Pemimpin
Ketika kalimat seorang pemimpin tak lagi ada yang
didengar, apakah masih perlu anggota? Pertanyaan sederhana ini mungkin tak akan
sulit dijawab oleh seorang pemimpin yang
betul-betul didukung oleh anggota.
Ya, menjadi pemimpin memnag tak semudah membuat sarapan;
ceplok telur selesai. Butuh sebuah kesiapan mental, manajemen massa, hingga
manajemen konflik. Untuk yang terakhir mungkin sedikit ekstrem, tapi memang
begitulah keadaannya. Seorang pemimpin memang idealnya tidak sekadar membuat
kerjanya nyaman dan teratur. Butuh riak. Dari riak itulah kemudian muncul ide
hingga hasil yang dinginkan.
Dalam menjalankan manajemen konflik, seorang pemimpin
memang harus tampak kuat. Artinya, dia bisa mengontrol itu dengan baik. Jadi,
ketika konflik sudah lari dari pos yang diskenariokan, sang pemimpin mampu
mengembalikan keadaan. Sebuah manajemen konflik bukanlah membiarkan larut dalam
konflik.
Soal manajemen ini jadi perbincangan karena, lagi-lagi,
Presiden Joko Widodo atawa Jokowi.
Konflik KPK versus Polri dianggap sudah semakin lama. Bisa berbuntu
lebih lama lagi. Khalayak butuh sikap tegas sang presiden dalam menyelesaikan
kisruh itu. Tapi, Jokowi malah seperti cari aman. Meski dia bentuk tim
independen – yang mendadak berjumlah sembilan meski sebelumnya tujuh orang –
khalayak tampak kurang semangat. Bukan tak percaya pada tokoh-tokoh yang
dipilih, tapi sejarah mencatat telah ada tim serupa pada era presiden
sebelumnya. Hasilnya? Rekomendasi tak begitu diurus.
Intinya, untuk urusan KPK versus Polri, yang harus
menyelesaikan adalah presiden dan kedua instansi yang terlibat. Logika
sederhananya, presiden kan pimpinan kedua instansi itu. Jadi, kalau presiden
perintahkan untuk selesai, ya, konflik harus selesai bukan?
Masalahnya, bagaimana Jokowi mau tegas, toh Kontras menyebutnya hanya sebagai
Tukang Stempel’ kok. Dia hanya
sebagai stempel bagi kepentingan-kepentingan yang berada di belakangnya. Lucunya,
ketika Jokowi dianggap sebagai tukang stempel, yang berada di belakanganya
malah balik menyerang. Jokowi pun berubah sekan menjadi anggota nakal yang
perlu diajar dengan manajemen konflik tadi. Beberapa politisi PDIP, pengusung
Jokowi, balik menyerang. Effendi Simbolon yang mantan Cagubsu bahkan sampai
mengatakan gaya kepemimpinan Jokowi mirip LSM.
Tapi begitulah, soal pemimpin memang ruwet dan rumit.
Yang harus digaris bawahi hanyalah, kalau memang pemimpin sudah tak didengar,
mengapa harus ada anggota bukan? Itu saja. (*)
0 komentar:
Posting Komentar