Mulut
Putu Wijaya pernah menulis cerita pendek yang berjudul
‘Mulut’. Ceritanya tentang seorang perempuan tak bermulut yang menghebohkan.
Awalnya, perempuan itu menjadi idola karena dia tidak
bermulut. Artinya, seseorang yang tak suka mulut tebal bias membayangkan
perempuan itu bermulut tebal. Seseorang yang suka mulut tipis, bias juga
membayangkan perempuan itu bermulut tipis. Tapi, yang paling membuat orang suka
adalah karena tak bermulut, perempuan itu tak banyak bicara seperti kebanyakan
orang lain.
BNamun, tak bicara juga bisa jadi masalah. Perempuan itu
kemudian ditangkap karena tyak pernah bicara. Dalam pemeriksaaan dia pun
dipaksa untuk bicara. Kehebohan soal
penangkapan perempuan itu mendadak hilang karena harga bahan pokok naik.
Ketika harga bahan pokok dan semen naik yang membuat
khalayak kasak-kusuk, mendadak perempuan itu dibebaskan. Berbeda. Perempuan itu
malah sudah bermulut. Pecinta mulut tebal dan tipis kecewa. Mereka tak bisa
lagi membayangkan perempuan itu dengan bentuk mulut yang mereka suka. Apalagi,
setelah bermulut, perempuan itu malah cerewet alias banyak cakap. Entah apa
saja yang dia bicarakan. Warga pun makin kasak-kusuk. Cerita soal bahan baku
dan semen hilang. Perempuan itu kembali jadi perbincangan. Makin menjadi ketika
perempuan itu ditangkap lagi karena kebanyakan bicara. Tapi, sekali lagi, kabar
itu langsung lenyap. Harga naik lagi.
Terus terang cerpen itu saya suka. Putu cukup mampu
mengolah emosi pembaca. Dan, cerita itu cukup mewakili situasi pada masa itu,
yakni menutupi masalah dengan masalah baru. Beda dengan sekarang. Era Jokowi,
suatu masalah tampaknya sengaja dibiarkan berlarut.
Ya, KPK versus Polri misalnya. Capek juga khalayak
melihat drama yang tak selesai itu. Jokowi pun malah ‘asyik’ keluar negeri.
Sementara para menteri dan partai pendukungnya malah sibuk cari sensasi.
Lucunya, sensasi yang dibuat bukan pula untuk mengalihkan kabar kisruh itu. Mereka
malah memperkeruh.
Inilah yang mungkin bisa dikatakan sebagai perbedaan yang
dibuat Jokowi dari era-era sebelumnya. Mulai Soeharto hingga Susilo Bambang
Yudhoyono, cara untuk menyelesaikan masalah memang cenderung sama:
menyelesaikan masalah dengan menutupi dengan masalah lain. Misalnya ketika
kenaikan harga bahan pokok, eh, ada teroris yang ditangkap.
Tapi saya sedikit curiga, mungkikah Jokowi tak mampu
mengikuti pola itu? Atau malah, dia sengaja mengeset seakan tak mampu, padahal
semua itu adalah skenario yang dirancang dengan lebih halus. Buktinya, siapa
yang membahas soal perpanjangan kontrak Freeport? Bukankah semuanya disibukkan
dengan KPK versus Polri? Entahlah. (*)
0 komentar:
Posting Komentar