Souffler
Souffler. Bagi pegiat teater tampaknya istilah ini tidak
asing. Ya, meski sang souffler tidak menonjol, dia bisa dikatakan sebagai
sesuatu yang penting dalam sebuah pementasan. Pasalnya, dialah yang mampu
menolong pelakon yang tak cakap.
Sederhananya souffler diartikan sebagai pembisik.
Posisinya, biasanya, berada di dekat layar; tersembunyi dari hingar bingarnya
pementasan. Sengaja disembunyikan agar kecakapan seorang pelakon bisa
tertutupi.
Souffler bertugas mengawal pelakon saat aktiong. Ketika
sang pelakon lupa dialog, saat itulah dia berperan. DIalah ang mengembalikan
aktor kembali ke naskah.
Menjadi souffler bisa dikatakan gampang-gampang mudah.
Meski memegang naskah, tentunya dia tidak bisa sembarang bertingkah. Dia tidak
boleh bersuara berlebihan. Dia tidak boleh terlihat. Dan, ketika pementasan
sukses, dia pun tidak begitu ditonjolkan. Pasalnya, ketika pementasan dianggap
sebagai keberhasilan souffler, secara langsung para pelakon dianggap gagal
bukan? Ayolah, masak’ pelakon harus menggunakan pembisik naskah. Ayolah, masak
pelakon tak hafal.
Gara-gara Presiden Jokowi melantik anggota dewan
pertimbangan presiden (wantimpres) mendadak saya teringat souffler ini. Saya
memang kurang setuju dengan pembisik (dalam teater ya). Dalam beberapa pentas
yang berhasil saya gelar selalu tak ada souffler. Saya hapus itu. Mengakalinya,
ketika beda naskah hingga reading, pelakon
saya paksa untuk mengafal naskah. Bagi saya, ketidakmampuan pelakon menghafal
naskah adalah sebuah bentuk ketidakmampuannya menjadi aktor. Sederhananya,
ketika seorang pelakon serius dan fokus mempelajari naskah, secara langsung
naskah akan masuk ke dalam otaknya. Maka, secara langsung juga (karena dilatih
berulang-ulang) naskah akan terhafal.
Memang, adakalanya demam panggung sungguh menganggu.
Kesiapan sang pelakon buyar seketika di atas panggung. Seharusnya, saat itulah
souffler berperan. Tapi, saya ambil risiko. Saya usahakan tak ada souffler.
Beruntung, pentas belum pernah gagal total. Hehehehe.
Untuk Jokowi, sebenarnya saya berharap demikian juga.
Masalahnya, sebelum dia jadi presiden pun sudah dicap ada pembisik. Jokowi kadung
dianggap tidak melangkah dengan kakinya sendiri. Jadi, ketika Jokowi melantik
Sembilan orang yang bertugas sebagai pembisiknya, saya maklum-maklum saja. Ya,
sekalian saja dilantik sembilan orang yang dilegalkan sebagai pembisik daripada
tak ada pembisik malah disebut punya pembisik. Kalaupun ternyata sembilan itu
bukan pembisik yang dimaksud, toh
sudah ada hitam di atas putih. Pun, ketika di kemudian hari kebijakan Jokowi
makin runyam, dia kan bisa berlindung dari para pembisik itu. Presiden kan
bukan pelakon. Itu saja. (*)
0 komentar:
Posting Komentar