Lantun ini yang berisikan tentang pandangan hidup seseorang

Kamis, 26 Februari 2015

23 Februari 2015



Rumput Tetangga


Bukan maksud untuk mengampanyekan rokok, tapi beberapa waktu lalu ada iklan yang cukup menggoda. Ceritanya, seekor kambing yang sedang makan rumput mendadak berpaling ke tetangganya dan melihat rumput yang lebih hijau.
Dia punlangsung berpindah dengan semangat. Sial. Rumput tetangga ternyata rumput sintetis. He he he.
Lompat pagar gara-gara rumput tetangga lebih hijau tampaknya bisa terjadi pada Tengku Erry Nuradi. Bagaimana tidak, sebagai sebagai dewan pertimbangan Golkar Sumut, dia malah menyeberang menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Sumut Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Berbagai komentar pun mengemuka. Ada yang bilang pengkhianat. Kutu loncat. Manuver politik yang hebat. Bahkan sampai ada yang bilang sebagai persiapan untuk pemilihan kepala daerah 2018 mendatang. Yang jelas, apapun itu, Erry tampaknya melihat rumput tetangga memang lebih hijau.
Di Golkar, Erry memang cenderung mulai hilang peran. Dia tidak begitu bertahi. Maka, ketika ada tawaran untuk menjadi 'Bos' kenapa tidak disambar?
Dalam politik, hal itu sah-sah saja. Tapi dalam dunia etis, tentunya bisa menjadi masalah. Bisa-bisa menjadi bumerang. Erry dicap sebagai pengkhianat dan sangat mungkin suara untuk dia bisa tergerus jika dia tidak pintar. Shohibul Ansor sang pengamat politik pun sampai mengatakan, "Jangan seperti lebai malang (cerita rakyat, Red) memburu yang lebih besar ke hulu, begitu juga ke hilir. Akhirnya semua tidak dapat.”
Tapi, Erry bukanlah ‘kutu loncat’ pertama dari Gokar. Toh, Ali Umri yang digantikannya memimpin NasDem Sumut juga seperti itu. Ali Umri itu kan juga mantan Ketua DPD Golkar Sumut. Meski gagal menjadi gubernur pada 2008 – kalah dengan orang Golkar juga, Syamsul Arifin, yang didukung partai lain – pada 2014 lalu dia tetap melenggang ke Senayan dengan perahu NasDem.
Bedanya, Erry tidak didukung Golkar saat Pilgubsu 2013 lalu. Suara partai tertuju pada Chairuman Harahap. Erry malah menang meski ‘hanya’ menjadi Sumut 2 alias wakil gubernur. Sedangkan Ali Umri, dia mendapat dukungan Golkar, tapi dikalahkan Syamsul yang tak didukung Golkar. Belakangan, Syamsul – setelah jadi gubernur – malah menjadi Ketua DPD Golkar Sumut dan Ali Umri yang ‘tercampak’.  Maka, ketika Ali Umri menyeberang, beberapa kalangan menganggap hal itu wajar. Nah, kalau Erry, meski sudah menang, dia tidak juga menjadi Ketua DPD Golkar Sumut. Dia ‘hanya’ menjadi dewan pertimbangan DPD Golkar Sumut. Pertanyaannya, apakah dia juga bisa dianggap wajar hengkang dari Golkar?
Entahlah, seperti iklan tadi, rumput tetangga – dengan segala pemandangannya – memang sering tampak lebih hijau. Ya, meski ternyata rumput sintetis kan? (*)

22 Februari 2015



Kusut


Apa yang indah dari sebuah kekusutan? Rambut kusut, orang disebut baru bangun tidur atau sedang suntuk. alu apa yang indah? Tidak ada kan?
Tapi, kenapa orang kok suka yang kusut-kusut. Sesuatu yang teratur atau rapi malah cenderung dibuat kusut, yang tak begitu kusut makin dikusutkan. Bahkan, dalam dunia sastra, adapula celetukan, semakin gelap karya itu maka semakin bagus. Dengan kata lain, semakin tak jelas, karya itu semakin hebat. Absurd. Celetukan itu kadang sering digunakan bagi mereka yang sama sekali tak mengerti karya yang mereka hasilkan sendiri. heheehe.
Kembali ke kusut tadi, sesuatu yang kusut kan berarti tak jelas. Semrawut. Kacau. Gelap. Absurd. Dan, biasanya kusut itu tercipta bukan karena diset. Contohnya orang yang bangun tidur tadi. Kenapa rambutnya kusut? Karena dia belum sempat bersisir. Lalu orang yang suntuk, kenapa rambutnya kusut, karena dia suntuk hingga tak lagi memperhatikan penampilan; orang yang suntuk juga punya kecenderungan mengacak-acak rambutnya sendiri.
Tak jauh beda dengan benang kusut. Dia tercipta kan bukan karena si empunya benang sengaja mengusutkannya. Logikanya, benang itu tak sengaja kusut. Dengan kata lain, ketika selesai dipakai benang itu tidak digulung lagi dengan rapi.
Bagi pemakai awal tentunya tidak masalah, tapi bagi pemakai berikutnya, benang itu bias membuat orang suntuk. Bagaimana tidak, ujung benang itu tak jelas. Krodit. Padahal, biasanya ebnang itu kan untuk menjahit. Nah, jangankan benang kusut, benang normal saja sulit dimasukan ke jarum. Maka, kekusutan benang jelas-jelas buat suntuk. Akibatnya, rambut pun bisa kusut. Tidak sekadar itu, tidur pun tak nyenyak hingga begitu bangun keesokan harinya rambut sang pemakai bisa ikut kusut. Hehehe.
Mendadak teringat kusut ini gara-gara Irvan Hamdani, Penelitian Anggaran Fitra Sumut. Dia menyebut PDAM Tirtanadi bak benang kusut. Ya, apalagi kalau bukan urusan dugaan korupsi. Itulah sebab dia minta pihak berwenang baik Kejatisu maupun Poldasu segera membongkar kasus di Tirtanadi itu.
Sayangnya Irvan Hamdani menggunakan analogi ‘benang kusut’. Ya, seperti yang kita bahas di atas tadi. Mengurai benang kusut itu bias membuat rambut kita kusut kan? Tidak gampang. Kalau mau gampang dan praktis, lebih baik beli benang baru.
Ayolah, siapa yang memakai Tirtanadi pertama dan membiarkannya kusut. Lalu, apakah yang kedua sudah mengurai benang itu hingga bisa dipakai? Atau dia membeli yang baru. Atau, dia buat tambah kusut. Sulit kan? Tapi sudahlah, usaha atau dorongan agar benang kusut di Tirtanadi itu sudah luar biasa. Ya, daripada tak ada yang bicara meski pelayanan di perusahaan air itu malah mencekik konsumen. Begitu kan?
Akhirnya, maaf kalau Anda suntuk membaca catatan ini, maklumlah ketika menulisnya pun rambut saya sedang kusut. Sangat kusut malah. (*)

15 Februari 2015



Aktif(is)


Pada 2, 3, dan 4 April 1998 lalu, tanpa diduga, demonstrasi menuntut reformasi di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta ricuh. Seratus lebih mahasiswa dan pemuda cedera. Mereka tidak siap. Sementara, di sisi lain, aparat keamanan telah menyiapkan diri dengan pentungan dan tameng.
Maka, Gelanggang Mahasiswa yang berada di seputaran Bundaran UGM berbau amis. Hall Teater Gadjah Mada merah. Darah berceceran.
Beberapa kawan yang kabarnya luka malah hilang.
Setelah para aparat kembali ke barak, kepanikan belum juga hilang. Saya dan beberapa kawan mencari kawan yang hilang. Bersyukur, ada informasi kalau kawan yang hilang itu dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih yang lokasinya cuma beberapa langkah dari Bunderan UGM, tepatnya di sisi Selatan bunderan itu.
Tapi, usahakan kami tak berhasil. Para suster di rumah sakit itu berbaris mengawal pintu. Mereka melarang siapa pun yang mau membesuk korban demo.
Ada pula beberapa yang diduga intel mencoba menerobos. Tapi, para suster itu cukup tangguh. "Ini wilayah kami, jangan berani menerobos," seingat saya begitu kata para suster hingga terduga intel itu langsung ngacir.
Besoknya, kawan saya yang bernama Anas akhirnya keluar dari rumah sakit itu. “Dijemput LBH (lembaga bantuan hukum). Luar biasa Panti Rapih. Dijaganya aktivis dengan serius,” kata si Anas.
Saat itu saya tersenyum. Dalam hati mengutuk dengan kengototan para suster yang tidak memperbolehkan kami masuk. “Kalau saja dia bebaskan orang masuk, bisa habis semuanya (aktivis) diculik,” kata Anas lagi.
Yup, fragmen di atas langsung mengemuka diotak saya ketika mengetahui ada seorang aktivis antikorupsi ditembak. Namanya Mukhtar Effendi, aktivis Gerakan Rakyat Brantas Korupsi Sumatera Utara (Gebraksu). Meski dengan softgun, tetap saja dia luka. Pun, ini bukan sekadar luka, tapi sebagai sebuah tanda kalau belum ada keamanan bagi seorang aktivis dalam beraktivitas. Ada kekuatan lain yang mampu membungkam dia bergerak meski harus menghilangkan nyawanya. Dan hal ini bukan cerita baru  di negeri ini bukan? Lihat saja kasus Munir, Marsinah, Udin, Wiji Thukul, dan sebagainya yang tak akan muat untuk disebutkan satu per satu di sini.
Terlepas penembakan pada Mukhtar itu benar didasari oleh ketidakpuasan pihak tertentu terhadap gerakan Gebraksu atau tidak, pertanyaannya, kenapa para aktivis bisa begitu muda diserang?  Dan setelah jadi korban, adakah pengamanan untuk dirinya? Adakah yang setegas RS Panti Rapih tadi dalam mengawal para aktivis? Entahlah, semoga saja masyarakat tidak memisahkan kata aktif dengan is. Ya, is, yang cenderung dianggap menjijikan. Semoga tidak… (*)

13 Februari 2015



Janji Merpati


Ketika Gunung Merapi sibuk muntah dan terus memberi sinyal akan meletus pada 2010 lalu, tapi belum juga meletus, banyak khalayak yang harap-harap cemas. Dengan santai, jawara pelesetan Jogjakarta, Kelik Pelipurlara, ngomong: Merapi tak pernah ingkar janji.
Ya, plesetan. Kalimat aslinya adalah judul film 'Merpati Tak Pernah Ingkar Janji'. Film ini dirilis tahun 1986. Film ini adalah film arahan sutradara Eddy Suhendro dan dibintangi oleh Paramitha Rusady dan Adi Bing Slamet. Film ini merupakan adaptasi novel karya Mira W dengan judul yang sama. Paramitha Rusady kemudian juga makin memopulerkan 'Merpati Tak Pernah Ingkar Janji' itu dengan lagu.
Itulah sebab, ketika Kelik membuat plesetan tersebut, orang-orang sudah langsung paham. Tawa pun menjadi akhir yang indah bagi sebuah plesetan bukan?
Terlepas itu plesetan, yang jelas, Gunung Merapi memang tak ingkar janji. Masih di tahun yang sama, gunung itu pun meletus. Yakni pada hari Selasa tanggal 26 Oktober 2010, mengakibatkan sedikitnya 353 orang tewas, termasuk sang juru kunci gunung: Mbah Maridjan.
Soal merpati, burung ini memang dikenal dan terkenal sebagai hewan yang setia.Di manapun dia akan dilepaskan dan kemana pun dia akan terbang, dia akan kembali ke tempat tinggalnya. Tempat dimana ia merasa aman yang sehari-harinya menjadi tempat tinggalnya. Pun, dia akan tetap menyayangi dan mencintai pasangannya. Dan sekalipun pasangannya tidak lagi ada, dia akan memilih sendiri, atau hanya sekedar berkumpul beberapa saat dengan teman-temannya. Maka, "merpati tak pernah ingkar janji' sudah sangat pas bukan?
Lalu, bagaimana dengan janji seorang Jokowi? Bisakah janjinya pekan lalu bisa sesuai dengan janji Merapi dan merpati. Memang, terlalu berlebihan jika kita menghubungkan seorang presiden dengan Merapi serta merpati. Tapi, untuk sebuah janji, tidak mengenal kasta, kelas, species, atau apapun kan? Janji adalah janji. Dan, fitrahnya janji adalah ditepati.
Namun, kemarin, sang presiden pun dengan percaya diri dan senyum yang berusaha dilebar-lebarkan menjawab: secepatnya. Ditanya lagi, dia jawab: secepatnya. Ditanya lagi dan lagi , dia pun menjawab: secepatnya dan secepatnya. Fiuh.
Itulah janji Jokowi yang akan menyelesaikan soal kisruh bangku Kapolri. Ya, dalam pekan ini. Namun, hingga hari terakhir hari kerja dan sesuai sinyal yang diberikan Istana,dia tidak juga menepati janjinya. Memang, masih ada satu hari lagi dalam pekan ini -- seperti janjinya akan menuntaskan masalah tersebut dalam pekan ini -- tapi, bisa jokowi seperti Merapi dan merpati?
Tampaknya, kita harus menjawab: tunggulah secepatnya! Hehehehe. (*)


9 Februari 2015



Ilmu Selamat


Orang pintar cari subsidi, kata Iwan Fals. Disambungnya lagi, anak kami kurang gizi. Ya, itu lirik lagunya yang berjudul Galang Rambu Anarki. Lalu, Benyamin S pun berkata: Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk. Nah, yang ini judulnya Kompor Meledug.
Sengaja saya kutip dua lagu dari dua penyanyi legendaris Indonesia itu. Bukan sekadar ngefans, namun pesan yang mereka sampaikan dalam lirik itu cukup nyata. Contohnya soal subsidi, hm, siapa yang tidak mengambil subsidi dari gonjang-ganjing Indonesia ini? Buktinya, kasus korupsi seakan tiada henti. Itulah sebab, siapa yang pintar cari subsidi, dialah yang selamat. Masalah nanti ketangkap KPK karena ketahuan korupsi, itu kan urusan lain. Toh, KPK sekarang sedang di ujung tanduk; banyak gerakan yang membuat komisi itu melemah.
Tapi, anak kami kurang gizi. Kalau yang ini karena ilmu selamatnya kurang ampuh. Tidak pandai cari subsidi. Maka, tahankanlah ketika susu anak pun terpaksa diganti kelasnya; dari yang berharga lumayan ke kelas lumayan ada susu.
Kalau Benyamin S, saya kutip soal banjir. Bayangkan saja, lagu itu dibuat tahun berapa. Sang legenda telah memprediksi soal banjir Jakarta. Nah, bagi mereka yang pintar ilmu selamatnya, tentu sudah mendapat solusi. Contohnya, mereka membuat rumahnya tiga lantai. Lantai satu dan dua dibiarkan untuk menampung air banjir, sedangkan lantai atas mereka siapkan untuk huni. Misalnya kawan saya yang berada di Kalibata. Ketika ke sana saya agak terkejut melihat rumahnya. Dia tinggal di Gang Kelinci. Tapi bukan itu masalahnya, rumah itu tiga lantai dan fungsinya seperti yang saya tulis tadi. Keluarga kawan saya itu memang kurang beruntung karena tidak bisa punya apartemen yang ketinggiannya mengimbangi Monas. Tapi setidaknya dia punya ilmu selamat juga.
Orang-orang lain, yang mungkin punya kesejahteraan lebih, selain ke apartemen, banyak juga yang pindah ke daerah lain. Ya, tidak jauh-jauh. Masih masuk dalam wilayah Jabodetabek lah. Beberapa dari mereka, banyak yang memilih ke Bogor. Ayolah, bukan rahasia lagi kalau Bogor dijadikan kambing hitam untuk banjir Jakarta bukan? Pasalnya, Bogor memiliki tanah yang lebih tinggi dari Jakarta hingga air di Bogor tumpah ke ibu kota. Orang-orang yang punya ilmu selamat langsung memilih ke hulu bukan?
Sayangnya, Presiden Jokowi pakai ilmu selamat itu juga. Kurang kreatif. Nanggung. Hanya karena Istana Merdeka terkepung banjir, eh, dia malah mau eksodus ke Bogor. Kantornya dipindahkan ke Istana Bogor. Apakah dia tidak takut kalau di Bogor angin ngamuk seperti dibilang Benyamin S? Kita tunggu sajalah. (*)

 
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates