Mental dan Mental
Homograf. Artinya, suatu kata yang mempunyai tulisan yang
sama, tetapi bunyi dan maknanya berbeda. Seperti buah apel dan apel barisan. Dan
ini soal mental dan mental dengan pasangan katanya revolusi. Yang satu berarti
terpental atau terlempar kembali atau berbalik arah sedangkan yang satunya lagi
bersangkutan dengan batin dan watak manusia.
Tentu ini soal revolusi mental ala Joko Widodo dan Jusuf
Kalla. Pasangan ini memang menggembor-gemborkan dua kata itu saat memimpin
negara ini bukan. Pertanyaannya, yang dimaksud oleh keduanya itu mental yang
mana? Yang terpental atau yang berhubungan dengan bathin dan watak?
Baiklah sebelum itu ada baiknya kita ulang ingatan soal
tiga poin revolusi mental yang dimaksud Jokowi. Pertama, birokrat yang melayani
rakyat. Kedua, struktur organisasi yang ramping dan tidak boleh ada
organisasi-organisasi dalam pemerintahan yang menduplikasi fungsi. Dan ketiga,
budaya kerja yang lebih disiplin, bertanggung jawab, serta mengedepankan
kebersamaan dan gotong royong.
Nah, jika begitu sudah jelas kalau mental yang dimaksud
adalah yang berhubungan dengan bathin dan watak. Tapi, kenapa mental dari
revolusi mental bak terpental?
Setidaknya, selama 100 hari pertama pemerintahan Jokowi,
berbagai kebijakan seakan mementalkan revolusi mental itu sendiri. Contoh
paling sederhana adalah soal organisasi yang ramping. Adakah kementerian yang
dibangun di era ini lebih sedikit dibanding masa Presiden SBY? Lalu, bagaimana
dengan Polri dan KPK, bukankah keduanya menduplikasi fungsi? Memang, KPK tidak
mengurusi lalu lintas, tapi soal korupsi, kedua instansi ini kan layaknya
berlomba. Syukur kalau berlomba menangkap bandit hingga kerugian negara bisa
diselamatkan lebih banyak lagi. Kenyataan terkini, keduanya malah saling
serang. Kasusnya polisi yang dijadikan tersangka oleh KPK akan praperadilan
hari ini. Di sisi lain, petinggi KPK pun telah dijadikan tersangka oleh polisi.
Jika begitu keadaannya, bukankah revolusi yang
didengungkan bisa dianggap sebagai revolusi yang terpental? Pertanyaannya, jika
niat dan usaha sudah kuat, kan harusnya mental yang dimaksud tidak berubah makna.
"Jangan perintah bangsa ini dengan rasa kasih, dengan opini-opini.
Pastikan Undang-Undang Dasar 45 dan undang-undang menjadi pondasi," begitu
kata pakar hukum tata negara Margaritto Kamis dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Hm masalahnya, salah satu arti kata mental kan
berhubungan dengan bathin dan watak. Jadi, di mana salahnya kalau Jokowi
memerintah dengan rasa kasih dan opini bukan? Hehehehehe.(*)
0 komentar:
Posting Komentar