ada juga mega proyek trans Sumatera High Garde Highway (HGH)
yang mengkoneksi jalan tol Sumut-Sumbar- Riau. Dan biayanya, Rp60 triliun. Setelah
itu, ada juga HGH Trans Sumaterayang
terdiri atas Koridor Bakauheni–Banda Aceh sepanjang Lintas Timur Sumatera
(2.014 km) yang disertai jalan penghubung (feeder) sepanjang 720 km;
menghubungkan 8 pusat kegiatan nasional, 6 pelabuhan udara, dan 7 pelabuhan
utama. Proyek ini menghabiskan Rp99,88 triliun. Menariknya, hingga kini jalan
di Aek Latongatau di pesisir selatan
Sumatera Barat pun belum beres; bandingkan dengan jalan mulus ala Pantai Utara
Jawa.
Tapi begitulah, namanya rencana patut didukung apalagi berkaitan dengan
kebutuhan orang banyak. Soal senandung Swarnadwipa akan sedih atau bahagia, itu
belum bisa ditentukan. Pun, senandung Swarnadwipa akan serupa dengan Jawadwipa,
semuanya masih belum bisa dipastikan. Ya, segala megaproyek itu membutuhkan
waktu tak sedikit. Untuk kereta api saja baru bisa beroperasi pada 2030
mendatang. Jadi, mari berharap sebelum emas di pulau ini habis terkuras. (*)
Biasanya hari jadi atau Hari Ulang Tahun (HUT) penuh harapan dan target
untuk satu tahun ke depan. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang ulang
tahun kemarin malah mendapat 'tekanan'. Bagaimana tidak, sang pemimpin,
Presiden Republik Indonesia, SUsilo Bambang Yudhoyono (SBY), malah memberikan
pesan yang cukup serius.
Ya, pada acara yang dipusatkan di Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua,
Depok, Jawa Barat itu SBY meminta anggota Polri untuk tidak korupsi.
"Tuntaskan reformasi birokrasi internal Polri. Cegah dan berantas semua
bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme di jajaran Polri," begitu kata SBY.
Bayangkan bagaimana menerapkan kalimat SBY tadi. Ayolah, pada amanat
tersebut ada kata 'semua bentuk korupsi' harus diberantas bukan? Inilah yang
agak repot, pasalnya korupsi yang dimaksud oleh SBY tidak sekadar penyelewengan
uang. Korupsi waktu juga termasuk bukan? Lalu, bagaimana dengan korupsi
kebijakan?
Memang, soal korupsi uang yang melibatkan anggota Polri belum ada yang
begitu menghebohkan selain pengaduan mantan istri Brigadir Jenderal Y ke Komisi
Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu. Namun, dari kalimat SBY tadi seakan
mengatakan kalau memang ada korupsi di tubuh Polri bukan?
Tapi sudahlah, berbicara soal korupsi tidak akan habis-habisnya. Ini masih
soal penyelewengan dana, bagaimana dengan penyelewengan waktu atau kebijakan
atau yang lainnya? Fiuh, pasti akan lebih komplek lagi. Kembali ke HUT Polri,
peringatan itu jelas-jelas tidak mirip acara ulang tahun anak balita. Tidak
ramai warna. Tidak pakai badut. Dan, tidak penuh ceria. Makin menyesakkan dada
adalah peringatan HUT di Papua. Anggota Polri yang berada di sana tidak
memperingati hari jadi mereka pada 1 Juli. Mereka memperingatinya pada 2 Juli.
Lho, apakah Polri di Papua dan provinsi lain itu beda?
Ternyata tidak sesederhana itu. Polisi di Papua harus legowo mengundurkan
peringatan HUT ke-66 Bhayangkara karena bertepatan dengan dengan HUT Organisasi
Papua Merdeka (OPM)."Kebijakan
Kapolri peringatan di Papua dilaksanakan 2 Juli," begitu pernyataan dari
Kadiv Humas Polri, Irjen Saud Usman Nasution.
Setelah memberikan pernyataan itu pada media, Saud menambahkan seluruh
personel Polri di Papua saat ini fokus melaksanakan pengamanan guna menghindari
gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat menyusul peringatan hari jadi
OPM tersebut. Bendera Bintang Kejora, simbolnya OPM, pun dijadikan barang haram
untuk dikibarkan.
Hasilnya, Bintang Kejora tetap berkibar di Papua, kemarin. Tidak itu saja,
peristiwa penembakan yang diduga kelompok OPM terhadap seorang kepala desa di
wilayah perbatasan Papua dan Papua Nugini pun terjadi. Kepala Desa Saweotami,
Wembi, Johanes Yanafrom (30) tewas tertembak sekitar pukul 09.15 WIT. Jika
begitu, bukankah lebih baik peringatan hari jadi tetap dilaksanakan pada 1 Juli
bukan?
Maksud saya begini, atas nama keamanan HUT di Papua ditunda. Nah, setelah
ditunda, ternyata tetap saja kecolongan. Jadi, kenapa harus ditunda jika
ternyata kecolongan juga? Begitulah pikiran sederhana saya. Ya, persis ketika
SBY mengatakan 'cegah dan berantas semua bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme
di jajaran Polri'. Pikiran sederhana saya mengatakan, pasti ada sesuatu yang
menyebabkan SBY berkata demikian bukan? Ya, adalah sangat lucu ketika seorang
presiden sembarangan bicara. Pastinya, dia telah memikirkan sesuatu sebelum
berucap. Dan, latar belakang pemikirannya tentunya ada sebab. Nah, sebabnya
apa? Sudah ada korupsi di tubuh Polri atau sudah ada gejala?
Tapi sudahlah, setidaknya apa yang
diungkapkan oleh SBY adalah sebuah pesan baik agar Polri semakin baik.
Bagaimanapun di pundak Polrilah keamanan negeri ini. Ya, sekali lagi selamat
HUT ke-66 Bhayangkara! (*)
Tiba-tiba kenangan masih kecil muncul. Beramai-ramai ke kota naik truk.
Berdiri di bak terbukanya. Berteriak. Anak kebun turun kota, yeah! Dan, semua
itu seakan nyata terulang saat saya mengunjungi sebuah pasar modern yang berada
di Jalan Gatot Subroto, Medan.
Begitulah, kemarin, atas nama keinginan untuk menjadi suami yang baik, saya
pun menemani istri belanja. Dan, dia memilih pusat perbelanjaan yang saya
bilang tadi. Ya sudah ikuti saja.
Terus terang, saya memang jarang ke pusat perbelanjaan itu, selain jauh, di
tempat itu terlalu banyak orang. Saya memang tidak suka ramai-ramai, kalau
terjebak di keramaian biasanya saya suntuk. Dan, kalau sudah suntuk, apalagi
yang bisa dianggap indah bukan?
Nah, lucunya kemarin, ketika pusat perbelanjaan yang memiliki megaswalayan
waralaba dari Prancis itu full orang, saya malah tak suntuk. Seperti saya tulis
di awal tadi, kenangan masa kecil mengemuka indah. Pikiran saya tak bisa
dihambat untuk berselancar ke masa lalu. Saya senyum-senyum sendiri sambil
memperhatikan barang yang dipajang di megaswalayan tersebut. Ya, persis dengan
stan-stan yang ada pameran pembangunan pada era kepemimpinan Jenderal Besar
Soeharto.
Tapi sebelum bicara lebih banyak, harus saya tuliskan dulu latar belakang
kenapa saya punya kenangan semacam itu. Saya adalah cakeb alias cah kebun.
Hehehe. Jadi, sebelum kelas dua SD, saya ikut orangtua yang tugas di perkebunan
di dekat Kuala Simpang; sekarang masuk dalam kabupaten Aceh Tamiang. Setelah
kelas dua, saya baru ikut 'ngekos' bersama abang dan kakak saya di ibu kota
Aceh Timur: Langsa.
Nah, setahun sekali di ibu kota kabupaten itu diadakan pameran pembangunan.
Kebiasaan di perusahaan tempat orangtua saya bekerja setiap ada pameran
pembangunan, pegawai dan keluarganya diberikan kesempatan untuk mengunjungi
pameran tersebut. Ada fasilitas kantor yang disediakan yakni truk. Dengan truk
para pegawai dan keluarga diangkut layaknya hewan ternak. Bayangkan berapa truk
yang berkonvoi? Dan semuanya senang. Sama sekali tidak merasa risih atau malu.
Biasanya saya tak pernah mau ikut dalam rombongan itu. Maklumlah, orangtua
saya adm perkebunan yang tentunya memiliki kendaraan sendiri dan kendaraan
dinas. Apalagi, rumah kami ada di Langsa: dihuni abang dan kakak saya yang
sekolah di kota tersebut. Jadi, kenapa repot-repot ke Langsa toh setiap akhir
pekan pun kami ke Langsa.
Hingga suatu ketika, bapak saya 'memaksa' saya untuk ikut rombongan.
Sendirian. Bapak dan ibu saya tidak ikut. Fiuh. Sempat marah juga saya ketika
itu. Tapi sudahlah, namanya anak yang baik, saya ikuti permintaan mereka. Saya
pun bergabung dengan rombongan, berangkat ke Langsa naik truk yang biasanya
mengangkut kelapa sawit.
Beruntung truk itu ternyata sudah dibersihkan, malah sangat bersih hingga
saya bisa duduk santai di lantai gerobaknya. Menariknya lagi, bersama rombongan
saya mendapat kenangan yang indah. Yah, pergi ke Langsa dengan cara seperti itu
ternyata cukup mengasyikan.
Saya dititipkan oleh orangtua pada seorang mandor. Jadi, selama perjalanan
pulang pergi hingga menikmati pameran tersebut, saya dalam pengawasannya.
Dan, kemarin kenangan itu kembali mengemuka. Di megaswalayan itu, saya
lihat anak-anak kecil bermain kereta barang. Mereka berkejaran, berlomba, dan
seakan lupa berada di tempat perbelanjaan. Gaya mereka pun layaknya kami saat
di pameran pembangunan. Ya, sok memperhatikan barang yang dipajang, padahal
sama sekali tak membeli. Hingga, ketika sangat ingin pada barang tertentu,
salah satu dari mereka berlari menuju orangtuanya. Merengek bahkan hampir
menangis sambil menunjuk barang yang diinginkan. Benar-benar mirip anak mandor
yang jadi pengawas saya.
Tapi sudahlah, kejadian hingga
kenangan itu telah membuat saya berpikir. Ya, bukankah pameran pembangunan yang
sempat saya nikmati saat kecil dulu adalah sebuah program yang menarik? Di
tempat itu dipamerkan segala hasil produksi di seputaran kabupaten; seperti
even untuk mempublikasikan hasil karya. Tidak hanya barang, stan-stan dinas
dari pemerintah kabupaten pun seakan pamer dengan kegiatan mereka: foto-foto
dan kliping koran dipajang menjadi tontonan yang menggoda. Pemandangan di
pameran itu tidak melulu dipenuhi banderol harga. Tidak ada keharusan membeli
seperti perasaan saya di megaswalayan ini. Ah...
Terus terang saya rindu pameran pembangunan itu. Saya ingin merasakan lagi
semangat membangun itu. Kenapa saat ini terasa hilang -- yang terpajang adalah
uang dan untuk meraihnya saya memang harus punya uang.
Saya tahu, beberapa pekan lalu ada pameran di Kota Medan: Pekan Flori dan
Flora tingkat nasional. Sayang saya tidak bisa hadir. Entahlah, ada perasaan
enggan. Atau mungkin karena saya tidak melihat ada pengunjung yang naik truk?
Entahlah...(*)
Minibus itu tak bisa dikontrol. Di tikungan yang sempit, dia harus
menghindari sebuah truk. Dia menabrak gundukan tanah. Dia terbang, menabrak
pembatas jalan dan lalu terjun mengarah air Danau Toba yang biru.
Tidak bisa dibilang beruntung, namun pohon-pohon telah menghambat lajunya,
dia tidak mencapai air. Tapi, delapan dari dua belas manusia yang berada di
dalamnya langsung tewas, sementara empat lainnya harus dirawat. Subuh, Kamis
(28/6), sebuah catatan kelam terukir lagi. Di sana, di jalan berliku di kawasan
Danau Toba.
Dari kasus itu patut saya mencatat ada beberapa hal penting. Pertama,
kecelakaan akibat kondisi jalan yang tidak memadai. Kedua, hilangnya nyawa
manusia. Ketiga, penggunaan plat hitam untuk kendaraan umum. Keempat, human
error. Dan, kelima, Danau toba.
Soal kondisi jalan yang tidak memadai juga terbagi beberapa bagian.
Pertama, jalan sempit. Kedua, perbaikan jalan yang tak tuntas hingga
mengakibatkan gundukan tanah. Dan ketiga, pembatas jalan. Tentang jalan sempit
tampaknya tak perlu panjang dibahas. Sejak dulu kala, jalan berkelok yang
menghubungkan Pematangsiantar dan Parapat itu memang seperti itu. Sejarah
mencatat tidak ada perkembangan jalan yang signifikan. Jalan (dari sisi lebar)
tersebut seakan tak berubah sejak pertama kali dibuka oleh Belanda. Untuk
memperlebar jalan hingga mempersedikit tikungan memang bukan kerja gampang
mengingat medan yang berbukit tersebut. Maka, jalan yang sempit tidak bisa
disalahkan.
Lalu, tentang gundukan tanah. Nah, ini yang patut diperhatikan. Bagaimana tidak,
kok bisa Dinas Pekerjaan Umum pemerintah daerah setempat membiarkan ada
gundukan tanah di jalan yang sempit itu? Apalagi gundukan itu akibat pekerjaan
mereka dalam usaha membenahi jalan. Nah, mengapa tidak dibersihkan? Apakah
tidak terpikir kalau gundukan tanah itu bisa menyulitkan pengguna jalan?
Kalau soal pembatas jalan, tampaknya persis dengan jalan yang sempit tadi.
Ya, keduanya cenderung pasif. Masalah jalan sempit dan pembatas jalan yang tak
kuat menahan laju minibus, tentunya soal lain. Mungkin bisa disalahkan, ya,
kenapa pembatas jalan itu tidak kuat, apakah bahannya tidak tepat? Jika dilihat
dari foto, pembatas jalan itu terbuat dari beton. Hm, sayang, dia tidak begitu
tinggi. Tapi, seandainya dia tinggi, minibus tentunya bisa menembusnya bukan?
Apalah arti sebuah tembok dibanding laju minibus yang tak terkontrol akibat
gundukan tanah?
Bagian kedua yang saya catat adalah soal kehilangan nyawa. Pada kecelakaan
tersebut yang tewas bisa dikatakan cukup banyak. Kmatian delapan orang itu pun
cukup tragis. Saya tidak bisa membayangkan perasaan mereka ketika mengalami
benturan pertama. Lalu, ketika mereka sadar kalau minibus yang mereka tumpangi
terjun ke jurang di Kawasan Danau Toba. Dan, seperti apa korban selamat melihat
keluarga mereka terhimpit minibus yang telah menjadi bangkai di subuh yang
gelap dan udara dingin yang menyergap. Saya tak sanggup mencatat lebih banyak
soal itu. Maaf.
Bagian ketika yang saya catat adalah plat hitam. Setahu saya, yang namanya
angkutan umum, haruslah plat kuning. Nah, minibus milik Taksi Kita Bersama yang
naas itu jelas-jelas berplat hitam? Tentu pertanyaannya adalah, kok
bisa? Jawabnya, ya, bisa saja. Bukan rahasia lagi kalau banyak ‘taksi gelap’
dan itu sudah sangat sering dilihat berseliweran di jalan-jalan. Bahkan, mereka
bebas mengangut penumpang layaknya mobil berplat kuning. Menariknya, mereka
tetap aman tanpa diberangus. Ada apa? Pasti ada apa-apanya kan?
Hal-hal ini seakan memaklumi sesuatu yang berhubungan dengan humam error
– bagian penting lainnya yang saya catat juga. Maksudnya, ketika sebuah
peraturan saja bisa dilanggar, maka sebuah kesalahan manusi kan bisa dimaafkan.
Maka, sopir yang ngantuk menjadi kambing hitam. Saya sepakat jika sopir yang
ikut tewas itu, mungkin tidak dalam kondisi prima, tapi bukankah itu memang
pekerjaannya. Ya, melihat rute Taksi Kita Bersama, bukankah jalan itu sudah
biasa dia lalui. Tentunya dia tahu di mana titik-titik rawan. Dan, tentunya
ketika mendekat ke titik rawan dia akan lebih awas. Intinya, apakah dia ingin
tewas?
Lalu, kenapa saya harus mencatatkan begian penting lainnya yakni Danau
Toba? Jawabnya, kecelakaan itu makin penting karena terjadi di Danau Toba.
Bayangkan kecelakaan itu terjadi di pedalaman Dairi atau Pakpak Bharat, adakah
akan seheboh ini? Bisa saja heboh karena ini menyangkut nyawa, tapi coba
perhatikan kalimat ini: Ternyata jalan menuju ke Danau Toba tidak aman, padahal
Danau Toba kan tujuan wisata yang terkenal. Hm, bagaimana, sudah melihat
perbedaannya? (*)
Victor Abdullah (Sam Bimbo) penyanyi tenar Malaysia, berkenalan dan saling
jatuh cinta dengan Sandra mahasiswa dan penyanyi Indonesia yang tengah
mengadakan pertunjukan di Malaysia. Victor ternyata adalah Jarot sementara
Sandra adalah Salimah anak-anak pasangan Marto (Koesno Soedjarwadi) dan Ruminah
(Rina Hasyim) yang terpisah sejak kecil karena kapal Marto dam Jarot yang
mengangkut sapi dagangan mereka kandas di Malaysia.
Di atas adalah petikan sinopsi film Semalam di Malaysia dari laman wikipedia.
Semalam di Malaysia adalah film Indonesia yang dirilis pada 1975 yang
disutradarai oleh Nico Pelamonia. Film ini meraih penghargaan Festival Film
Indonesia 1976 untuk sutradara terbaik (Nico Pelamonia) dan pemeran utama
wanita terbaik (Rina Hasyim).
Terus terang, sengaja saya tampilkan petikan di atas untuk kembali
mengingatkan hubungan Indonesia dan Malaysia yang hangat; terkadang panas dan
terkadang dingin. Sebuah hubungan yang sejatinya penuh dinamika. Sebuah
hubungan yang mampu membangkitkan nasionalisme dari sisi dua negara bertetangga
ini.
Soal keakraban, sudah cukup banyak yang terjalin. Mulai dari hubungan
saling menguntungkan seperti tenaga kerja Indonesia, pertukaran pelajar, hingga
impor dan ekspor. Pun soal budaya, selain film Semalam di Malaysia, ada
film lain yang cukup dikenal di zamannya: Isabella. Film ini dirilis
1990 yang disutradarai oleh Marwan Alkatiri serta dibintangi oleh Nia
Zulkarnaen dan Amy Search. Ke bidang musik juga tidak ketinggalan, ingat
program Titian Muhibah? Atau, kolaborasi andal antara musisi Indonesia
dengan Malaysia, Oddie Agam dam Sheila Madjid yang menelurkan Antara Anyer
dan Jakarta.
Masih banyak lagi keterikatan yang indah antara Indonesia Malaysia. Ya, di
sisi lain, tentunya Anda ingat dengan 'Ganyang Malaysia' ala Soekarno dulu.
Lalu, bagaimana dengan Sipadan dan Ligitan? Tunggu dulu, masih banyak lagi.
Mari sama-sama kita sebut: Reog Ponorogo, Rasa Sayange, Tari Pendet, fiuh
capek deh kalo mo ngitung.
Dan yang teranyar, Tortor dan Gordang Sambilan.
Kenyataan inilah yang saya anggap sebagai hubungan yang hangat; tidak
dingin dan panas selalu; tarik ulur; malu-malu kucing. Mungkin itulah sebab,
jika tidak bijak bisa silap. Contohnya apa yang dilakukan mahasiswa asal
Malaysia yang sedang belajar di Medan. Gara-gara tertabrak sepeda motornya, dia
pun langsung menghina Indonesia secara umum. Langsung saja warga sekitar lokasi
tabrakan langsung emosi. Terbayang hubungan yang panas dengan Malaysia, mereka
langsung menyerang empat warga negeri jiran tadi. Beruntung, pihak kepolisian
cepat tanggap. Warga Malaysia pun selamat.
Tentunya hal ini mengingatkan pelatih karate Indonesia yang mendapat sial
di Malaysia. Adalah Donald Luther Colopita, Ketua Tim Wasit Indonesia untuk
Kejuaraan Karate Asia, dikeroyok empat polisi Malaysia pada Minggu 26 Agustus
2007 lalu, di sela-sela kejuaraan bertaraf internasional di Negeri Sembilan,
Malaysia. Ingat, dikeroyok polisi! Bandingakan dengan polisi yang menyelamatkan
empat mahasiswa Malaysia yang telah menghina Indonesia.
Di hari yang sama, kecepatan tanggap untuk melindungi Malaysia juga
dilakukan Indonesia sebagai negara. Buktinya, dua pendemo klaim Tortor dan
Gordang Sambilan di Kedubes Malaysia ditangkap kepolisian. Alasannya, ada
protes dari pihak Malaysia terkait demo tersebut. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pun langsung menginstruksikan pihak berwajib untuk menindaklanjuti
protes tersebut.
Lucunya, nota diplomatik terkait Tortor dan Gordang Sambilan yang
dikirimkan pemerintah Indonesia sehari sebelumnya belum juga ada balasan.
Mengapa Malaysia tidak setanggap Indonesia dalam menyikapi suara tetangga?
Apakah karena baru 'semalam di Malaysia' nota diplomatik itu tidak layak
diproses oleh pihak Malaysia? Siapa yang bisa jawab? (*)
Dalam setahun sedikitnya 4.800 warga Medan berangkat ke luar negeri untuk
berobat. Angka tersebut bisa dianggap besar. Bahkan, beberapa kalangan
menganggap angka itu luar biasa mengingat banyaknya rumah sakit di Medan.
Adakah rumah sakit di Medan begitu mengenaskan hingga warga Medan beramai-ramai
berobat ke luar negeri di sana?
Rasanya tidak sportif juga jika menjelekan rumah sakit di Medan saja. Dari
4.800 warga Medan yang berobat ke luar negeri bisa dipastikan tidak semuanya
puas. Baiklah jika pelayanan di sana hebat, namun soal kesembuhan tentunya
tidak bisa diklaim langsung seratus persen. Contohnya, ada seorang kawan yang
tak puas saat berobat di sebuah rumah sakit di Penang, Malaysia. Setelah dua
bulan berobat di sana, dia pun dibawa kembali ke Medan. Dia diterbangkan dari
Malaysia dalam posisi masih sakit. Badannya penuh selang dan dia pun sama
sekali tidak bisa berjalan.
Di Medan dia dirawat di sebuah rumah sakit milik swasta. Cukup dua minggu
dan dia pun kembali sehat. Kini, dia sudah kembali bekerja, tubuhnya pun sudah
kembali tegap.
Pertanyaannya, benarkah pengobatan di rumah sakit swasta di Medan bisa
mengalahkan rumah sakit pemerintah Malaysia di Penang? Terserahlah, yang jelas
sang kawan sembuh di rumah sakit yang ada di Medan!
Selama ini yang terekam di otak adalah pelayanan rumah sakit di Penang sana
adalah yang terbaik. Bagaimana tidak, pasien ditangani dengan profesional.
Tidak itu saja, keluarga pasien pun diservis dengan baik. Sementara, rumah
sakit di Medan melakukan sebaliknya. Untuk kawan saya tadi, hal itu malah
sebaliknya.
Menurut pengakuan keluarga sang kawan, di Penang komunikasi antara pasien
dan perawat atau dokter kurang lancar, tentunya hal ini soal bahasa. Bahasa
Melayu yang digunakan perawat dan dokter susah dimengerti, apalagi sang kawan
sedang sakit. Hingga, sugesti yang dikirimkan perawat dan dokter tidak sampai.
Inilah yang menyebabkan, ketika sang kawan dirawat di Medan, dia bisa semangat.
Sugesti yang disampaikan dokter dan perwat bisa dicernanya langsung. Dan
kelebihan satu lagi, di Medan, banyak rekan yang mengunjunginya! Hal inilah
yang menimbulkan semangat hidup sang kawan tadi.
Soal penyakit memang bak misteri. Peralatan yang serba canggih bukan
jaminan bisa menyembuhkan. Di sisi lain, dokter dan perawat yang jagoan memberikan
sugesti pun bukan jaminan. Ada bahasa lain yang membuat pasien bisa sembuh,
yakni kenyamanan; nyaman dengan peralatan dan nyaman dengan kemampuan dokter
dan perawat. Beberapa ribu orang bisa sembuh di Penang atau Malaka karena dia
merasa nyaman dan yakin bisa disembuhkan. Begitu juga ribuan orang bisa sembuh
di rumah sakit kecil milik swasta yang ada di Medan.
Itulah sebab, kita juga wajib membicarakan ribuan bahkan ratusan ribu
hingga jutaan orang yang berobat dan sembuh di rumah sakit yang ada di Medan.
Dengan kata lain, meski berbeda, rumah sakit di luar negeri dan di Medan adalah
sama saja; mengobati orang sakit. Masalah si sakit sembuh atau tidak kan urusan
lain.
Pertanyaan yang menarik adalah kenapa dalam setahun begitu banyak warga
Medan yang sakit? Untuk menjawab pertanyaan tadi tentunya dibutuhkan kajian
mendalam. Tentu hal ini berkaitan dengan berbagai unsur.
Mengaca pada 4.800 warga Medan yang berobat ke luar negeri, pastinya yang
diperiksa dan diobati bukanlah sakit yang bersifat dadakan seperti kecelakaan
dan sebagainya; kalau kecelakaan tentunya mencari rumah sakit terdekat. Jika
begitu, penyakit yang diobati dan diperiksa merupakan penyakit yang bersifat
'berat'. Nah, begitu banyakah warga Medan yang berpenyakit 'berat'? Perlu diingat,
ini belum termasuk warga yang berpenyakit 'berat' yang dirawat di rumah sakit
di Medan. Ada apa dengan Medan? (*)
Terlambat. Masjid itu telah penuh. Saya
tak mendapat tempat. Saya harus berdiri di tangga, menanti Salat Jumat dimulai.
Begitulah, Jumat lalu saya tiba di
Masjid Raya Medan pukul satu lebih sepuluh menit. Ceramah sudah memasuki sesi
akhir. Ya, sudahlah daripada sama sekali tidak ke masjid itu seperti janji saya
pekan lalu, saya harus bertahan.
Begitu sampai -- tentunya setelah
mengambil air wudhu -- saya langsung menuju pintu masjid yang segaris dengan
gerbang masuk. Di situ sudah ada empat sampai enam orang yang berdiri. Penuh.
Saya pun memilih pintu masuk yang lain; yang sebelah dalam dan menghadap Jalan
Sisingamangaraja; menghadap pagar yang berdampingan dengan halte. Hasilnya,
tetap sama. Di pintu itu ada sekitar tiga orang yang berdiri. Ya sudah, saya pilih
pintu itu.
Sambil berdiri, saya berusaha mengintip
ke dalam masjid. Wah, terlihat masih ada ruang. Berarti, ketika salat nanti,
saya bisa sembayang di dalam. Jadi, saya tak harus salat di halaman seperti
beberapa tahun lalu saat berada di Masjid Raya Banda Aceh; beberapa tahun
sebelum tsunami. Saat itu, persis dengan Jumat lalu, saya juga terlambat. Tak
pelak, saya salat beratap matahari dan berlantai conblock. Parahnya lagi, saya
tidak membawa sajadah! Bisa bayangkan itu? Siapa bilang beribadah itu gampang?
Nah, kenangan di Banda Aceh langsung
mengemuka ketika saya berdiri di tangga-tangga Masjid Raya Medan; saya juga
tidak membawa sajadah. Beruntung, seperti yang saya katakan tadi, setelah
mengintip ternyata masih ada ruang.
Harus disadari, posisi salat dan
mendengar ceramah memang beda. Ketika mendengar ceramah, jamaah pastinya duduk.
Namanya, duduk, tentu jamaah membutuhkan tempat yang lebih banyak. Nah, ketika
berdiri untuk salat, ada ruang yang tersisa bukan? Apalagi, saat salat posisi
berdiri memang harus rapat.
Sembari menunggu saatnya salat, saya
sempat melihat tempat penitipan sandal dan sepatu. Di berada di sisi tangga,
sementara di anak tangga berjejer sepatu dan sandal lainnya. Cukup beragam
jenis alas kaki itu. Saya tersenyum-senyum sendiri, terbayang oleh saya Usaha
Kecil Menengah (UKM) yang ada di Menteng – sebelumnya pernah saya tulis dengan
judul ‘Sepatuku Buatan Menteng, Sepatumu?’ – apakah semua sepatu itu buatan
para pekerja sana? Dan, saya menjawab, tentu tidak. Lihat saja, ada berbagai
jenis dan berbagai merek. Saya prediksi, kebanyakan alas kaki yang saya lihat
adalah barang impor. Ya, bisa saja dari China dan bisa juga dari Bandung.
Tapi sudahlah, kehadiran saya di Masjid
Raya ini bukan untuk memperhatikan sepatu. Saya ingin salat dan saya ingin
menulis tentang masjid yang sejatinya bernama Masjid Al Mashun. Menurutlaman Wikimapia.org, masjid ini mulai
dibangun tanggal 1 Rajab 1324H atau 21 Agustus 1906 dan selesai 10 September
1909 oleh Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Beberapa bahan dekorasi dibuat
dari Italia dan Jerman serta konon menjadi satu bagian dengan komplek Istana
Maimun yang berjarak hanya dua ratus meter.
Masjid yang dirancang oleh Dingemans
dari Amsterdam (dengan bentuk yang simetris jika dilihat dari keempat sisinya)
memiliki gaya yang diambil dari budaya Timur Tengah, India, dan Spanyol. Masjid
dibangun dengan bentuk segi 8 (oktagonal) dan memiliki 4 sayap di setiap bagian
selatan timur utara dan barat yang berbentuk seperti bangunan utama namun
berukuran lebih kecil. Luas keseluruhan bangunan adalah 5.000 meter.
Masih menurut sumber itu, konsep
bangunan utama beserta bangunan sayap katanya merupakan konsep bangunan masjid
kuno di Timur Tengah; di sana masjid dibangun dengan ruang tengah sebagai ruang
utama (disebut sahn) dan empat sayap
berupa gang beratap untuk berteduh (disebut mugatha/suntuh).
Beruntung saya berdiri di tangga-tangga
masjid itu tidak terlalu lama. Jika lama, mungkin pikiran saya entah ke mana
melayang. Iqamat berkumandang. Saya
pun merobos masuk ke dalam. Ternyata, selain kami yang berdiri di tangga, ada
juga beberapa jamaah lain yang berdiri di sisi dinding sebelah dalam. Berebutan
posisi pun terjadi. Tapi, jangan anggap berbutan posisi seperti di dunia
politik, di masjid tidak ada saling sikut. Semuanya berbeut dengan nyaman;
ketika seseorang sudah berada di saf atau barisan, maka orang lain akan mencari
tempat yang lain. Ada sebuah pengertian yang tercipta. Jadi, kalau di jalanan, perebutan
ini persis dengan lalu lintas yang berada di Bundaran Majestik Medan atau
Bundaran HI Jakarta atau juga Bundaran UGM Jogjakarta. Ya, di sebuah bundaran
para pengendara memang tampak lebih manusia dibanding perempatan yang diatur
dengan lampu aba-aba; seperti robot yang menggunakan remote control.
Dan, setelah melewati beberapa menit
pencarian, saya mendapat posisi di saf nomor dua dari belakang. Lumayan.
Suasana dalam masjid begitu sejuk. Fiuh…, jauh berbeda saat berdiri di tangga
tadi.
Usai salat, saya berkesempatan keluar
masjid lebih cepat dibanding jamaah lainnya. Perut mulai terasa lapar. Saya
melirik ke luar pagar masjid, begitu banyak jajanan yang ditawarkan. Sayang
saya tidak selera. Saya malah memperhatikan rujak yang berada di seputaran
Taman Sri Deli, tepat di seberang masjid. Hm, menyenangkan makan buah saat
panas seperti ini. Saya ingin melangkah ke sana. Tapi, saya sadar, sejak pagi
perut belum terisi. Bisa repot jika hari saya awali dengan rujak bukan?
Apalagi, saya pernah dengar, selain enak rujak di Taman Sri Deli juga terkenal
karena mahalnya. Hm, bahan menarik untuk dilantunkan bukan?
Tapi, sudahlah. Saya tak mau ambil
risiko sakit perut. Saya urungkan niat ke Taman Sri Deli itu. Nanti sajalah,
suatu saat jika saya sudah sarapan, saya akan kunjungi rujak itu dan menuliskan
untuk Anda. Sabar ya…. (*)
Orang Mandailing di Malaysia mengajukan permohonan untuk pengakuan tarian
Tortor dan Gordang Sembilan di Malaysia. Mereka ingin kesenian tersebut berdiri
setara dengan kebudayaan Jawa, Minang, dan Banjar di Malaysia.
Lalu, mereka pun berharap kesenian itu dicatatkan pada Akta Warisan
Kebangsaan Malaysia tahun 2005 ayat 67. Nah, hal inilah yang membuat Mandailing
dan Batak pada umumnya yang berada di Indonesia resah. Pun, yang bukan Batak
kebakaran jenggot. Ujung-ujungnya keluar kalimat: Ganyang Malaysia!
Sah-sah saja bukan? Pasalnya, sudah berulang kali Malaysia menyinggung
Indonesia. Klaim dari Malaysia pun dicurigai.
Menariknya, kalau dilihat lebih dalam, soal ini sejatinya lumayan lucu.
Setidaknya perhatikan pembelaan Ramli Abdul Karim Hasibuan, presiden Persatuan
Halak Mandailing Malaysia. "Saya jelaskan perlakuan di dalam akta ini.
Apabila tarian Tortor sudah terdaftar, maka kami akan mendapatkan anggaran dari
kementerian untuk melestarikan budaya ini. Atau bahkan kementerian akan membuat
satu perkumpulan tari Tortor dan Gordang Sembilan," kata Ramli kepada
media di Indonesia.
Jawaban ini secara langsung mengatakan kalau Tortor dan Gordang Sambilan
ternyata tidak diakui dan tidak terorganisir dengan baik. Para pekerja seni
Tortor dan Gordang Sambilan pun tidak mendapat anggaran. Maka, mereka yang
berada di sana ingin mendapat anggaran agar bisa melestarikan Tortor dan
Gordang Sambilan tadi. Jika begitu, bukankah itu bagus?
Kenyataan soal Tortor dan Gordang Sambilan di Malaysia mirip dengan di
Indonesia bukan? Ya, di negeri yang permai ini, dua kesenian itu juga tidak
mendapat perlakuan khusus dalam pelestariannya. Beruntunglah orang Mandailing
di Malaysia, setidaknya pemerintah mereka telah menyediakan fasilitas bagi
warisan budaya mereka. Jika pengajuan Ramli Abdul Karim Hasibuan dkk tadi
berhasil, maka mereka bisa melestarikan dua kesenian tadi dengan tenang dan
nyaman. Adakah Indonesia menyediakan fasilitas semacam itu? Jika ada, ayo orang
Mandailing di Indonesia segera ajukan hal itu!
Lalu, ada perdebatan, kedua kesenian tadi kan milik Indonesia, maka
Malaysia tidak bisa semena-mena?
Harus diingat, Mandailing bukanlah negara. Keberadaan Ramli Abdul Karim
Hasibuan dan orang Mandailing lainnya di Malaysia pada pohon silsilah adat
tidak berbeda dengan Hasibuan lain yang ada di Papua bukan? Atau, Hasibuan yang
berada di Meksiko, Amerika, hingga Janjilobi di Padanglawas. Dengan kata lain,
tidak ada garis politis antara sesama orang Mandailing. Bahkan, orang
Mandailing yang berhasil di perantauan dianggap hebat bagi orang Mandailing di
kampung asal.
Lucunya, atas nama negara, tali darah Mandailing seakan digugat; dipecah
belah dengan nama Indonesia dan Malaysia. “Kami orang Mandailing dan tanah
leluhur kami di Sumatera Utara Indonesia,” tegas Ramli saat diwawancari
televisi swasta Indonesia.
Ayolah, Ramli dkk kan merantau ke negeri jiran. Dan, hal itu adalah wajar.
Malah, konsep merantau sudah demikian mengakar bagi orang Mandailing dan Batak
pada umumnya. Hal itu sesuai dengan filosofi hidup orang Batak; Boraspati. Ya,
Boraspati adalah simbol orang Batak. Secara nyata dia hadir sebagai salah satu
ornamen yang ada pada ulos, rumah adat, dan sebagainya. Benar, dia adalah
cicak!
Secara filosofi, cicak yang lengket di berbagai bentuk permukaan itu
menjadi inspirasi bagi orang Batak masa lalu untuk menjadikannya sebagai jalan
atau cara hidup. Cicak yang lengket di mana saja bila diaplikasikan dalam
kehidupan orang Batak, berarti lengket dan bisa masuk ke mana saja tanpa
bermasalah; seseorang yang merantau, bisa lengket di kampung orang lain berarti
bisa hidup dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di kampung
lain. Dahulu, dengan bergaya hidup seperti Boraspati, yang bergerak lincah dan
dapat diterima di berbagai lapisan masyarakat, orang Batak meyakini akan dapat
mencapai sukses dan tidak akan jatuh.
Nah, jika begitu, bukankah apa yang dilakukan Persatuan Halak Mandailing
Malaysia tidak sepenuhnya salah? Tapi, jika memang Malaysia sebagai negara
mengklaim kesenian itu milik mereka dan tidak berasal dari tanah leluhur
Mandailing yang berada di Indonesia, itu baru cari masalah. Bukankah begitu?
(*)
Maaf, ini bukan soal ibadah. Ini hanya soal pengalaman berada di sebuah
tempat jelang waktu Jumatan; waktu Salat Jumat. Kenapa harus saya lantunkan,
jawabnya karena saya tergoda. Ya, bukankah jarang menikmati suasana tenang di
Pajak Ikan Lama Medan?
Ceritanya, jelang Jumatan pekan lalu saya memasuki kawasan Pajak Ikan Lama.
Saya memang berniat ke tempat tersebut karena di lantun beberapa pekan lalu
saya sempat berjanji akan menulis tentang tempat itu. Sayang, beberapa kali ke
sana, saya selalu terhadang macet. Bayangkan saja, belum lagi masuk ke kawasan
itu beberapa kendaraan sudah bertumpuk. Ya sudah, saya balik kanan.
Nah, keadaan itu membuat saya berpikir; kapan kira-kira Pajak Ikan Lama
sepi? Sempat terpikir untuk mengunjungi kawasan di pusat Kota Medan itu pada
malam hari, tapi apa yang harus dilihat. Ya, saya sudah terlanjur ingin menulis
soal dinamika di sana. Jadi, ketika malam, apa yang bisa ditulis selain tentang
beberapa tukang becak yang tertidur di becaknya atau beberapa potong sampah yang
luput dikutip. Beruntung ada hari Jumat. Setidaknya, saat siang di hari Jumat,
lelaki Muslim berkumpul di masjid.
Maka, Jumat lalu, saya kunjungi tempat
itu. Kunjungan itu cukup singkat, pasalnya saya juga harus ke masjid. Jadi,
saya gunakan selang waktu sebelum Jumatan tadi. Praktis, di tempat itu saya
hanya sepuluh menit. Syukurnya, dalam sepuluh menit, saya merasakan Pajak Ikan
Lama yang lain; maksudnya tidak macet dan sumpek seperti biasanya. Ya, jalanan
yang persis gang-gang itu terlihat sepi. Tidak banyak orang dan kendaraan yang
berebut jalan seperti biasanya. Suasana panas pun seakan hilang. Cukup nyaman.
Saya memilih memarkirkan Lena (sepeda motor saya) di sisi kiri Jalan
Perniagaan – jalan ini hanya satu arah – tepatnya di depan sebuah warung sate
Padang yang berdekatan dengan warung makan Padang.Dengan kata lain, tempat parkir si Lena di deretan pantat rumah
Tjong Afie.
Layaknya detektif, agar tidak diketahui sedang memperhatikan sesuatu, saya
pun sok menyamar. Saya datangi sate Padang itu. Saya pesan satu. Saya makan
tanpa melihat; sambil makan saya terus memperhatikan sekeliling.
Di antara sate Padang dan warung makan Padang ada trotoar. Berarti, saya
berada di seberang warung Padang itu. Nah, dari tempat saya duduk, saya bisa
melihat langsung isi warung makan Padang itu. Lucu. Warung itu bukan seperti
warung, dia berbentuk gang. Jadi, di gang itulah kursi dan meja dijejerkan.
Dan, pemandangan yang saya dapati di situ adalah kaum hawa sedang makan, sama
sekali tidak ada lelaki. Hm, berarti kaum lelaki sudah pada ke masjid, pikir
saya.
Saya pun mengalihkan pandangan. Terlihat beberapa lelaki masih mendorong
tumpukan karung di atas gerobak dorong beroda dan memasukannya ke toko-toko.
Tubuh mereka kelam. Berpeluh. Mereka pun tampak begitu leluasa, berlari sambil
mendorong kereta dorongnya yang sarat muatan. Pemandangan ini jelas berbeda
dengan hari-hari biasa. Ya, biasanya mereka harus hati-hati karena pengguna
jalan cukup banyak. Teriakan dan makian sudah menjadi nyanyian yang khas di
kawasan itu. Dan kemarin, semua seakan hilang. Para pekerja kasar itu terlihat
bebas, bekerja dengan tenang.
Saya jadi bayangkan Pajak Ikan Lama sebelum menjadi kawasan tekstil. Dulu,
sejak tahun 1890 kawasan ini memang dikenal sebagai pusat perniagaan Kota
Medan. Awalnya merupakan pajak (pasar) ikan. Nah, ikan yang didatangkan dari
Belawan melalui kapal tongkang melalui Sungai Deli. Tentunya, di zaman itu juga
ada pengangkut barang juga kan? Mereka pasti bertubuh kelam. Berpeluh. Adakah
mereka sering berteriak juga ketika jalanan di gang-gang tersebut macet?
Entahlah.
Yang jelas, sejarah mencatat, seiring dengan ketidakmampuan Sungai Deli
untuk dilewati kapal-kapal tongkang, Pajak Ikan Lama pun berubah menjadi pusat
perdagangan kain dan pakaian. Pedagang di pajak ikan ini bukan hanya penduduk
asli, namun juga penduduk keturunan India dan Arab. Sehingga tidak jarang dapat
menemui komoditi berbau negara tersebut di pasar ini seperti parfum nonalkohol,
bahkan kurma!
Dan, di Pajak Ikan Lama yang tak lagi jualan ikanlah saya berada. Dan, saya
tertawa membayangkan kawasan ini sebagai pajak ikan dalam arti sesungguhnya;
apakah tante-tante yang memakai kacamata hitam dengan tas berwarna emas di
depan saya akan berada di sini juga? Begitulah, setelah memperhatikan para
pekerja dan beberapa bentuk toko, saya malah tertarik memperhatikan para
pengunjung di Pajak Ikan Lama ini. Satu di antaranya adalah tante yang duduk di
depan saya. Dia makan sate. Dia sendirian. Dia memakai kacamata. Dia memegang
tas berwarna emas miliknya erat-erat dengan tangan kiri. Dan, saya penasaran,
ada berapa uang di dalam tasnya itu. Ha ha ha ha.
Tapi sudahlah, dari beragam yang saya lihat, sejatinya ada yang menarik
kepenasaran saya. Yang saya maksud adalah suara. Jadi, sejak memarkir Lena,
saya terhibur dengan suara burung. Ramai. Suaranya dari atas. Dan ketika saya
mendongak, tidak ada seekor burung pun. Entah di mana burung itu. Kata
bebeberapa orang, burung itu jenis walet. Jadi, di puncak-puncak pertokoan ada
bilik yang memang disediakan untuk burung walet. Ayolah, air liur burung itu
cukup menggiurkan kan? Terbayang sebuah pemikiran, mungkinkah di masa depan
tempat ini akan berubah menjadi kawasan walet. Ya, dari menjual ikan berubah ke
tekstil dan kemudian menjadi penjual walet. Entahlah. Yang, jelas, namanya
pasti tetap Pajak Ikan Lama. He he he he.
Akhirnya, saya tinggalkan kawasan itu. Ya, tak lebih dari sepuluh menit
saya di sana. Sepiring sate Padang telah pindah ke perut. Selembar uang seribu
pun telah pindah ke tukang parkir. Dan, beberapa menit lagi Salat Jumat
dimulai. Saya harus segera ke Masjid Raya Medan; tempat yang pekan depan akan
saya tulis juga. (*)