Sayang Anak
Beberapa tahun lalu, ketika usai masa Daerah Operasi Militer (DOM) di
Aceh, beberapa orangtua di Langsa mendapat masalah. Anak mereka yang masih usia
sekolah dasar – tepatnya masih kelas 1 hingga kelas 3 – ngotot minta uang lebih
ketika Lebaran. Jika sang anak minta uang untuk beli makanan mungkin tidak
masalah, toh sudah semacam tradisi ketika Lebaran anak kecil memiliki uang
berlebih, tapi ini karena sang anak mau membeli senjata!
Tapi tunggu dulu, senjata yang dimaksud di sini adalah
senjata mainan. Bentuknya memang mirip hanya senjata dan pelurunya terbuat dari
plastik. Walau begitu, namanya senjata, meski mainan, ketika ditembakan terasa
sakit juga. Yang menambah dilema, senjata itu ternyata ditembakan anak-anak ke
polisi lalu lintas yang mengatur jalan. Tapi atas nama sayang anak, ya tetap
saja uang lebih diberikan.
Tak pelak, ketika lebaran, polisi lalu lintas pun lebih
banyak ‘sembunyi’. Tentunya mereka tak mau jadi sasaran. Selain itu, anak-anak
yang bersenjata tadi pun sibuk menyerang anak-anak lainnya di kampung sebelah.
Bak perang, mereka pun tak berhenti memuntahkan peluru, menuju lawan yang
lengah. Ujung-ujungnya perkelahian tercipta. Dan, orangtua pun harus repot dengan
itu semua.
Saya teringat kisah itu bukan hanya karena ada anggota
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tadi malam berhasil ditembak. Ini karena kasus
sayang anak. Tepatnya, anak Budi Gunawan yang dengan gampangnya mendapat kredit
Rp57 miliar untuk bisnis. Padahal, usianya saat itu masih sembilan belas tahun.
Ceritanya, anak Budi yang bernama M Herviano Widyatama mau bisnis hotel dan
pertambangan. Karena tak punya uang, dia pun meminta pada ayahnya. Budi yang
saat itu berpangkat brigadir jenderal berjanji untuk membantu dengan
mengenalkan pada rekannya. Maka terjadilah ikatan bisnis dengan Pacific Blue
International Limited. Hm, gampang ya….
Atas nama sayang anak, ternyata Budi bisa mengusahakan
dana itu. Ya, walau ujung-ujungnya dana itu jadi soal. Terserahlah. Yang jelas
kasih seorang bapak sungguh luar biasa bukan? Kasih tanpa memandang risiko.
Mungkin, kalau saja tahu dana itu menjadi sandungan menuju kursi kapolri, tentunya Budi bisa menahan permintaan itu.
Tapi, kalau saja dana itu tak ada, mungkinkah Budi juga dicalontunggalkan jadi
Kapolri? Entahlah.
Risiko yang diambil Budi bisa dikatakan mirip dengan apa
yang dilakukan para orangtua di Langsa ketika Lebaran. Atas nama ingin anak
senang, uang itu akhirnya menjadi senjata makan tuan. Namun, ada juga beberapa
orangtua di Langsa yang memang sengaja memberi uang lebih agar anaknya bisa
membeli senjata lho. Pasalnya, dia
suka melihat anaknya menembaki polisi. Maklum, dia memang punya cerita tak
sedap saat masa DOM. Kalau begitu, bagaimana dengan Komjen Budi Gunawan? (*)
0 komentar:
Posting Komentar