Pesawat Murah Pesawat Mahal
Suatu hari beberapa tahun yang lalu, ketika angkutan
darat masih menjadi raja untuk rute Jawa Sumatera, saya mendapat pertanyaan
bagus dari seorang penjual barang; biasanya lebih dari satu orang, membawa tas
besar, berpakaian rapi – kadang berdasi – dan memunculkan bersih serta
terpelajar.
Penjual barang ini biasanya masuk ke bus ketika angkutan
antarkota antarprovinsi itu masuk ke terminal, misalnya di Rajabasa Lampung,
Amplas Medan, dan sebagainya. Saat bus berhenti itulah mereka beraksi: menjual
senyum sembari bertanya. Nah, pertanyaan itulah yang ingin saya bahas. Bukan
soal yang sulit. Pertanyaan sederhana. Siapa pun bisa menjawab. Pertanyaan:
kalau membeli barang, yang pertama dilihat harga atau kualitasnya?
Pada pertemuan pertama saya menjawab kualitas. Penjual
itu langsung sumringah. “Bapak pintar! Membeli barang memang harus melihat
kualitasnya. Harga urusan belakang. Karena dengan kualitas bagus, harga bukan
masalah. Seperti jam ini (dia menunjukkan jam yang diambil dari dalam tasnya).
Dan karena bapak benar menjawab pertanyaan kami tadi, bapak mendapat gratis jam
ini. Bapak hanya membayar pajaknya seratus lima puluh ribu rupiah,” begitu
katanya.
Pada pertemuan kedua, tentunya di terminal lain dengan
penjual yang lain, saya menjawab harga. Sang penjual pun langsung sumringah.
“Bapak hebat! Membeli barang memang harus melihat harganya. Harga mahal adalah
jaminan kualitas bagus. Seperti jam ini (dia menunjukkan jam yang diambil dari
dalam tasnya). Dan karena bapak benar menjawab pertanyaan kami tadi, bapak
mendapat gratis jam ini. Bapak hanya membayar pajaknya seratus lima puluh ribu
rupiah,” begitu katanya.
Sengaja saya tampilkan fragmen di atas karena ada
kebijakan pemerintah yang baru soal harga. Ya, harga tiket alias tarif pesawat
yang tak boleh lagi sembarang murah. Kebijakan ini langsung diteken oleh
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Isinya, tarif batas bawah minimal 40 persen
dari tarif batas atas. Dengan begitu, tak ada lagi maskapai yang bisa menjual
tiket murah sebagai bagian dari program pemasarannya.
Maka, berhentilah berharap mendapat tiket puluhan ribu
rupiah untuk keJakarta, misalnya. Banyak kalangan menilai, ini disebabkan
kisruhnya izin terbang terhadap beberapa maskapai. Paling mencuat tentunya
AirAsia yang salahsatu pesawatnya terjun ke laut. Nah, AirAsia ini cukup
terkenal dengan tiket promo yang supermurah bukan?
Tapi pertanyaannya, apakah dengan meniadakan tiket murah
maka kualitas penerbangan bisa dijaga? Toh, sejarah mencatat, maskapai dengan
tiket yang harganya selangit juga pernah kecelakaan. Orang bijak mengatakan musibah itu bukan
urusan manusia. Tuhanlah yang bicara. Nah, jika begitu, apakah kebijakan
Menteri Jonan sudah cukup pas. Tidak ingin membangun polemik, saya kembalikan
saja soal pesawat murah dan pesawat mahal itu dengan kasus penjual barang di
bus antarkota antarprovinsi tadi. Denagn kata lain, mau harga mahal atau murah,
kalau sudah nahas ya nahas juga, kalau aman ya aman saja kan?
Yang jelas, ketiadaan tiket murah membuat orang yang
berpendapatan pas-pasan akan sulit naik pesawat. Yang jelas, ketika harga tiket
pesawat begitu tinggi, bisnis bus akan kembali marak. Dan, para penjual barang
dengan trik muslihat aduhai tadi pun bias beraksi lagi kepada saya, Anda,
kalian, dan kita semua. Bukankah begitu? (*)
0 komentar:
Posting Komentar