Lantun ini yang berisikan tentang pandangan hidup seseorang

Kamis, 26 Februari 2015

6 Februari 2015



Mulut


Putu Wijaya pernah menulis cerita pendek yang berjudul ‘Mulut’. Ceritanya tentang seorang perempuan tak bermulut yang menghebohkan.
Awalnya, perempuan itu menjadi idola karena dia tidak bermulut. Artinya, seseorang yang tak suka mulut tebal bias membayangkan perempuan itu bermulut tebal. Seseorang yang suka mulut tipis, bias juga membayangkan perempuan itu bermulut tipis. Tapi, yang paling membuat orang suka adalah karena tak bermulut, perempuan itu tak banyak bicara seperti kebanyakan orang lain.
BNamun, tak bicara juga bisa jadi masalah. Perempuan itu kemudian ditangkap karena tyak pernah bicara. Dalam pemeriksaaan dia pun dipaksa untuk bicara.  Kehebohan soal penangkapan perempuan itu mendadak hilang karena harga bahan pokok naik.
Ketika harga bahan pokok dan semen naik yang membuat khalayak kasak-kusuk, mendadak perempuan itu dibebaskan. Berbeda. Perempuan itu malah sudah bermulut. Pecinta mulut tebal dan tipis kecewa. Mereka tak bisa lagi membayangkan perempuan itu dengan bentuk mulut yang mereka suka. Apalagi, setelah bermulut, perempuan itu malah cerewet alias banyak cakap. Entah apa saja yang dia bicarakan. Warga pun makin kasak-kusuk. Cerita soal bahan baku dan semen hilang. Perempuan itu kembali jadi perbincangan. Makin menjadi ketika perempuan itu ditangkap lagi karena kebanyakan bicara. Tapi, sekali lagi, kabar itu langsung lenyap. Harga naik lagi.
Terus terang cerpen itu saya suka. Putu cukup mampu mengolah emosi pembaca. Dan, cerita itu cukup mewakili situasi pada masa itu, yakni menutupi masalah dengan masalah baru. Beda dengan sekarang. Era Jokowi, suatu masalah tampaknya sengaja dibiarkan berlarut.
Ya, KPK versus Polri misalnya. Capek juga khalayak melihat drama yang tak selesai itu. Jokowi pun malah ‘asyik’ keluar negeri. Sementara para menteri dan partai pendukungnya malah sibuk cari sensasi. Lucunya, sensasi yang dibuat bukan pula untuk mengalihkan kabar kisruh itu. Mereka malah memperkeruh.   
Inilah yang mungkin bisa dikatakan sebagai perbedaan yang dibuat Jokowi dari era-era sebelumnya. Mulai Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono, cara untuk menyelesaikan masalah memang cenderung sama: menyelesaikan masalah dengan menutupi dengan masalah lain. Misalnya ketika kenaikan harga bahan pokok, eh, ada teroris yang ditangkap.
Tapi saya sedikit curiga, mungkikah Jokowi tak mampu mengikuti pola itu? Atau malah, dia sengaja mengeset seakan tak mampu, padahal semua itu adalah skenario yang dirancang dengan lebih halus. Buktinya, siapa yang membahas soal perpanjangan kontrak Freeport? Bukankah semuanya disibukkan dengan KPK versus Polri? Entahlah. (*)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates